trauma maxilofacial

Upload: puteri-rahmia

Post on 17-Oct-2015

106 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

TRAUMA MAXILOFACIAL

Trauma muka dapat disebabkan oleh banyak factor, dan juga dapat menyebabkan kelainan berupa sumbatan jalan nafas, syok karena perdarahan, gangguan pada vertebra servikalis atau terdapatnya gangguan fungsi saraf otak. Penanganan pada trauma muka dapat dibagi menjadi dua periode waktu, yaitu penanganan segera (immediate) dan juga tidak segera (delayed). Pembagian penanganan ini bergantung dari kondisi jaringan yang terkena trauma.Pada periode akut (immediate) setelah terjadi kecelakaan, tidak ada tindakan khusus untuk fraktur muka kecuali mempertahankan jalan nafas, mengatasi perdarahan, dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh. Lamanya terjadi trauma serta timbulnya kelainan karena trauma muka perlu diperhatikan, hal ini berkaitan dengan penanganan selanjutnya.Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti : kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, abrasi, laserasi), emfisema subkutis, rasa nyeri, terdapat deformitas muka (dapat diperiksa dengan inspeksi maupun palpasi), obstruksi hidung, fraktur atau dislokasi septum, gangguan pada mata, krepitasi tulang hidung, maksila, dan mandibular. Selain itu bisa juga terjadi kebocoran cairan otak, dan terdapat tanda infeksi jaringan lunak pada daerah hepatoma.Oleh karena itu, diperlukan anamnesis, pemeriksaan yang lengkap, serta penganggulangan secara sistematis dan tepat, dan juga pengetahuan mengenai trauma yang tepat untuk menegakkan diagnosis secara cepat dan tepat.Kelainan yang paling sering ditemukan akibat trauma muka adalah fraktur muka. Fraktur bisa diartikan yaitu terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur muka dapat dibagi sebagai berikut :1. Fraktur tulang hidung.2. Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma.3. Fraktur tulang maksila.4. Fraktur tulang orbita.5. Fraktur tulang mandibular.

I. Fraktur Tulang Hidung

Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi, dan juga rhinoskopi anterior.

ANATOMI

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior (Corbrigde,1998). Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut dengan vibrise (Ballenger 1997;Hilger 1989). Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang sedangkan diluarnya dilapisi juga oleh mukosa hidung (Hollinshead 1996; Corbridge 1998).

Bagian tulang terdiri dari: 1. Lamina perpendikularis os etmoidLamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-posterior dari septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribriformis dan Krista gali.2. Os vormerOs vormer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os vomer merupakan ujung bebas dari septum nasi.3. Krista nasii os maxilla4. Krista nasii os palatina

Gambar 1. Anatomi Hidung (Netter F)

Bagian tulang rawan terdiri dari 1. Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)Kartilago septum melekat dengan erat pada os nasi, lamina perpendikularis os etmoid, os vomer, dan krista nasi os maksila oleh serat kolagen.2. KolumelaKedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama lain oleh sekat tulangrawan dan kulit yang disebut kolumela.

Dinding lateral rongga hidung dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontsalis os maksila, os lakrimalis, konka inferior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum (Ballenger 1997; Hilger 1989). Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasi, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior (Ballenger 1997; Hilger 1989).

Gambar 2. Anatomi Hidung (Netter F)

Perdarahan

Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna). Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Littles area yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis (Lund 1997).Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis anterior dan superior (Lund 1997). Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis (Ballenger 1997). Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum ke pleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus sagitalis superior (Lund 1997).

Persarafan

Bagian antero-superior septum nasi mendapat persarafan sensori dari nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n.V1). Sebagian kecil septum nasi pada antero-inferior mendapatkan persarafan sensori dari nervus alveolaris cabang antero-superior. Sebagian besar septum nasi lainnya mendapatkan persarafan sensori dari cabang maksilaris nervus trigeminus (n.V2). Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang, memasuki rongga hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan berjalan ke septum bagian superior, selanjutnya kebagian antero-inferior dan mencapai palatum durum melalui kanalis insisivus (Hollinshead 1966).

Sistem limfatik

Aliran limfatik hidung berjalan secara paralel dengan aliran vena. Aliran limfatik yang berjalan di sepanjang vena fasialis anterior berakhir pada limfe submaksilaris (Lund 1997).

KLASIFIKASI FRAKTUR TULANG HIDUNG

Fraktur tulang hidung dapat berupa fraktur sederhana, maupun kompleks yang melibatkan nasoorbitoetmoid. Klasifikasi untuk fraktur tulang hidung adalah : Fraktur tertutup. Fraktur terbuka. Fraktur kombinasi.

ETIOLOGI FRAKTUR TULANG HIDUNGEtiologi yang paling sering menyebabkan fraktur tulang hidung adalah akibat rudapaksa, seperti pukulan, benturan dalam kecelakaan lalu lintas, perkelahian, maupun dalam olahraga.

PENEGAKKAN DIAGNOSIS FRAKTUR TULANG HIDUNGPenegakkan diagnosis untuk fraktur tulang hidung didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan dapat dilengkapi oleh pemeriksaan penunjang.Anamnesis: Riwayat trauma yang jelas mengenai hidung harus dicurigai kemungkinan terjadinya trauma nasal. Jika disertai epistaksis kemungkinan besar terjadi trauma terbuka. Jika pasien mengeluhkan adanya perubahan bentuk hidung dan adanya riwayat obstruksi jalan nafas, fraktur nasal selalu terjadi. Harus dicari riwayat terjadinya trauma, menggunakan alat apa, arah pukulan dan akibatnya.Pemeriksaan Fisik Inspeksi sisi luar dan dalam dicari adanya perubahan bentuk, pergeseran (deviasi), atau bentuk yang tidak normal. Adanya hematom, laserasi, dan robekan mukosa sangat mencurigakan adanya fraktur. Edema kelopak mata, ekimosis periorbita, ekimosis sclera, dan perdarahan subkonjungtiva, trauma lakrimal merupakan tanda-tanda klinis tambahan. Intranasal didapatkan adanya dekongesti mukosa dan terdapatnya bekuan darah yang perlu diangkat dengan hati-hati. Kebocoran cairan serebrospinal, penyimpangan atau tonjolan septum nasal. Palpasi dilakukan secara sistematik untuk menilai adanya nyeri dan gangguan stabilitas. Adanya depresi tulang nasal, perubahan posisi tulang, pergerakan palsu tulang, krepitas , dapat didiagnosa adanya fraktur nasal.Pemeriksaan PenunjangDiperkirakan 10 -47% penderita dengan fraktur nasal sudah cukup jelas ditetapkan secara klinis.Pemeriksaan radiografi yang dipilih adalah foto nasal lateral ,frontal , dan waters. Foto lateral dipakai untuk melihat adanya separasi dan depresi. Gambaran frontal dapat memperlihatkan problem alignment dari tulang septum dan bentuk dari rima piriformis. Foto waters dapat memperlihatkan simetris atau tidak simetrisnya tulang wajah.

PENATALAKSANAANTujuan primer pengobatan dalam pengelolaan patah tulang hidung adalah untuk membangun kembali fungsi premorbid dan penampilan kosmetik hidung. Ada beberapa kontroversi mengenai waktu pengobatan yang paling tepat. Penilaian patah tulang hidung yang paling akurat dilakukan segera setelah cedera, sebelum ada edema jaringan yang signifikan. Sayangnya, pasien jarang dievaluasi dengan cepat. Edema jaringan lunak biasanya menutupi patah tulang hidung ringan sampai sedang dan membuat reduksi tertutup segera menjadi sulit. Oleh karena itu, kebanyakan pasien perlu dievaluasi ulang dalam 3 sampai 4 hari. Jika pembengkakan terus berlanjut, masuk akal untuk menguji kembali pasien di lain 3 sampai 4 hari. Reduksi tertutup dalam waktu 7 sampai 10 hari dapat dicapai di bawah anestesi lokal.Penundaan lebih lama dari 7 sampai 10 hari menghasilkan penyembuhan tulang yang lebih besar dan potensial meningkatkan kebutuhan untuk osteotomi bedah. Penyembuhan tulang mungkin terjadi lebih cepat pada populasi anak-anak. Luka yang lebih berat seperti fraktur terbuka, hematoma septum, dan luka-luka dengan cacat eksternal kotor memerlukan intervensi bedah segera.Suatu usaha harus dilakukan untuk secara bedah mereduksi patah tulang hidung yang telah diketahui, ketika pembengkakan dan edema memungkinkan untuk diagnosis yang akurat dan melakukakan tindakan reduksi. Hal ini dapat dilakukan segera jika cedera parah, namun, patah tulang ringan sampai moderat dinilai lebih mudah dan akurat direduksi 3 sampai 10 hari setelah cedera.Tergantung pada tingkat kenyamanan dan pengalaman, reduksi tertutup patah tulang hidung tanpa komplikasi baik dilakukan dengan anestesi lokal dalam lingkup dokter keluarga. Untuk patah tulang moderat complexnasal, fraktur terbuka, atau hematoma septum, konsultasi bedah harus dicari. Sementara itu , patah tulang hidung dapat dikelola melalui reduksi tertutup, beberapa luka pada akhirnya mungkin memerlukan reduksi terbuka melalui septorhinoplasty. Ini biasanya dilakukan pada 6 sampai 12 bulan setelah bekas luka post-trauma melunak.

AnestesiReduksi patah tulang hidung dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau umum, tergantung pada pilihan dokter bedah. Cook et al melakukan penelitian prospektif secara acak dari 50 pasien dengan patah tulang hidung, yaitu membandingkan hasil reduksi tertutup di bawah anestesi lokal dibandingkan dengan anestesi umum. Tidak ada perbedaan yang ditemukan antara kelompok perlakuan untuk patensi saluran udara atau hasil secara kosmetiknya. Kelebihan anestesi lokal termasuk mengurangi biaya, fleksibilitas yang lebih besar dalam prosedur waktu, dan penghapusan risiko yang terkait dengan anesthesi umum. Namun, pengobatan anak-anak, muda dewasa, atau pasien gelisah mungkin memerlukan anestesi umum. Penulis menganjurkan penggunaan anestesi lokal bila memungkinkan.TeknikReduksi patah tulang hidung dapat dicapai baik dengan teknik terbuka atau tertutup. Sebagian besar patah tulang hidung dapat dikelola secara memadai dengan reduksi tertutup. Saraf supratrochlear, saraf infraorbital, dan punggung hidung dibius dengan 1 bagian lidokain hidroklorida 1% menjadi 100.000 bagian epinefrin. Empat persen larutan kokain (di atas lapisan kapas 0.5 x 3.0 cm) digunakan untuk anestesi intranasal. Banyak ahli bedah juga menggunakan sedasi atau analgesia intravena sebagai tambahan untuk anestesi lokal.

InstrumentasiInstrumentasi sering diperlukan sebagai alat bantu dalam reduksi. Tulang hidung yang terdepresi distabilkan antara elevator Boies intranasal dan jari di bagian luar. Elevator tulang hidung mereduksi tulang hidung yang terdepresi karena jari yang berlawanan mendorong tulang hidung kontralateral ke posisi yang benar. Forsep Walsh dan Asch juga dapat digunakan untuk mengurangi fraktur dan dislokasi septum. Splints Eksternal dan pengepakan hidung biasanya digunakan pasca operasi. Splints dapat berkontur dengan hidung eksternal dan harus disimpan di tempat selama 7 sampai 14 hari. Bahan umum meliputi plester dari paris, aluminium, dan splints plastik panas-lunak. Dengan tulang hidung sangat mobile, sebuah kasa berlapis strip antibiotik dapat ditempatkan intranasal untuk menstabilkan reduksi. Kasa yang dikemas tinggi ke ruang depan hidung di bawah tulang hidung, dan harus dibiarkan di tempat tersebut selama 4 sampai 7 hari. Pasien harus diberikan antibiotik oral saat kasa pada tempatnya.

Anamnesis riwayat menyeluruh dan pemeriksaan fisik dengan teliti cukup untuk mendiagnosis patah tulang hidung. Literatur di lapangan tidak mendukung penggunaan film x-ray untuk membantu dalam diagnosis. Mayoritas luka terlihat setelah edema signifikan muncul dan tidak dapat secara akurat direduksi. Oleh karena itu, dengan pengecualian fraktur terlalu displace, fraktur terbuka, dan hematoma septum, fraktur hidung harus diperlakukan secara definitif dalam waktu 3 sampai 10 hari setelah bengkak teratasi.Beberapa luka mungkin memerlukan reduksi terbuka melalui septorhinoplasty. Septorhinoplasty paling efektif dilakukan pada 6 sampai 12 bulan oleh seorang ahli bedah yang berpengalaman. Pasien harus ditindaklanjuti selama 6 sampai 12 bulan pasca operasi untuk menjamin bahwa hasil yang memadai diperoleh.

KOMPLIKASIKomplikasi fraktur tulang hidung dibagi menjadi : Komplikasi segeraMeliputi epistaksis, edema, ekimosis, infeksi. Komplikasi lambatObstruksi jalan nafas, perubahan bentuk sekunder, perlekatan, fibrosis, dan perforasi septal.

II. FRAKTUR TULANG ZIGOMA DAN ARKUS ZIGOMA

Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur maksilofasial yang sering terjadi. Hal ini dikarenakan posisi zigoma agak lebih menonjol dari daerah disekitarnya. Predileksi terutama pada laki laki dan penyebab yang paling sering adalah dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor.

III. FRAKTUR TULANG MAKSILA

Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses patologis. 1) Traumatic fracture Fraktur yang disebabkan oleh pukulan pada: Perkelahian Kecelakaan Tembakan2) Pathologic fractureFraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam keadaan sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada trauma ringan seperti berbicara, makan dan mengunyah dapat terjadi fraktur. Dapat terjadi karena : a) Penyakit tulang setempat Kista Tumor tulang jinak atau ganas Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga dengan atau tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada osteomielitis b) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah patah. Osteomalacia Osteoporosis Atrofi tulang secara umum KLASIFIKASI FRAKTUR MAKSILA1. Dento Alveolar Fracture

Suatu fraktur di daerah processus maxillaris yang belum mencapai daerah Le Fort I dan dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Fraktur ini meliputi processus alveolaris dan gigi-gigi.

Gejala klinik

Extra oral : Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi pada bibir sering disertai perdarahan, kadang-kadang terdapat patahan gigi dalam bibir yang luka tersebut. Bibir bengkak dan edematus Echymosis dan hematoma pada muka

Intra oral : Luka laserasi pada gingiva daerah fraktur dan sering disertai perdarahan. Adanya subluxatio pada gigi sehingga gigi tersebut bergerak, kadang-kadang berpindah tempat. Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang alveolusnya Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya kamar pulpa.

2. Le Fort I:

Pada fraktur ini, garis fraktur berada di antara dasar dari sinus maxillaris dan dasar dari orbita. Pada Le Fort I ini seluruh processus alveolaris rahang atas, palatum durum, septum nasalis terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang rahang dapat digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat oleh jaringan lunak saja, maka terlihat seperti tulang rahang tersebut mengapung (floating fracture). Fraktur dapat terjadi unilateral atau bilateral. Suatu tambahan fraktur pada palatal dapat terjadi, dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.

Geiala klinik Extra oral : Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena fraktur, kadang-kadang terdapat infraorbital echymosis dan subconjunctival echymosis Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior rahang atas dan rahang bawah telah kontak lebih dulu.

Intra oral Echymosis pacta mucobucal rahang atas Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-kadang disertai goyangnya gigi dan lepasnya gigi. Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi yang luka, gigi fraktur atau lepas. Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah.

3. Le Fort II :

Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis, ethmoid, sphenoid dan sering tulang vomer dan septum nasalis terkena juga.

Gejala klinik

Extra oral : Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah tersebut terasa sakit. Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas hidung. Bilateral circum echymosis, subconjunctival echymosis. Perdarahan dari hidung yang disertai cairan cerebrospinal.

Intra oral Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke depan Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar mengunyah. Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum lidah tertekan sehingga timbul kesukaran bernafas. Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio,luxatio. Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan, pada bagian hidung terasa adanya step atau bagian yang tajam dan terasa sakit.

4. Le Fort III

Fraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang nasalis, maxillaris, orbita, ethmoid, sphenoid dan zygomaticus arch. Sepertiga bagian tengah muka terdesak ke belakang sehingga terlihat muka rata yang disebut "Dish Shape Face". Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan ke arah belakang dari M.pterygoideus dimana otot ini melekat pada sayap terbesar tulang sphenoid dan tuberositas maxillary.

Geiala klinik

Extra oral : Pembengkakan hebat pada muka dan hidung Perdarahan pada palatum, pharinx, sinus maxillaris, hidung dan telinga. Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjunctival echymosis. Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan N.opticus dan saraf motoris dari mata yang menyebabkan diplopia, kebutaan dan paralisis bola mata yang temporer. Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata. Adanya cerebrospinal rhinorrhoea dan umumnya bercampur darah. Paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen yang menyebabkan Bells Palsy.Intra oral : Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang berat. Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan Perdarahan pada palatum dan pharynx. Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah. 5. Zygomaticus Complex Fracture

Tulang zygoma adalah tulang yang kokoh pada wajah dan jarang mengalami fraktur. Namun tempat penyambungan dari lengkungnya sering fraktur. Yang paling sering mengalami fraktur adalah temporal sutura dari lengkung rahang.Fraktur garis sutura rim infra orbital, garis sutura zygomatic frontal dan zygomatic maxillaris.Fraktur ini biasanya unilateral, sering bersifat multiple dan communited, tetapi karena adanya otot zygomatic dan jaringan pelindung yang tebal, jarang bersifat compound. Displacement terjadi karena trauma, bukan karena tarikan otot. Trauma/pukulan biasanya mendorong bagian-bagian yang patah ke dalam.

Geiala klinik Penderita mengeluh sukar membuka rahang, merasa ada sesuatu yang menahan, waktu membuka mulut ke depan condyle seperti tertahan. Bila cedera sudah beberapa hari dan pembengkakan hilang, terlihat adanya depresi yang nyata sekeliling lengkung dengan lebar 1 atau 2 jari yang dapat diraba. Pembengkakan periobital, echymosis. Palpasi lunak Rasa nyeri Epistaksis, perdarahan hidung disebabkan karena cedera, tersobeknya selaput lendir antral oleh depresi fraktur zygomatic dengan perdarahan lebih lanjut ke antrum melalui ostium maxilla ke rongga hidung. Rasa baal di bawah mata, rasa terbakar dan paraesthesia Perdarahan di daerah konjungtiva Gangguan penglihatan diplopia, kabur.

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi digunakan untuk menunjang diagnosa. Untuk menegakkan diagnosa yang tepat sebaiknya digunakan beberapa posisi pengambilan foto, karena tulang muka kedudukannya sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan kita untuk melihatnya dari satu posisi saja. Pemeriksaan Ro Foto untuk fraktur maxilla antara lain :1. PA position2. Waters position3. Lateral position4. Occipito Mental Projection5. Zygomaticus6. Panoramic7. Occlusal view dari maxilla8. Intra oral dental

PENATALAKSANAAN

Perawatan fraktur ditujukan pada penempatan ujung tulang yang fraktur pada hubungan yang benar sehingga ujung tulang tersebut bersentuhan dan dipertahankan pada posisi tersebut sampai penyembuhan terjadi.

Reposisi/reduksi fraktur ada 2 cara:

1. Close reduction

Banyak terdapat cara reposisi. Cara yang mudah adalah reposisi tertutup yaitu manipulasi tulang dengan tarikan yang dilakukan di bawah kulit yang intact sampai fraktur berada pada posisi yang benar. fraktur yang dapat dilakukan reposisi tertutup, bila garis fraktur simpel, posisi cukup baik dan terjadinya fraktur masih baru.a. Reduksi yang dilakukan pada fraktur dengan cara manipulasi. Cara ini dilakukan pada fraktur yang masih baru dan mudah dikembalikan pada tempat semula. Caranya : Kita raba permukaan tulang yang patah melalui intra dan ekstra oral, lalu kita perhatikan oklusinya. Setelah kawat fiksasi dipasang, baru reduksi dikerjakan yaitu dengan manipulasi bagian-bagian tulang yang patah itu sampai kedudukannya seperti semula. b. Reduksi dengan tarikan Yang paling sering dipakai yaitu intermaxillary traction yaitu penarikan rahang bawah dan rahang atas. Cara ini dilakukan bila displacement sukar dimanipulasi pada tempat-tempat yang diinginkan yang mungkin oleh karena adanya spasmus otot dan fraktur yang sudah lama sehingga terjadi malunion yang sukar dikembalikan ke keadaan semula.

2. Open reduction (dengan cara operasi) Cara ini dipakai jika reduksi tertutup tidak dapat dikerjakan, lebih sering dikerjakan untuk fiksasi dari pada untuk reduksi fraktur.

Fiksasi dan Immobilisasi

Pada fraktur yang dilakukan reposisi tertutup ketika tulang rahang dan gigi sudah terletak pada posisi yang tepat, maka dapat dipertahankan dengan menggunakan kawat Arch Bar, membebat gigi, pita elastic atau kawat yang menghubungkan mandibula dan maksila. Fiksasi dapat dilakukan langsung pada gigi atau otot-otot sekitar rahang, sehingga dapat dibagi menjadi :

1. Indirect dental fixation Mengikat rahang atas dan rahang bawah bersama-sama dalam keadaan oklusi dengan mempergunakan pengikat atau elastic band. Pada fiksasi harus diperhatikan oklusi gigi atas dan bawah harus baik. Ada 2 macam cara : a. Kombinasi wiring dengan intermaxillary fixaton menurut cara Gilmer atau Ivy. b. Kombinasi arch bar dengan intermaxillary fixation. Macam-macam arch bar, yaitu Jelenko, Erich, Winter.

2. Direct Dental Fixation Immobilisasi dari fragmen-fragmen dengan menggunakan splint bar atau wire di antara dua atau lebih gigi pada daerah fraktur. Wiring merupakan cara yang paling mudah.Tekniknya : Mengelilingi dua gigi yang berdekatan kemudian menuju garis fraktur dengan sepotong kawat dengan mengikatnya kuat-kuat. Cara ini kurang stabil dan tidak dapat dipertanggung jawabkan sehingga jarang dipakai.

3. Indirect Skeletal Fixation Yang termasuk cara ini : Denture atau gurting splint dengan head bandage. Circumferential wiring. External fixation.

Perawatan Definitif Fraktur Maxilla

a. Fraktur Dentoalveolar Beberapa kemungkinan dapat terjadi : 1. Korona gigi patah tanpa mengenai pulpa Buat Ro foto dan tes pulpanya. Vitalitas pulpa perlu diikuti perkembangannya di kemudian hari. Kematian pulpa dapat berakibat dental granuloma atau kista radikularis di kemudian hari. 2. Patah korona gigi dan mengenai pulpa Ro foto dan perawatan endodontik Bila giginya remuk atau patah akarnya sebaiknya dicabut. Patah akar gigi yang kurang dari 1/3 apikal dapat dicoba dipertahankan. 3. Gigi yang dislokasi Ro foto dalam keadaan reposisi dan fiksasi. Bila gigi terlepas, diadakan pengisian seluruh akar secara retrograd atau konvensional dan diadakan replantasi. Biasanya gigi ini dapat bertahan beberapa tahun meskipun akhirnya terjadi ankilosis dan resorpsi. 4. Fraktur tulang alveolar Seringkali diperlukan debridement untuk membersihkan kepingan tulang yang terlepas, jaringan nekrotik dan benda asing. Bila sebagian tulang alveolar terlepas sarna sekali dari muko-periosteum, sebaiknya diangkat. Bila masih melekat dapat direposisi dan fiksasi. Umumnya fiksasi dengan Arch Bar memberikan hasil yang memuaskan, intermaxillary fixation tidak diperlukan keculai pada fraktur tulang alveolar regia molar dan premolar. Fiksasi dengan eyelet, baik jenis Ivy dan Stout's jarang memuaskan. b. Fraktur Le Fort I, II, III Penanganan fraktur langsung pada memposisikan kembali maksila pada hubungan yang tepat dengan mandibula serta dengan dasar tengkorak dan mengimmobilisasikannya.Secara garis besar immobilisasi dapat dibagi dalam 2 golongan besar :1. Immobilisasi extra oral = External fixation Termasuk apa yang disebut sekarang ini sebagai modern concept merupakan suatu cara rutin dalam perawatan fraktur 1/3 tengah tulang muka. Di Barat teknik ini kurang sesuai dengan situasi di Indonesia, karena peralatan yang mahal dan laboratorium yang kurang memadai. Ditinjau dari segi stabilitas, alat ini sangat ideal tetapi secara psikologis sering tidak dapat diterima secara baik oleh penderita.Ini disebabkan bentuk alat yang menakutkan bagi penderita yang harus terus memakainya selama perawatan. Berarti dia harus tinggal di RS selama pemakaian alat tersebut. Meskipun demikian peralatan itu tetap diperlukan pada perawatan fraktur 1/3 tengah tulang muka yang parah dan rumit.

Secara singkat teknik ini sebagai berikut : Maxilla yang mengalami fraktur ditahan Plaster of Paris Head Cap dengan bantuan bar penghubung (connecting bar), cap splint, dan extention rodnya. Maxilla yang dihubungkan dengan head cap disebut Craniomaxillary fixation. Bila mandibula yang dihubungkan dengan head cap disebut Cranio-mandibula fixation. Selain itu dapat diperkuat dengan menambahkan transbucal check wire. Bila cap splint pada gigi geligi tidak dapat dibuat dapat diganti dengan Arch Bar pada maxilla dan mandibula dan disatukan dengan IMF. Arch bar mandibula perlu diperkuat dengan circumferential wiring pada 3/3 dan dihubungkan dengan head cap melalui transbuccal check wire. Head cap dapat diganti dengan haloframe yang mempunyai fungsi sarna dengan head cap tetapi jauh lebih stabile Frame ditempatkan di sekitar cranium dengan 4 buah paku. Supraorbital pins adalah pilihan lain dari head cap. Dua buah pin di tempatkan pada supraorbital ridge kanan dan kiri. Kedua pin ini dihubungkan dengan sebuah bar yang melengkung. Bar ini kemudian dihubungkan dengan perantaraan suatu connecting bar lurus dengan extension rod dari alat-alat fiksasi pada rahang.

2. Immobilisasi dalam jaringanJenis ini dapat berupa fiksasi langsung dengan transosseus wiring pada garis fraktur atau dengan teknik suspensi dari kawat.Teknik fiksasi ini tidak memerlukan alat-alat yang mahal atau fasilitas laboratorium yang mutakhir. Teknik ini dapat diterima dengan baik oleh penderita karena peralatan fiksasi tidak tampak dari luar sehingga penderita dapat meninggalkan RS lebih cepat. Pada teknik ini maksila ditahan dengan kawat pada bagian tulang muka yang tidak mengalami cedera yang berada di atas garis fraktur. Kawat suspensi ini dihubungkan dengan kawat fiksasi/arch bar pada mandibula. Untuk memperkuat arch bar mandibula terhadap tarikan kawat suspensi, dianjurkan pemakaian circumferential wiring pada 3/3. Dengan demikian maksila terjepit di antara mandibula dan bagian tulang muka yang stabil.

Teknik suspensi dengan kawat ini dapat berupa a. CircumzygomaticKawat penggantung/penahan melalui atau meliputi arcus zygomaticus b. Zygomatic-mandibula Kawat melalui lubang pada tulang zygomac. Inferior orbital border-mandibula Kawat melalui lubang pada lower orbital rim d. Fronto-mandibular Kawat melalui lubang pada zygomatic processus pada tulang frontal e. Pyriform fossa mandibular Kawat melalui lubang pada fossa pyriformis. Ini hanya untuk perawatan Le Fort I dan sangat kurang stabil. f. Nasal septum-mandibularFiksasi ini sangat tidak stabil

Pada beberapa keadaan, suspensi langsung terhadap maksila dapat dilakukan yaitu apabila artikulasi gigi geligi yang tepat tidak mutlak diperlukan , misalnya pada : a. Salah satu rahang tidak bergigi. b. Immobilisasi mandibula tidak diperlukan.c. Suatu keadaan dimana immobilisasi mandibula merupakan kontraindikasi, misalnya pada obstruksi nasal yang berat.

c. Fraktur zygomatic komplex Cara ekstra oral Teknik Gillies lnsisi dibuat di daerah temporal sepanjang 2 cm di antara bifurkasi V.temporalis superfisialis membentuk sudut kira-kira 45 dengan bidang oklusal. Fascia temporalis diexposed, diinsisi dan Bristow's Elevator dimasukkan untuk mengungkit tulang zygoma pada kedudukan yang normal. External incision langsung dilakukan di antara fraktur. Sebuah hook khusus dimasukkan ke bawah tulang dan diungkit ke posisi yang normal.

Cara intra oral :

Insisi dibuat pada sulcus bucalis, lalu sebuah elevator dimasukkan untuk mengungkit bagian-bagian fraktur ke posisi semula. Fraktur yang tidak stabil diperlukan transusseus wiring langsung pada daerah yang patah tersebut. Intermaxillary fixation biasanya tidak diperlukan. Fraktur pada daerah arcus zygomaticus biasanya tidak memerlukan fiksasi karena keseimbangan otot-otot antara M.maseter di bawah dan fascia temporalis di atasnya.

Lama Fiksasi

Yang dimaksud dengan sembuh yaitu tidak terdapatnya mobilitas pada daerah fraktur bila dilakukan manipulasi dengan tangan. RA (maksila) 4 minggu RB (mandibula) 5-9 minggu Fracture condyle 2 minggu

Mengingat cepatnya penyembuhan fraktur dipengaruhi banyak faktor, misalnya hebatnya fraktur, keadaan umum penderita, gizi penderita, ketrampilan operator dan berbagai faktor lokal, maka sebelum dilakukan pembukaan alat-alat fiksasi, diperlukan suatu pengamatan lebih dulu terhadap penyembuhan fraktur tersebut.

Perawatan Pasca bedah

a. Perawatan segera setelah operasi Setelah operasi dengan narkose, ahli anestesi akan mengangkat endotrakeal tube, bila reflek batuk sudah pulih. Bila keadaan jalan nafas penderita mengkhawatirkan, nasopharingeal tube dapat dipertahankan sampai 24 jam, ini dapat kita diskusikan dengan ahli anestesi. Alat penyedot dan alat pemotong kawat harus selalu tersedia bilamana diperlukanb. Antibiotika dan analgetik Pemberian antibiotik sangat perlu sekali bagi setiap fraktur rahang, apalagi setelah dilakukan tindakan reposisi dan fiksasi. Pemberian dalam bentuk kapsul atau tablet adalah sulit karena adanya IMF. Obat dalam bentuk cairan lebih baik bagi penderita. Pemberian secara parenteralpum dapat dilakukan. Bila fiksasi baik analgetik biasanya tidak mutlak diberikan.c. Pemberian makanan Makanan umumnya dalam bentuk cairan atau setengah cairan. Makanan dapat diberikan melalui celah yang ada antara gigi atau pada fossa retromolar.d. Kebersihan mulutPembersihan gigi dan kawat fiksasi adalah sangat penting untuk mengurangi terjadinya infeksi. e. Pemberian vitamin A, D, B compleks, mineral Ca, fosfat.

KOMPLIKASI FRAKTUR MAKSILA

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya komplikasi fraktur: 1. Besarnya trauma yang terjadi Bila trauma yang terjadi begitu besar sehingga selain kerusakan tulang juga terjadi kerusakan jaringan. 2. Daerah fraktur yang terbukaPada fraktur kemungkinan terjadi sebagian daerah fraktur yang terbuka, yang memudahkan terjadinya infeksi. Dengan adanya infeksi kemungkinan terjadinya kerusakan jaringan makin lebih besar. 3. Fraktur tidak dirawat atau perawatan yang tidak sempurna. Pada fraktur yang tidak dirawat dapat terjadi komplikasi seperti malunion, delayed union dan keadaan yang lebih berat. Demikian juga pada perawatan yang tidak sempurna, keadaan yang lebih berat dapat terjadi dengan timbulnya infeksi akibat komplikasi yang terjadi dan ini berpengaruh pada penyembuhan yang diharapkan.4. Keadaan gigi-geligi Keadaan gigi yang kurang baik seperti anatomi gigi, posisi gigi yang kurang baik dan adanya gigi yang gangren dapat mernpermudah tirnbulnya komplikasi bila terjadi fraktur di regio tersebut.

Komplikasi setelah perawatan fraktur

1. Infeksi 2. Delayed unionSebab : Reduksi kurang baik Adanya interposisi dari serat-serat otot, fragmen tulang yang keci1-kecil atau adanya gigi pada garis fraktur Adanya fokal infeksi Reaksi penyembuhan dari tubuh yang rendah Penyakiy -penyakit sistemik seperti sifilis, TBC, dan lain-lain. Fiksasi dan imobilisasi yang tidak baik.3. MalunionSebab : Reduksi yang tidak tepat Alat fiksasi dan immobilisasi yang tidak baik.4. Non unionSebab : Menangguhkan perawatan yang terlalu lama Reduksi yang buruk Fiksasi dan immobilisasi yang tidak baik Alat fiksasi terlalu cepat dibuka Adanya benda asing di garis fraktur5. Kerusakan saraf 6. Trismus

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan tersebut, antara lain:

a) Umur b) Keadaan umum c) Bentuk fraktur d) Jarak antara kedua fragmen tulange) Vaskularisasi dari kedua fragmen f) Infeksi g) Perawatan

IV. FRAKTUR TULANG ORBITA

Fraktur maksila sangat berhubungan dengan timbulnya fraktur orbita terutama pada penderita yang menaiki kenderaan bermotor. Akhir- akhir ini fraktur tulang orbita dan fraktur maksila sangat sering terjadi akibat ketidakhati-hatian di dalam mengendarai kenderaan. Fraktur tulang orbita adalah terputusnya kontinuitas antara jaringan-jaringan pada dinding orbita dengan atau tanpa penglibatan tulang-tulang di daerah sekitarnya.ANATOMIOrbita digambarkan sebagai piramid yang berdinding empat yang berkonfergensi kea rah belakang. Dinding medial orbita kiri dan kanan dipisahkan oleh hidung. Pada setiap orbita, dinding lateral dan medial membentuk sudut 45, menghasilkan sudut tegak lurus antara kedua dinding lateral. Lingkaran anterior lebih kecil sedikit daripada lingkaran di bagian dalam tepiannya, yang merupakan tepian pelindung paling kuat.Volume orbita orang dewasa kira-kira 30cc dan bola mata hanya menempati sekitar seperlima bagian ruangnya,sedangkan yang menempati ruang tersebut paling banyak adalah jaringan lemak dan otot. Orbita berhubungan dengan sinus frontalis di superior, sinus maksilaris di inferior serta sinus ethmoidalis dan sphenoidalis di medial. Dasar orbita tipis, mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola mata berakibat timbulnya blow out fracture dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris.Dinding orbita terdiri atas tulang:1. Superior: os frontal2. Lateral:os frontal, os zigomatik,ala magna os sfenoid3. Inferior: os zigomatik,os maksila,os palatina4. Nasal: os maksila,os lakrimal,os etmoidForamen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf optik,arteri,vena dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid. Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui n.lakrimal(V), n.frontal(V), n.troklear(V), n.okulomotor(III), n.nasosiliar(V), n.abdusen(VI), dan aretri vena oftalmik. Fisura orbita inferior terletak di dasar tengah temporal dilalui oleh n.infra-orbita dan zigomatik serta a.infra orbita.ETIOLOGI Faktor penyebab bervariasi. Antaranya kecelakaan lalu lintas,perkelahian,senjata yang tumpul atau tajam, dan kecelakaan pekerjaan misalnya jatuh dari tempat yang tinggi atau alat yang jatuh ke kepala. Faktor etiologi lain yang mengakibatkan fraktur tulang orbita adalah kecelakaan ketika berolahraga terutamanya olahraga seperti tinju,kriket,hoki serta sepakbola.KLASIFIKASI TULANG ORBITA1. EksternalMelibatkan orbita rim dan tulang-tulang yang berdekatan, misalnya fraktur pada nasoetmoid dan fraktur malar.2. InternalMelibatkan tulang-tulang di dalam kavitas orbita. Fraktur ini terjadi tanpa atau sedikit penglibatan orbita rim.GEJALA KLINIS1. EnoftalmusBiasanya tidak dijumpai pada awal kejadian, karena adanya edema retroorbita atau perdarahan,bahkan kadang dijumpai proptosis ringan. Bisa terjadi pada hari ke-10 saat hilangnya edema. Tanda yang mendukung adalah sulkus superior yang dalam dan fisura palpebra menyempit.2. Exoftalmus3. Diplopia. Bisa disebabkan oleh salah satu mekanisme dibawah ini: Perdarahan dan edema jaringan lemak orbita menyebabkan septum yang menghubungkan antara m.rectus inferior dan m.oblique ke periorbita menjadi sangat erat sehingga menimbulkan hambatan pergerakan bola mata. M.rectus inferior atau m.oblique inferior terjepit secara mekanis diantara patahan tulang atau jaringan ikat dan lemak. Trauma langsung pada otot extraokuli Bola mata terdorong kearah vertical.4. Asimetri pada muka. Tidak lazim terdapat pada penderita dengan blowout fracture dari dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik, terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma5. Gangguan saraf sensoris. Hipestesia dan anesthesia dari saraf sensoris nervus infra orbita berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila timbul kelainan ini pada fraktur, sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra orbitalis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Foto rontgen proyeksi Caldwell dan Waters. Proyeksi Caldwell untuk menggambarkan dasar orbita dan processus zigomatico-orbita di atas piramida petrosus. Lebih diperluas gambaran orbita dengan menggunakan proyeksi Waters.2. CT-scan. Dapat mengevaluasi trauma orbita sekunder untuk membedakan detail dari struktur tulang.3. MRI

PENATALAKSANAAN1. Konservatif. Penggunaan antibiotik apabila fraktur mengenai sinus maksilaris.2. Operasi. Indikasi: Diplopia persisten 30 dari posisi primer pandangan apabila terjadi penjepitan Enoftalmus 2mm atau lebih Fraktur besar (separuh dari dasar orbita) yang megakibatkan enoftalmusOperasi dilakukan melalui insisi intraoral untuk memaparkan bagian bawah zigoma atau insisi konjungtiva untuk mencapai dasar orbita dan lingkar orbita. Rekonstruksi dasar orbita paling baik dilakukan dengan penataan kembali fragmen-fragmen tulang yang tergeser.

KOMPLIKASITiga faktor yang menentukan resiko terjadinya komplikasi yaitu: 1. Ukuran fraktur, 2.herniasi isi orbita ke sinus maksila, dan 3.terjepitnya otot.1. Kebutaan2. Diplopia permanen3. Migrasi implant yang menekan kantung lakrimalis serta mengakibatkan sumbatan dan dakriosistitis4. Perdarahan5. Infeksi6. Retraksi kelopak mata bawah7. Anestesi infraorbita

V. FRAKTUR TULANG MANDIBULA

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Mandibula adalah tulang rahang bawah pada manusia dan berfungsi sebagai tempat menempelnya gigi geligi. Mandibula berhubungan dengan basis kranii dengan adanya temporo-mandibular joint dan disangga oleh otot otot mengunyah. Mandibula terdiri dari corpus berbentuk tapal kuda dan sepasang ramus. Corpus mandibula bertemu dengan ramus masing masing sisi pada angulus mandibulae. Pada permukaan luar digaris tengah corpus mandibulae terdapat sebuah rigi yang menunjukkan garis fusi dari kedua belahan selama perkembangan, yaitu simfisis mandibulae. Foramen mental dapat dilihat di bawah gigi premolar kedua. Dari lubang ini keluar a., v., n. alveolaris inferior. Fraktur mandibula sangat penting dihubungkan dengan adanya otot yang berorigo atau berinsersio pada mandibula ini. Otot tersebut adalah otot elevator, otot depressor dan otot protrusor. Mandibula dipersarafi oleh saraf mandibular, alveolar inferior, pleksus dental inferior dan nervus mentalis. Sistem vaskularisasi pada mandibula dilakukan oleh arteri maksilari interna, arteri alveolar inferior, dan arteri mentalis.

DEFINISIFraktur mandibula adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang pada mandibula. Hal ini disebabkan oleh kondisi mandibular yang terpisah dari cranium. Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar. Penanganan fraktur mandibular ini sangat penting terutama untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna, proses mengunyah dan menelan yang sempurna. Fraktur mandibula dapat dibagi menjadi dua kelompok utama : a) Fraktur tanpa terbukanya tulang dan tanpa kerusakan jaringan lunak b) Fraktur dengan terbukanya tulang disertai dengan kerusakan yang hebat dari jaringan lunak Mandibula mudah terkena cedera karena posisinya yang menonjol, sehingga mandibula mudah menjadi sasaran pukulan dan benturan. Daerah yang lemah pada mandibula adalah daerah subkondilar, angulus mandibula, dan daerah mentalis.

ETIOLOGIBenturan yang keras pada wajah dapat menimbulkan fraktur mandibula. Toleransi mandibula terhadap benturan lebih tinggi daripada tulang-tulang wajah yang lain. Fraktur mandibula lebih sering terjadi daripada fraktur tulang wajah yang lain karena bentuk mandibula yang menonjol sehingga sensitif terhadap benturan. Pada umumnya fraktur mandibula disebabkan oleh karena trauma langsung. Fraktur mandibula dapat disebabkan oleh trauma maupun proses patologik. 1. Fraktur traumatik disebabkan oleh : Trauma langsung (direk). Trauma tersebut langsung mengenai anggota tubuh penderita. Trauma tidak langsung (indirek), Terjadi seperti pada penderita yang jatuh dengan tangan menumpu dan lengan atas-bawah lurus, berakibat fraktur kaput radii atau klavikula. Gaya tersebut dihantarkan melalui tulang-tulang anggota gerak atas dapat berupa gaya berputar, pembengkokan (bending) atau kombinasi pembengkokan dengan kompresi yang berakibat fraktur butterfly, maupun kombinasi gaya berputar, pembengkokan dan kompresi seperti fraktur oblik dengan garis fraktur pendek. Fraktur juga dapat terjadi akibat tarikan otot seperti fraktur patela karena kontraksi quadrisep yang mendadak.Hal yang umum menyebabkan trauma antara lain kecelakaan kendaraan bermotor (50.8%), terjatuh (22.3%), kekerasan atau perkelahian (18.8%), kecelakaan kerja (2.8%), kecelakaan berolahraga (3.7%), kecelakaan lainnya (1.6%).

2. Fraktur fatik atau stressTrauma yang berulang dan kronis pada tulang yang mengakibatkan tulang menjadi lemah. Contohnya pada fraktur fibula pada olahragawan.3. Fraktur patologisPada tulang telah terjadi proses patologis yang mengakibatkan tulang tersebut rapuh dan lemah. Biasanya fraktur terjadi spontan. Fraktur patologik dapat disebabkan oleh kista, tumor tulang, osteogenesis imperfekta, osteomieleitis, osteoporosis, atropi atau nekrosis tulang. KLASIFIKASISecara umum klasifikasi fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan terminologi, yaitu:1. Tipe fraktur Fraktur simple atau fraktur tertutup, yaitu keadaan fraktur dengan jaringan lunak yang terkena tidak terbuka. Fraktur compound atau fraktur terbuka, yaitu keadaan fraktur yang berhubungan dengan lingkungan luar, yakni jaringan lunak seperti kulit, mukosa atau ligamen periodontal terpapar di udara. Fraktur komunisi, yaitu fraktur yang terjadi pada satu daerah tulang yang diakibatkan oleh trauma yang hebat sehingga mengakibatkan tulang hancur berkeping-keping disertai kehilangan jaringan yang parah. Fraktur greenstick, yaitu fraktur tidak sempurna dimana pada satu sisi dari tulang mengalami fraktur sedangkan pada sisi yang lain tulang masih terikat. Fraktur ini sering dijumpai pada anak-anak. Fraktur patologis, yaitu fraktur yang diakibatkan oleh adanya penyakit pada mandibula, seperti osteomielitis, tumor ganas, kista atau penyakit tulang sistemik. Proses patologis pada mandibula menyebabkan tulang lemah sehingga trauma yang kecil dapat mengakibatkan fraktur.

2. Lokasi frakturKlasifikasi fraktur mandibula berdasarkan pada letak anatomi dari fraktur mandibula dapat terjadi pada daerah-daerah sebagai berikut : Dentoalveolar Kondilus Koronoideus Ramus Sudut mandibula Korpus mandibula Simfisis Parasimfisis Menurut Chang (2008) daerah yang sering terkena fraktur adalah kondilus (29%). Menurut Stierman (2000), dikatakan bahwa fraktur mandibula lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa. Selain itu, dalam penelitian tersebut juga dilaporkan bahwa 48% dari penderita fraktur mandibula berada pada kisaran usia 21-30 tahun.3. Pola Fraktura. Fraktur unilateralFraktur unilateral adalah fraktur yang biasanya tunggal pada satu sisi mandibula saja, tetapi kadang terjadi lebih dari satu fraktur yang dapat dijumpai pada satu sisi mandibula dan bila hal ini terjadi, sering didapatkan pemindahan fragmen secara nyata. Suatu fraktur korpus mandibula unilateral sering terjadi. b. Fraktur bilateralFraktur bilateral adalah fraktur yang sering terjadi akibat kombinasi trauma langsung dan tidak langsung, terjadi pada kedua sisi mandibula. Fraktur ini umumnya akibat mekanisme yang menyangkut angulus dan bagian leher kondilar yang berlawanan atau daerah gigi kanius dan angulus yang berlawanan.c. Fraktur multipleFraktur multipel adalah variasi pada garis fraktur dimana bisa terdapat dua atau lebih garis fraktur pada satu sisi mandibula. Lebih dari 50% dari fraktur mandibula adalah fraktur multipel. Pada umumnya fraktur ini terjadi karena trauma tepat mengenai titik tengah dagu yang mengakibatkan fraktur pada simpisis dan kedua kondilus. d. Fraktur Berkeping-keping (Comminuted)Fraktur ini hampir selalu diakibatkan oleh kecelakaan langsung yang cukup keras pada daerah fraktur, seperti pada kasus kecelakaan terkena peluru saat perang. Dalam sehari-hari, fraktur ini sering terjadi pada simfisis dan parasimfisis. Fraktur yang disebabkan oleh kontraksi muskulus yang berlebihan. Kadang fraktur pada prosesus koronoid terjadi karena adanya kontraksi refleks yang datang sekonyong-konyong mungkin juga menjadi penyebab terjadinya fraktur pada leher kondilar. Oikarinen dan Malstrom (1969), dalam serangkaian 600 fraktur mandibula menemukan 49,1% fraktur tunggal, 39,9% mempunyai dua fraktur, 9,4% mempunyai tiga fraktur, 1,2% mempunyai empat fraktur, dan 0,4% mempunyai lebih dari empat fraktur.

Menurut hubungan dengan jaringan ikat sekitarnya, dibagi menjadi :1. Fraktur simple/tertutup, disebut juga fraktur tertutup, oleh karena kulit di sekeliling fraktur sehat dan tidak sobek. 2. Fraktur terbuka, kulit di sekitar fraktur sobek sehingga fragmen tulang berhubungan dengan dunia luar (bone expose) dan berpotensi untuk menjadi infeksi. Fraktur terbuka dapat berhubungan dengan ruangan di tubuh yang tidak steril seperti rongga mulut.3. Fraktur komplikasi, fraktur tersebut berhubungan dengan kerusakan jaringan atau struktur lain seperti saraf, pembuluh darah, organ visera atau sendi.

GEJALA FRAKTUR MANDIBULAGejala yang timbul dapat berupa dislokasi, yaitu berupa perubahan posisi rahang yang menyebabkan maloklusi atau tidak berkontaknya rahang bawah dan rahang atas. Jika penderita mengalami pergerakan abnormal pada rahang dan rasa yang sakit jika menggerakkan rahang. Pembengkakan pada posisi fraktur juga dapat menentukan lokasi fraktur pada penderita. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang fraktur bila rahang digerakkan, laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur, discolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan, terjadi pula gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut, hipersalivasi dan halitosis, akibat berkurangnya pergerakan normal mandibula dapat terjadi stagnasi makanan dan hilangnya efek self cleansing karena gangguan fungsi pengunyahan. Gangguan jalan nafas pada fraktur mandibula juga dapat terjadi akibat kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan perubahan posisi, trismus, hematom, edema pada jaringan lunak. Jika terjadi obstruksi hebat saluran nafas harus segera dilakukan trakeostomi, selain itu juga dapat terjadi anastesi pada satu sisi bibir bawah, pada gusi atau pada gigi dimana terjadi kerusakan pada nervus alveolaris inferior.

DIAGNOSISDiagnosis pasien dengan fraktur mandibula dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis Setiap fraktur mempunyai riwayat trauma. Posisi waktu kejadian merupakan informasi yang penting sehingga dapat menggambarkan tipe fraktur yang terjadi. Bila trauma ragu-ragu atau tidak ada maka kemungkian fraktur patologis tetap perlu dipikirkan. Riwayat penderita harus dilengkapi apakah ada trauma daerah lain (kepala, torak, abdomen, pelvis dll). Pertanyaan-pertanyaan kepada penderita maupun pada orang yang lebih mengetahui harus jelas dan terarah, sehingga diperoleh informasi mengenai; keadaan kardiovaskuler maupun sistem respirasi, apakah penderita merupakan penderita diabetes, atau penderita dengan terapi steroid yang lama maupun meminum obat-obat lain, alergi terhadap obat, makan atau minum terakhir dengan penggunaan obat-obat anestesi. Pemeriksaan fisik Inspeksi : deformitas angulasi medial, lateral, posterior atau anterior, diskrepensi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan, apakah ada bengkak atau kebiruan, pada luka yang mengarah ke fraktur terbuka harus diidentifikasi dan ditentukan menurut derajatnya menurut klasifikasi Gustillo et. Al. Palpasi : Nyeri tekan pada daerah fraktur, nyeri bila digerakkan. Krepitasi : biasanya penderita sangat nyeri oleh sebab itu pemeriksaan ini harus gentle dan bila perlu dapat ditiadakan. Gerakan : gerakan luar biasa pada daerah fraktur. Gerakan sendi di sekitarnya terbatas karena nyeri, akibatnya fungsi terganggu. Pemeriksaan trauma di tempat lain seperti kepala, toraks, abdomen, traktus, urinarius dan pelvis. Pemeriksaan komplikasi fraktur seperti neurovaskuler bagian distal fraktur yang berupa: pulsus arteri, warna kulit, temperatur kulit, pengembalian darah ke kapiler Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan dapat dilakukan dengan foto polos pada posisi posteroanterior, lateral, Towne, lateral oblik, kiri dan kanan. Jikalau diperlukan pada hal-hal yang kurang jelas, dilakukan pemeriksaan tomografi computer (CT-Scan).

PENATALAKSANAANPenanggulangan fraktur mandibular ini tergantung pada lokasi fraktur, luasnya fraktur dan keluhan yang diderita. Lokasi fraktur ditentukan dengan pemeriksaan radiografi. Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi darah termasuk penanganan syok (circulation), penanganan luka jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur (secara tertutup (close reduction) dan secara terbuka (open reduction), fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi, sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.Penggunaan mini atau mikro-plate makin popular dipakai sejak tahun 1970-an. Penggunaan mini-plate tidak menimbulkan kallus. Mini-plate ini dipasang dengan mempergunakan skrup (screw), bersifat lebih stabil, tidak memberikan reaksi jaringan, dapat dipakai untuk waktu yang lama, dan mudah dikerjakan. Kekurangannya ialah sulit didapat dan harganya mahal pemakaian atau penggunaan makin sering digunakan pada kasus-kasus fraktur di muka di negara maju.

KOMPLIKASI Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur mandibula umumnya jarang terjadi. Komplikasi yang paling umum terjadi pada fraktur mandibula adalah infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya dapat menyebabkan berbagai kemungkinan komplikasi lainnya. Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun non-union, hal ini akan memberi keluhan berupa rasa sakit dan tidak nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang (Temporo mandibular joint) oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi rahang kiri dan kanan. Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot pengunyahan dan otot sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial pain). Terlebih jika pasien mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam hubungan oklusi yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh pasien patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau penanganan secara adekuat. Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya malunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling besar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibular.