jbptitbpp gdl aurioerdin 22700 3 2011ta 2

15
6 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Menurut Tobler (1922) dalam van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Sumatera Tengah dibagi menjadi tujuh zona fisiografi, yaitu Dataran Aluvial Pantai Timur, Cekungan Tersier Sumatera Tengah, Zona Depresi Tengah dari Daerah Barisan, Pegunungan Barisan Depan, Sekis Barisan atau Daerah Barisan Timur, Daerah Dataran Tinggi Barisan, Dataran Aluvial Pantai Barat. Sebagai perkembangan lebih lanjut dari pembagian Tobler (1922), van Bemmelen ( 1949) membagi fisiografi daerah Sumatera Tengah, yaitu Zona Pegunungan Tiga Puluh, Zona Sesar Semangko, Zona Pegunungan Bukit Barisan, Zona Dataran Rendah dan Zona Dataran Bergelombang (Gambar 2.1) Gambar 2.1 Peta Zona Fisiografi Sumatera Tengah (van Bemmelen, 1949).

Upload: eko-iriyanto

Post on 05-Jul-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 1/15

6

BAB II

GEOLOGI REGIONAL

2.1. Fisiografi

Menurut Tobler (1922) dalam van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Sumatera

Tengah dibagi menjadi tujuh zona fisiografi, yaitu Dataran Aluvial Pantai Timur, Cekungan

Tersier Sumatera Tengah, Zona Depresi Tengah dari Daerah Barisan, Pegunungan Barisan

Depan, Sekis Barisan atau Daerah Barisan Timur, Daerah Dataran Tinggi Barisan, Dataran

Aluvial Pantai Barat.

Sebagai perkembangan lebih lanjut dari pembagian Tobler (1922), van Bemmelen (1949)

membagi fisiografi daerah Sumatera Tengah, yaitu Zona Pegunungan Tiga Puluh, Zona Sesar

Semangko, Zona Pegunungan Bukit Barisan, Zona Dataran Rendah dan Zona Dataran

Bergelombang (Gambar 2.1)

Gambar 2.1 Peta Zona Fisiografi Sumatera Tengah (van Bemmelen, 1949).

Page 2: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 2/15

7

Berdasarkan pembagian dari van Bemmelen (1949), daerah penelitian termasuk kedalam

Zona Pegunungan Barisan dan Zona Sesar Semangko (Katili dan Hehuwat, 1967 dalam

Koesomadinata dan Matasak, 1981).

2.2 Stratigrafi Regional

Daerah penelitian terletak pada subcekungan Sinamar merupakan subcekungan bagian

timur dari cekungan Ombilin. Subcekungan Sinamar yang berada di timur dan subcekungan

Talawi yang berada di barat merupakan dua bagian subcekungan dari cekungan Ombilin , yang

secara struktural dipisahkan oleh sesar berarah relatif utara-selatan sesar Tanjung Ampalu. Selain

secara struktural pembagian subcekungan ini juga didasarkan atas batuan penyusun dari kedua

subcekungan tersebut. Subcekungan Talawi disusun oleh endapan berumur Paleogen, sedangkan

subcekungan Sinamar disusun oleh endapan berumur Neogen (Situmorang, dkk., 1993, Hastuti,

dkk., 2001, Barber, dkk., 2005).

Secara stratigrafi, berdasarkan dari resume para peneliti terdahulu (Koesoemadinata dan

Matasak, 1981, Koning, 1985, Situmorang, dkk., 1991, Yarmanto dan Fletcher, 1993, Barber,

dkk., 2005) cekungan Ombilin memiliki batuan dengan umur Pra-Tersier (Perm dan Trias)

hingga batuan berumur Kuarter (Gambar 2.2) dengan deskripsi dari tiap-tiap formasi yang

ditulis oleh para peneliti terdahulu yang ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Page 3: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 3/15

8

Gambar 2.2. Stratigrafi Cekungan Ombilin berdasarkan kompilasi Koesomadinata dan Matasak (1981), Koning (1985), Situmorang, dkk.

(1991), Yarmanto dan Fletcher (1993), Barber, dkk. (2005).

Page 4: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 4/15

9

Gambar 2.3. Deskripsi dari tiap formasi kompilasi dari Koesomadinata dan Matasak (1981), Koning (1985), Situmorang, dkk. (1991).

Page 5: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 5/15

10

Untuk mempermudah penjelasan, penulis merujuk kepada satu tata nama satuan

litostratigrafi, yaitu yang dibuat oleh Koesomadinata dan Matasak (1981), yang dijelaskan dari

tua ke muda sebagai berikut.

2.2.1 Batuan Pra-Tersier

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), batuan Pra-Tersier merupakan batuan

yang mendasari cekungan Ombilin. Batuan ini tersingkap di bagian barat dan timur dari

cekungan.

Batuan Pra-Tersier yang tersingkap di bagian barat cekungan terdiri dari:

-  Formasi Silungkang, terdiri dari litologi batuan vulkanik batugamping koral. Batuan

vulkanik terdiri dari lava andesitik, basaltik serta tufa. Umur formasi ini adalah Permo-

Karbon berdasarkan kandungan fosil Fusulinida pada batu gamping.

Formasi Tuhur, terdiri dari litologi batusabak, anggota serpih dan anggota batugamping.

Umur formasi ini adalah Trias.

Seluruh batuan ini kemudian diintrusi oleh Granit Lassi, yang berumur 200 juta tahun

yang lalu (Katili,1962 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).

Batuan Pra-Tersier yang tersingkap di bagian timur cekungan terdiri dari:

-  Formasi Kuantan terdiri dari litologi batugamping Oolit yang mengalami rekristalisasi,

marmer, batusabak, filit serta kuarsit yang berkembang secara lokal.Umur dari formasi ini

adalah Trias (Kastowo dan Silitonga,1973 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981)

Formasi Kuantan di intrusi oleh granit masif dari Formasi Sumpur (Musper, 1930 dalam

Koesoemadinata dan Matasak, 1981) yang berumur 200 juta tahun yang lalu (Obradovich,1973 

dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).

2.2.2 Batuan Tersier

Batuan Tersier cekungan Ombilin dapat dibagi menjadi enam formasi menurut

Koesomadinata dan Matasak (1981), sebagai berikut.

a.  Formasi Brani

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Brani terdiri dari konglomerat

 berwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil sampai kerakal, dengan beraneka ragam jenis

fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak dan argilit, granit, kuarsit, “arkosic gritsand”

yang berbutir kasar, massif dan umumnya tidak berlapis. Umur formasi ini berdasarkan

Page 6: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 6/15

11

hubungan yang menjemari dengan Formasi Sangkarewang diduga Paleosen hingga Eosen.

Formasi Brani diperkirakan diendapkan sebagai endapan kipas aluvial. 

 b.  Formasi Sangkarewang

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sangkarewang terdiri dari serpih

 berlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai hitam, plastis, gampingan mengandung

material karbon, mika, pirit, dan sisa tumbuhan. Formasi ini memiliki sisipan berupa lapisan-

lapisan batupasir dengan tebal yang umumnya kurang dari 1 m, terdapat fragmen kuarsa dan

feldspar, gampingan berwarna abu-abu sampai hitam, matriks lempung terpilah buruk

mengandung mika dan material karbon dan terdapatnya struktur nendatan (slump). Sisipan

 batupasir ini menunjukan pola menghalus ke atas. Berdasarkan analisa polen umur dari formasi

ini diperkirakan berumur Eosen atau pra-Eosen (JICA, 1979 dalam Koesomadinata dan Matasak,

1981), berumur Eosen Awal (Koning, 1985), berumur Eosen Atas (Himawan, 1991 dalam

Situmorang, dkk.,1991), berumur Paleosen-Eosen (Sirumorang, dkk., 1991), berumur Paleosen-

Eosen Awal (Yarmanto dan Fletcher, 1993), berumur Eosen-Oligosen (Whateley dan Jordan,

1989, Howells, 1997 dalam Barber, 2005). Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981)

 berdasarkan hubungannya dengan Formasi Sawahlunto yang berada di atasnya yang berdasarkan

analisa polen Formasi Sawahlunto menunjukkan umur Paleosen sampai Eosen diperkirakan

Formasi Sangkarewang ini berumur Paleosen. Formasi Sangkarewang diperkirakan terendapkan

 pada lingkungan danau. 

c.  Formasi Sawahlunto

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terdiri dari sekuen serpih

 berwarna abu-kecoklatan, serpih lanauan dan batulanau dengan sisipan batupasir kuarsa

 berwarna abu-kecoklatan dan dicirikan dengan hadirnya batubara. Serpih umumnya karbonan.

Batupasir memiliki ciri sekuen menghalus ke atas, memiliki struktur sedimen berlapis silang-

siur, ripple lamination dan dasar erosi tegas yang menunjukkan suatu sekuen  point bar . Batubara

umumnya berselingan dengan batulanau berwarna kelabu dan lempung karbonan.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) Formasi Sawahlunto ini berumur Eosen

 berdasarkan analisa polen yang menunjukkan umur Paleosen sampai Eosen, sedangkan menurut

Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991) dan Bartman dalam Yarmanto dan Fletcher

(1993) berdasarkan analisa polen, umur formasi ini diperkirakan Oligosen hingga Miosen Awal.

Page 7: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 7/15

12

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), hadirnya serpih karbonan, batubara,

khususnya batupasir yang bertipe point bar  menunjukkan lingkungan pengendapan dari formasi

ini merupakan suatu dataran banjir dengan sungai yang berkelok dimana batubara terdepositkan. 

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto terletak selaras di atas

Formasi Brani dan secara setempat juga terletak selaras dengan Formasi Sangkarewang dan juga

diperkirakan menjemari dengan Formasi Sangkarewang di beberapa tempat. Menurut Cameron,

dkk (1981)  dalam Koning (1985) proses pengangkatan dan erosi yang berhubungan dengan

tektonik sesar mendatar terjadi pada saat pengendapan Formasi Sawahlunto. Proses hiatus ini

menurut Koning (1985) ditemukan tersingkap di beberapa tempat dan sebagai bukti adanya

ketidakselarasan bersudut  pada beberapa hasil seismik pada pinggir cekungan.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto memiliki ketebalan

274 meter. Sedangkan, menurut Koning (1985) berdasarkan sumur bor, tebal formasi ini 170

meter. 

d.  Formasi Sawah Tambang

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini dicirikan oleh sekuen masif

yang tebal dari batupasir berstruktur silang siur. Serpih dan batulanau berkembang secara

setempat. Batupasir berwarna abu-abu terang sampai coklat, berbutir halus sampai sangat kasar,

sebagian besar konglomeratan dengan fragmen kuarsa berukuran kerikil, terpilah sangat buruk,

menyudut tanggung, keras dan masif. Ciri sekuen Formasi Sawahtambang terdiri dari siklus-

siklus atau seri pengendapan dimana setiap siklus dibatasi oleh bidang erosi pada bagian

dasarnya dan diikuti oleh kerikil yang berimbrikasi, bersilang siur dan paralel laminasi dengan

sekuen yang menghalus keatas. Pada batupasir konglomeratan terdapat lensa-lensa batupasir

yang bersilang-siur. Struktur silang siur umumnya berskala besar dan memiliki bentuk

gelombang (trough crossbedded). Secara setempat, pada bagian bawah Formasi Sawahtambang,

terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan yang membentuk unit tersendiri

yaitu sebagai Anggota Rasau. Sedangkan, pada bagian atas formasi ini dengan sisipan lapisan-

lapisan batulempung dengan kandungan laminasi batubara yang terjadi secara setempat,

membentuk unit sendiri, yaitu Anggota Poro.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terletak selaras di atas Formasi

Brani dan memiliki hubungan selaras dan menjari dengan Formasi Sawahlunto di beberapa

tempat. Menurut Cameron, dkk. (1981)  dalam Koning (1985) berdasarkan pemetaan lapangan

Page 8: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 8/15

13

yang telah dilakukan oleh Cameron, dkk. menunjukkan antara Formasi Sawahtambang dengan

Formasi Sawahlunto memiliki hubungan ketidakselarasan bersudut. Sedangkan, menurut

Situmorang, dkk (1991) secara keseluruhan antara Formasi Sawahlunto dan Formasi

Sawahtambang memiliki hubungan menjari berdasarkan lingkungan pengendapan dari kedua

formasi tersebut yang merupakan sistem sungai, yang mana Formasi Sawahtambang memiliki

lingkungan pengendapan sungai teranyam pada bagian fasies proksimal yang berubah secara

lateral menjadi fasies distal yang membentuk endapan sungai berkelok dari Formasi Sawahlunto.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) umur dari formasi ini berdasarkan posisi

stratigrafi di bawah Formasi Ombilin dan hubungan yang selaras di atas Formasi Sawahlunto

diperkirakan berumur Oligosen. Menurut Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991)

 berdasarkan analisa polen formasi ini juga menunjukan berumur Oligosen.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) dan Situmorang, dkk. (1991), formasi ini

diendapkan pada lingkungan sistem sungai teranyam.

Menurut Whateley dan Jordan (1989) dan Howells (1997) dalam Barber, dkk. (2005)

sumber sedimen dari Formasi Sawahtambang ini berasal dari barat cekungan Ombilin. Menurut

Barber, dkk. (2005) proses pengendapan dari Formasi Sawahtambang ini bersamaan dengan

 pengangkatan dari Bukit Barisan.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahtambang memiliki

ketebalan antara 625 meter sampai 825 meter, dan menunjukan terjadinya penebalan dari utara

cekungan ke arah selatan. Sedangkan, menurut (Koning, 1985) berdasarkan sumur bor tebal

formasi ini 1420 meter. 

e.  Formasi Ombilin

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terdiri dari serpih atau

napal berwarna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan, bila lapuk menjadi berwarna kelabu

terang dan umumnya berlapis baik. Termasuk kedalam sekuen ini adalah lapisan-lapisan

 batupasir yang mengandung glaukonit, berbutir halus, berwarna kelabu kehijauan, secara umum

terdapat sisa-sisa tumbuhan dan fosil moluska. Pada bagian bawah dari formasi ini terdapat

nodul-nodul batugamping dan lensa batugamping foraminifera-koral, sedangkan dibagian atas

sisipan lapisan batupasir tufaan, diselingi oleh batulanau bersifat karbonan, mengandung

glaukonit dan fosil moluska. Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) napal dari formasi ini

mengandung Globigerina yang merupakan ciri endapan laut.

Page 9: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 9/15

14

Umur dari formasi ini diperkirakan berumur Miosen Awal (Koesomadinata dan Matasak,

1981, Humpreys, dkk., 1991 dalam Situmorang, dkk., 1991).

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), berdasarkan kandungan fosil bentonik

serta kehadiran glaukonit, maka formasi ini diperkirakan diendapkan pada lingkungan neritik

luar sampai batial atas. Menurut Howell (1997) dalam Barber, dkk. (2005) Formasi Ombilin

terendapkan pada lingkungan laut, yang terdiri dari batupasir halus, batulanau dan batulempung

yang sering kali karbonatan dengan batugamping secara setempat memiliki ketebalan 50 meter

sampai 100 meter yang termasuk ke dalam lentikuler koral dan batugamping alga. Batupasir

halus dengan fragmen dari batubara dan amber diperkirakan merepresentasikan pasir pantai.

Proses pengendapan Formasi Ombilin pada cekungan Ombilin ini terjadi akibat adanya proses

transgressi yang terjadi pada cekungan Ombilin yang berhubungan dengan fase transgressi pada

cekungan busur belakang Sumatra (Situmorang, dkk., 1991., Hastuti, dkk., 2001, Barber, dkk.,

2005).

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terletak selaras di atas

Formasi Sawahlunto dan terletak secara tidak selaras di beberapa tempat. Sedangkan, Formasi

Ombilin terletak selaras di atas Formasi Sawahtambang. Menurut Koning (1985) antara Formasi

Ombilin dan Formasi Sawahtambang memiliki hubungan tidak selaras berdasarkan reflektansi

vitrinit terhadap kedalaman pada sumur bor di subcekungan Sinamar yang mengindikasikan

terdapatnya bagian Sawahtambang yang telah tererosi.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin memiliki ketebalan

antara 1442 meter, sedangkan menurut Koning (1985) berdasarkan data seismik, tebal formasi

ini 2740 meter. 

f.  Formasi Ranau

Menurut van Bemmelen (1943) pada beberapa lokasi di Cekungan Ombilin, didapatkan

formasi berupa tufa yang disebut sebagai Tufa Ranau. Tufa ini dianggap menjadi deposit

volkanik berumur Pleistosen (Koesomadinata dan Matasak, 1981), sedangkan menurut Bellon,

dkk. (2004) dalam Barber, dkk. 2005 umur dari formasi ini diperkirakan antara 5,5 hingga 2,4

 juta tahun yang lalu (Pliosen).

Adanya perbedaan urutan litostratigrafi terhadap umur dari tiap peneliti-peneliti

sebelumnya (Gambar 2.2), diakibatkan oleh sukarnya penentuan umur yang tepat dari tiap

formasi pada cekungan Ombilin bagian bawah yang berupa endapan darat. Penentuan umur yang

Page 10: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 10/15

15

memiliki rentang umum dari endapan-endapan darat tersebut, dibatasi oleh endapan

 berlingkungan laut Formasi Ombilin yang terdapat foraminifera dari Miosen Awal, yang

memberikan batas umur paling muda untuk formasi-formasi yang lebih tua (Gambar 2.4).

Page 11: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 11/15

16

Gambar 2.4. Kompilasi kumpulan fosil dari Koesomadinata dan Matasak (1981), Situmorang, dkk.(1991) dan Yarmanto dan Fletcher (1993)dari formasi – formasi di cekungan Ombilin.

Page 12: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 12/15

17

2.3 Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional

Perkembangan struktur pada cekungan Ombilin dikontrol oleh pergerakan Sistem Sesar

Sumatera yang membuat sesar tua yang telah terbentuk ditimpa oleh sesar yang lebih muda oleh

sistem sesar yang sama (Situmorang, dkk., 1991)

Menurut Situmorang, dkk.(1991) keseluruhan geometri cekungan Ombilin memanjang

dengan arah umum barat laut–tenggara, dibatasi oleh sesar berarah barat laut-tenggara Sitangkai

di utara dan sesar Silungkang di selatan yang keduanya kurang lebih paralel terhadap Sistem

Sesar Sumatra (Gambar 2.5).

Menurut Situmorang, dkk. (1991) secara umum, cekungan Ombilin dibentuk oleh dua

terban berumur Paleogen dan Neogen, dibatasi oleh Sesar Tanjung Ampalu berarah utara-

selatan.

Gambar 2.5 Pola struktur regional cekungan Ombilin, Sumatera Barat (Situmorang, dkk., 1991).

Page 13: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 13/15

18

Menurut Situmorang, dkk.(1991) secara lokal ada tiga bagian struktur yang bisa dikenal

 pada cekungan Ombilin.

1.  Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk bagian dari sistem

sesar Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi oleh Sesar Sitangkai dan Sesar

Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang ke arah tenggara menjadi sesar Takung.

Bagian selatan dari cekungan dibatasi oleh Sesar Silungkang.

2.  Sistem sesar dengan arah umum utara-selatan dengan jelas terlihat pada timur laut

dari cekungan. Sistem sesar ini membentuk sesar berpola tangga (step-like fault), dari

utara ke selatan: Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk, dan Sesar Tanjung Ampalu.

Perkembangan dari sesar ini berhubungan dengan fase tensional selama tahap awal

dari pembentukan cekungan dan terlihat memiliki peranan utama dalam evolusi

cekungan.

3.  Jurus sesar dengan arah timur-barat membentuk sesar antitetik mengiri dengan

komponen dominan dip-slip.

Menurut Situmorang, dkk.(1991) pola struktur keseluruhan dari cekungan Ombilin

menunjukkan sistem transtensional atau pull-apart  yang terbentuk di antara offset lepasan dari

Sesar Sitangkai dan Sesar Silungkang yang berarah baratlaut-tenggara yang mana sistem sesar

yang berarah utara-selatan dapat berbaur dengan sistem sesar yang berarah baratlaut-tenggara.

Menurut Situmorang, dkk.(1991) adanya fase ekstensional dan kompresional yang

ditemukan pada jarak yang sangat dekat merupakan fenomena umum untuk cekungan Ombilin

yang merupakan cekungan strike-slip. Cekungan ini mengalami pergantian fase ekstensional

 pada satu sisi yang diikuti oleh pemendekkan pada sisi yang lain.

Hastuti, dkk. (2001) mengemukakan bahwa terdapat 5 fase tektonik yang bekerja pada

Cekungan Ombilin yang mempengaruhi pola struktur pada Cekungan Ombilin (Gambar 2.6 dan

Gambar 2.7). Lima fase tektonik yang terjadi pada cekungan Ombilin menurut Hastuti, dkk.

(2001), yaitu:

Fase tektonik pertama (F3grnt) berlangsung awal Tersier berupa fase tektonik ekstensif

 bersamaan dengan terbentuknya sistem tarik pisah berarah baratlaut-tenggara yang

merupakan awal terbentuknya cekungan Ombilin. Bersamaan dengan membukanya

cekungan, terbentuk endapan kipas aluvium Formasi Brani menempati lereng-lereng

Page 14: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 14/15

19

tinggian batuan dasar dan terbentuk endapan rawa Formasi Sangkarewang di bagian tengah

cekungan.

-  Fase tektonik ke dua (F4brn) berlangsung sejak Eosen berupa fase kompresif dengan

terbentuknya sesar-sesar berarah utara-selatan. Selain fase kompresif dibeberapa tempat

terdapat daerah ekstensif yang menyebabkan penurunan dasar cekungan yang cepat dan

diimbangi pula oleh pengendapan sedimen yang seimbang, menyebabkan pelongsoran-

 pelongsoran endapan aluvium Formasi Brani pada tepi cekungan dan sebagian masuk ke

dalam endapan rawa Formasi Sangkarewang, sehingga kedua formasi berhubungan menjari-

 jemari.

-  Fase tektonik ke tiga berupa fase kompresif (F5swl). Fase ini mengakibatkan proses

 pengangkatan dengan terbentuknya endapan sungai berkelok Formasi Sawahlunto. Di

 beberapa tempat fase kompresif diikuti oleh fase ekstensif dengan terbentuknya endapan

 batubara di daerah limpah banjir. Selain itu, pada fase ini terjadi pengaktifan kembali sesar-

sesar yang sudah terbentuk dan sesar minor berupa sesar naik yang terjadi bersamaan dengan

 pengendapan Formasi Sawahlunto.

-  Fase tektonik yang ke empat berupa fase kompresif (F6swtk) berarah relatif utara-selatan.

Akibat fase kompresif ini sesar-sesar berarah utara-selatan dan baratlaut-tenggara yang

terbentuk awal mengalami reaktifasi menjadi sesar naik dan sesar mendatar. Bersamaan

dengan fase ini (F6swtk) terjadi pula fase ekstensif (F6swte)  berarah relatif baratlaut-

tenggara yang mengakibatkan dibeberapa tempat terjadi genangan rawa dan penumpukan

sedimen yang membentuk endapan tipis batubara.

-  Fase tektonik yang ke lima berupa fase ekstensif (F7omben) yang berarah relatif utara-

selatan berlangsung sejak Miosen awal.  Fase ini mengakibatkan terbentuknya sesar-sesar

 berarah barat-timur. Selain itu, fase ekstensif ini mengakibatkan terjadinya Sesar Tanjung

Ampalu berarah utara-selatan yang kemudian diikuti dengan fase genanglaut. Pada Miosen

Akhir terjadi fase kompresif (F7ombek) berarah relatif barat-timur yang menghasilkan sesar-

sesar berarah timurlaut-baratdaya dan sesar-sesar yang terbentuk awal aktif kembali.

Page 15: Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

8/16/2019 Jbptitbpp Gdl Aurioerdin 22700 3 2011ta 2

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-aurioerdin-22700-3-2011ta-2 15/15