eksistensi rumah-rumah adat banjar dalam …

14
Eksistensi Rumah-rumah Adat Banjar dalam Pembangunan Berkelanjutan-Hartatik (145-158) 145 Diterima 18 Oktober 2016 Direvisi 26 Oktober 2016 Disetujui 28 Oktober 2016 EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN THE EXISTENCE OF BANJARESE TRADITIONAL HOUSE IN SUISTAINABLE DEVELOPMENT Hartatik Balai Arkeologi Kalimantan Selatan, Jalan Gotong Royong II, RT 03/06 Banjarbaru 70711 Kalimantan Selatan; email: [email protected] Abstrak. Rumah adat Banjar merupakan salah satu sumber daya budaya yang memiliki nilai penting bagi sejarah perkembangan arsitektur, seni, dan sejarah budaya lokal. Materialnya yang terbuat dari bahan kayu menyebabkan rumah adat ini rentan terhadap kerusakan, baik karena ulah manusia, cuaca maupun faktor biologis. Di balik keterancamannya, rumah adat mempunyai nilai yang dapat diambil manfaatnya untuk masa kini dan masa depan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan realitas pengelolaan dari sisi pemerintah dan masyarakat, sejauh mana keberadaan rumah adat Banjar sebagai salah satu sumber daya budaya dapat dimanfaatkan dalam pembangunan berkelanjutan, serta pesan apa saja yang dapat ditangkap oleh masyarakat dalam memaknai rumah adat ini. Tulisan ini merupakan hasil penelitian kualitatif dengan metode dekriptif, pengambilan data dilakukan dengan survei dan kajian pustaka. Analisis data dilakukan dengan menggunakan penalaran induktif dengan pendekatan sosial budaya. Dari hasil analisis diketahui bahwa keberadaan rumah adat Banjar belum dikelola secara maksimal, belum ada kerjasama yang harmonis terutama antara pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten. Kabar baiknya, perjuangan para penggiat budaya untuk melestarikan rumah adat dan keseimbangan alam telah mendapat respon positif dari pemerintah. Kini bangunan rumah tradisional berupa konstruksi panggung dan beberapa elemennya telah diakomodir dalam peraturan daerah di beberapa tempat. Hal tersebut menunjukkan adanya apresiasi terhadap budaya leluhur yang penuh kearifan lokal dan kesungguhan untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Kata kunci : rumah adat Banjar, sumber daya budaya, rumah panggung, konstruksi, revitalisasi Abstract. The Banjarese traditional house is one of cultural resources which significance for history of architecture, art and history of local culture. The wooden material building causing the traditional house is susceptible to damage, by human error, weather, and biological factor. Behind its threatened, traditional house has advantage values to the present and future. The purpose of this research is to explain the reality of management by government and society, to what extent the Banjarese traditional house as the cultural resources can be exploited in sustainable development, and what kind of messages can be captured by public on the meaning of traditional house. This paper is the result of qualitative research with descriptive method, and collected data were done by survey and literature review. The data analysis was performed using inductive reasoning. The analysis showed that the existence of Banjarese traditional house has not been managed optimally,and harmonious cooperation, mainly between local authorities at provincial and district levels is still not available However, there is a good news, that cultural activists effort to preserve the traditional house and natural balance has received a positive response from the government. Recently, the construction stage of traditional houses and some of its elements have been accommodated in local regulation at some places. It shows their appreciation of the cultural heritage contains with local wisdom, and the commitment to maintain environmental balance. Keywords: Banjarese traditional house, cultural resources, stilt house, construction, revitalization. PENDAHULUAN Di negara berkembang, bangunan kuno sering dianggap tidak mempunyai nilai, apalagi jika pemilik bangunan itu sudah meninggalkannya dan menjadi dead monument. Berbagai alasan dikemukakan, aspek politik dan ekonomi sebagai legitimasi penghancuran bangunan kuno tersebut.

Upload: others

Post on 18-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Eksistensi Rumah-rumah Adat Banjar dalam Pembangunan Berkelanjutan-Hartatik (145-158) 145

Diterima 18 Oktober 2016 Direvisi 26 Oktober 2016 Disetujui 28 Oktober 2016

EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM PEMBANGUNANBERKELANJUTAN

THE EXISTENCE OF BANJARESE TRADITIONAL HOUSE IN SUISTAINABLEDEVELOPMENT

Hartatik

Balai Arkeologi Kalimantan Selatan, Jalan Gotong Royong II, RT 03/06 Banjarbaru 70711 Kalimantan Selatan;email: [email protected]

Abstrak. Rumah adat Banjar merupakan salah satu sumber daya budaya yang memiliki nilai penting bagi sejarahperkembangan arsitektur, seni, dan sejarah budaya lokal. Materialnya yang terbuat dari bahan kayu menyebabkan rumahadat ini rentan terhadap kerusakan, baik karena ulah manusia, cuaca maupun faktor biologis. Di balik keterancamannya,rumah adat mempunyai nilai yang dapat diambil manfaatnya untuk masa kini dan masa depan. Tujuan dari penelitian iniadalah untuk menjelaskan realitas pengelolaan dari sisi pemerintah dan masyarakat, sejauh mana keberadaan rumah adatBanjar sebagai salah satu sumber daya budaya dapat dimanfaatkan dalam pembangunan berkelanjutan, serta pesan apasaja yang dapat ditangkap oleh masyarakat dalam memaknai rumah adat ini. Tulisan ini merupakan hasil penelitian kualitatifdengan metode dekriptif, pengambilan data dilakukan dengan survei dan kajian pustaka. Analisis data dilakukan denganmenggunakan penalaran induktif dengan pendekatan sosial budaya. Dari hasil analisis diketahui bahwa keberadaanrumah adat Banjar belum dikelola secara maksimal, belum ada kerjasama yang harmonis terutama antara pemerintahdaerah di tingkat provinsi dan kabupaten. Kabar baiknya, perjuangan para penggiat budaya untuk melestarikan rumahadat dan keseimbangan alam telah mendapat respon positif dari pemerintah. Kini bangunan rumah tradisional berupakonstruksi panggung dan beberapa elemennya telah diakomodir dalam peraturan daerah di beberapa tempat. Hal tersebutmenunjukkan adanya apresiasi terhadap budaya leluhur yang penuh kearifan lokal dan kesungguhan untuk menjagakeseimbangan lingkungan.

Kata kunci : rumah adat Banjar, sumber daya budaya, rumah panggung, konstruksi, revitalisasi

Abstract. The Banjarese traditional house is one of cultural resources which significance for history of architecture, art andhistory of local culture. The wooden material building causing the traditional house is susceptible to damage, by humanerror, weather, and biological factor. Behind its threatened, traditional house has advantage values to the present andfuture. The purpose of this research is to explain the reality of management by government and society, to what extent theBanjarese traditional house as the cultural resources can be exploited in sustainable development, and what kind ofmessages can be captured by public on the meaning of traditional house. This paper is the result of qualitative research withdescriptive method, and collected data were done by survey and literature review. The data analysis was performed usinginductive reasoning. The analysis showed that the existence of Banjarese traditional house has not been managedoptimally,and harmonious cooperation, mainly between local authorities at provincial and district levels is still not availableHowever, there is a good news, that cultural activists effort to preserve the traditional house and natural balance hasreceived a positive response from the government. Recently, the construction stage of traditional houses and some of itselements have been accommodated in local regulation at some places. It shows their appreciation of the cultural heritagecontains with local wisdom, and the commitment to maintain environmental balance.

Keywords: Banjarese traditional house, cultural resources, stilt house, construction, revitalization.

PENDAHULUAN

Di negara berkembang, bangunan kunosering dianggap tidak mempunyai nilai, apalagi

jika pemilik bangunan itu sudah meninggalkannyadan menjadi dead monument. Berbagai alasandikemukakan, aspek politik dan ekonomi sebagailegitimasi penghancuran bangunan kuno tersebut.

Page 2: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Naditira Widya Vol. 10 No. 2 Oktober 2016-Balai Arkeologi Kalimantan Selatan146

Misalnya, Masjid Babri di Ayodya (India Utara)yang dibangun Dinasti Mugal pada abad ke-16M dihancurkan oleh fundamentalis Hindu padatahun 1992 dan penghancuran patung Buddharaksasa dari abad ketiga di Bamiyan, Afghanistan,oleh kelompok muslim garis keras Taliban padatahun 2001 (Renfrew dan Bahn 2012: 537).

Demikian juga di Kalimantan, atas namapembangunan dan alasan ekonomi, gedung-gedung tua tinggalan masa kolonial Belanda disepanjang Sungai Martapura dan sekitar PasarSudimampir di Banjarmasin telah dihancurkan danberganti menjadi ruko; situs prasejarah di RiamKanan ditenggelamkan untuk waduk PLTA, situsGua Tengkorak di Gunung Batubuli KabupatenTabalong hancur oleh penambang batu kapur;kawasan situs permukiman dan pertambanganmasa kolonial di Sangasanga dan situs masaklasik tempat temuan tujuh Yupa di GunungKombeng Kabupaten Kutai Kertanegara terancamdigusur karena di bawahnya terdapat deposit batubara. Berdasarkan kondisi tersebut, berbagaiupaya harus dilakukan untuk mencegahmusnahnya saksi sejarah. Mengapa situs sebagaisaksi kehidupan masa lalu harus selaludikalahkan? Karena dianggap tidak mempunyainilai penting secara langsung dibandingkandengan sumber daya yang lain? Atau karena faktorketidaktahuan sang pelaku penghancuran?

Secara historis, penduduk asli KalimantanSelatan terbagi dalam dua kelompok, yaitu Dayakdan Melayu atau Banjar. Dayak merupakanpenduduk asli sebelum kedatangan orangMelayu, sedangkan orang Banjar merupakanperpaduan antara penduduk asli dan pendatangMelayu yang telah memeluk Islam. Keberadaanorang Banjar mempunyai sejarah yang menarik,karena kata "banjar" berkaitan dengan sistempolitik pemerintahan, yaitu Kesultanan Banjar.Oleh sebab itu, orang Banjar dimaknai sebagaiorang yang berada di dalam wilayah politikKerajaan Banjar yang beragama Islam. Dengandemikian, kata "banjar" dalam konteks orangBanjar merupakan identitas politik lokal (Hawkins2010: 24-36). Meskipun orang Dayak tinggal didalam wilayah Kerajaan Banjar dan terikat pada

peraturan kerajaan, tetapi mereka tidak disebutsebagai orang Banjar. Adapun orang Dayak yangtelah menganut Islam disebut sebagai orangBakumpai. Mereka merupakan komunitas sendiridan tinggal di bagian hilir Sungai Barito, yaitu diMuarabahan (Marabahan, Kabupaten Batola)hingga bagian hulu Sungai Barito (Qalyubi 2012:67-87). Dalam kehidupan sehari-hari, orangBakumpai memiliki tiga sebutan, yaitu sebagaiorang Dayak, Bakumpai, dan kadang disebutjuga sebagai orang Banjar.

Rumah adat Banjar merupakan salah satusumber daya budaya yang masih tersisa diKalimantan Selatan. Sejak dahulu orang Banjardikenal sebagai pedagang yang hidupnya tidakjauh dari sungai dan rawa pasang surut. Rumahorang Banjar sejak dahulu berbentuk panggungkarena menyesuaikan daerah rawa pasang surutyang cenderung basah. Hal tersebut dibuktikandengan adanya rumah-rumah tua berusia ratusantahun di pemukiman lama yang berada di tepisungai. Identitas rumah Banjar muncul sejak masaKerajaan Banjar diperintah oleh PanembahanSulaiman yang beristana di Karang Intan, sekitartahun 1800 (Riwut 1979: 304). Versi lainmenyatakan bahwa rumah Banjar sudah ada sejakawal Kerajaan Banjar, yaitu pada masa SultanSuriansyah pada pertengahan abad ke-16 M.Bukti tertulis dari arsip Belanda menunjukkanbahwa rumah adat bubungan tinggi di SungaiJingah, Banjarmasin merupakan rumah tertuayang surat segel izin pembuatannya dikeluarkanoleh Pemerintah Belanda pada tahun 1871. RumahBanjar awalnya berbentuk bubungan tinggi tanpaanjung (ruangan di kanan kiri ruang induk, miripsayap), kemudian ditambahkan anjung yangdigunakan sebagai kamar tidur. Atapnyaberbentuk pelana yang menjulang tinggi ke langit,maka disebut rumah bubungan tinggi. Ada pulayang menyebutnya rumah baanjung karenamempunyai anjung di sayap kanan dan kirinya(Shaleh 1980/1981: 5-11).

Rumah adat Banjar yang memiliki nilaipenting bagi sejarah dan perkembangan daerahmerupakan sumber daya budaya yang dilindungioleh Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2010

Page 3: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Eksistensi Rumah-rumah Adat Banjar dalam Pembangunan Berkelanjutan-Hartatik (145-158) 147

tentang Cagar Budaya. Di daerah, undang-undangitu ditindaklanjuti menjadi Peraturan Daerah yangtujuan utamanya adalah pelestarian danpemanfaatan cagar budaya, yang kemudianmenjadi dasar bagi pembangunan dan kebijakankebudayaan. Selama ini, pemerintah lewatberbagai kementerian dan instansi telah berupayamelakukan pembangunan di segala bidang, baikekonomi, politik, sosial, dan budaya untukmeningkatkan kesejahteraan masyarakat.Pembangunan berkelanjutan (sustainabledevelopment) merupakan slogan pembangunanyang diharapkan mampu mencukupi kebutuhansaat ini tanpa harus mengorbankan generasi yangakan datang.

Dalam proses pelaksanaannya, terdapat limaasumsi pokok yang mendasari pembangunanberkelanjutan. Asumsi pertama adalah bahwaproses pembangunan itu berlangsung secaraberlanjut, terus-menerus, kontinyu, ditopang olehsumber alam, kualitas lingkungan dan manusiayang berkembang secara lanjut. Kedua: sumberalam, terutama udara, air dan tanah memilikiambang batas, yang penggunaannya akanmenciutkan kuantitas dan kualitasnya. Ketiga:kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengankualitas hidup. Keempat: dalam pembangunanberkelanjutan pola penggunaan sumber alammasa kini tidak menutup kemungkinan memilihdi masa depan. Kelima, pembangunanberkelanjutan mengandaikan solidaritastransgenerasi. Pembangunan ini memungkinkangenerasi sekarang untuk meningkatkankesejahteraannya tanpa mengurangikemungkinan bagi generasi masa depan untukmeningkatkan kesejahteraannya (Yayasan SPES1992: 3-4).

Keberlanjutan pemukiman ditentukan olehempat dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, sosialbudaya, dan teknologi. Dimensi ekologi berkaitandengan resapan air, potensi terjadinya banjir, danekosistem. Dimensi ekonomi meliputi luaspenggunaan lahan, daya beli masyarakat, biayakonstruksi dan infrastruktur. Dimensi sosialbudaya yaitu minat dan preferensi masyarakat,estetika bangunan dan arsitektur lokal, sedangkan

dimensi teknologi meliputi proses pembersihanlahan, teknologi sederhana, dan stabilitasbangunan (Utami 2016: 90-100). Prinsipberkelanjutan ini sejalan dengan prinsippelestarian dan pengembangan sumber dayaarkeologi, yaitu memaknai masa lalu untuk masakini dan masa depan.

Pembangunan di bidang kebudayaandiharapkan mampu menggali tauladan kearifannenek moyang untuk diterapkan dalam kehidupansaat ini dan masa depan sebagai bagian daripembangunan karakter. Melalui Undang-UndangRI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,pemerintah melindungi aset kebudayaan melaluikegiatan penelitian dan pelestarian (termasukpengembangan dan pemanfataan) cagar budaya.Sebaliknya, pengelolaan sumber daya budayayang tidak berpegang pada kaidah pelestarianakan berakibat pada berkurangnya nilai keasliancagar budaya tersebut, serta dampak lain yangdapat merugikan masyarakat sekitar.

Berdasarkan pemahaman latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahasdalam artikel ini adalah: sejauh manapembangunan di bidang kebudayaan yangberkaitan dengan pelestarian rumah adat Banjardiimplementasikan di Kalimantan Selatan? Ruanglingkup yang menjadi bahan kajian dalampembangunan di bidang kebudayaan ini meliputihal-hal yang dilakukan pemerintah terhadaprumah adat Banjar, serta sikap masyarakatterhadap rumah adat tersebut. Tujuan dari tulisanini adalah untuk menjelaskan sejauh manakeberadaan rumah adat Banjar sebagai salah satusumber daya budaya telah dikelola dandimanfaatkan dalam pembangunan berkelanjutan,serta pesan atau makna apa saja yang dapatditangkap oleh masyarakat tentang rumah adatBanjar berkaitan dengan karakter nenek moyang.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian iniadalah kualitatif dengan penalaran induktif. Hakikatdari penelitian ini adalah menjelaskan makna dibalik fakta. Pengumpulan data dilakukan dengan

Page 4: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Naditira Widya Vol. 10 No. 2 Oktober 2016-Balai Arkeologi Kalimantan Selatan148

cara survei dan studi pustaka. Survei berupapengamatan langsung terhadap objek dilapangan, wawancara terhadap pengunjung danpengelola rumah adat. Penggalian data pustakadan sumber sekunder dilakukan untukmenemukan data pendukung dan kerangkapemikiran dalam analisis. Analisis dalam artikelini meliputi kegiatan penelaahan, pengelompokan,dan penafsiran data agar sebuah fenomenamemiliki nilai sosial, akademis atau ilmiah(Suprayogo dan Tobroni 2003: 191). Data primeradalah kondisi rumah adat atau rumah panggungdi Kalimantan Selatan secara umum, secarakhusus di Teluk Selong, pengelola (pemerintahdaerah dan pusat), serta masyarakat yang tinggaldi sekitar rumah adat dan pengunjung. Sebagaipenelitian induktif, kategorisasi data dilakukan untukmenuju teorisasi dan generalisasi (Bungin 2007:27-37). Apa saja yang telah dilakukan olehpemerintah pusat dan daerah sebagai stakeholder,serta pandangan masyarakat terhadap rumah adatmenjadi fokus dan tujuan penelitian. Metodeanalisis menggunakan pendekatan induktif yangdiawali dengan perbandingan antara realitasdengan apa yang seharusnya, untuk mengetahuikelebihan dan kekurangan masing-masing sertasolusinya. Interpretasi dibuat dari hasilperbandingan yang kemudian diramu menjadikesimpulan atau generalisasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai Penting Rumah Adat Banjar

Rumah adat Banjar bubungan tinggimerupakan rumah adat tertua dan termegah darisekian jenis rumah adat Banjar. Menurut SyamsiarSeman (2000:1-62), ada 11 tipe rumah adat Banjar,yaitu: bubungan tinggi, gajah baliku, gajahmanyusu, balai laki, balai bini, palimasan,palimbangan, anjung surung, tadah alas, joglo,dan lanting. Kecuali rumah lanting yangmengapung di atas air, sepuluh jenis rumahlainnya merupakan rumah panggung. Berkaitandengan hal tersebut, Idwar Salehmengelompokkan rumah adat Banjar dalam 10

jenis, tanpa rumah lanting. Amir Hasan Bondanmengelompokkan rumah adat Banjar dalam tujuhjenis, yaitu bubungan tinggi, balai laki, balai bini,gajah manyusu, gajah baliku, palimasan, danpalimbangan (Bondan 1953: 139). Dalam tradisiBanjar dahulu, rumah-rumah tersebut dihuni olehgolongan tertentu yang menunjukkan statussosialnya, seperti yang terdapat dalamperibahasa Banjar:

"Bubungan Tinggi wadah rajaPalimasan wadah emas perak,Balai Laki wadah Punggawa Mantri,Gajah Manyusu wadah warit raja" (Bondan

1953:140).

Arsitektur rumah adat Banjar tidak hanyamencerminkan nilai arsitektur dan estetis yangtinggi, tetapi juga nilai religius pemiliknya.Rumah adat Bubungan Tinggi dan Gajah Balikudi Teluk Selong mewakili rumah adat Banjar padamasa puncak kejayaannya. Kedua rumah inidipilih sebagai objek dalam penelitian karenakeduanya telah ditetapkan sebagai cagar budayadan berada dalam lokasi yang mudah dikunjungioleh masyarakat. Arsitekturnya memperlihatkankekuatan bahan kayu sebagai bentuk kearifanmereka dengan alam yang menyediakan materialkayu pada masa itu. Bentuk atap yang menjulangtinggi dengan beberapa jendela lebarmemungkinkan adanya sirkulasi udara dancahaya yang sangat bagus (Tim Penelitian 2012:36).

Saat ini rumah adat Banjar masih dapatditemui hampir di semua daerah di KalimantanSelatan, mulai dari Balangan, Hulu SungaiTengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, KabupatenBanjar, dan Kota Banjarmasin. Di KabupatenBanjar, rumah adat itu terdapat di beberapakampung lama di tepi sungai, seperti diKampung Melayu, Teluk Selong, Martapura,Karang Intan, serta Sungai Jingah di KotaBanjarmasin. Di antara rumah Banjar yangberhasil diselamatkan melalui pemugaran, antaralain rumah bubungan tinggi dan gajah baliku diTeluk Selong Kabupaten Banjar, dan rumahbubungan tinggi di Habirau Negara. Selebihnyabanyak yang dibiarkan apa adanya bahkan tidak

Page 5: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Eksistensi Rumah-rumah Adat Banjar dalam Pembangunan Berkelanjutan-Hartatik (145-158) 149

terawat oleh pemiliknya. Di Banjarmasin, tepatnyadi Jalan Veteran, dalam beberapa tahun terakhirini banyak rumah Banjar direnovasi ke bentuk baruatau dihancurkan sama sekali untuk dibangunberbagai rumah toko atau ruko.

Keberadaan rumah adat berbahan kayuberkaitan dengan bumi Kalimantan yang memilikisumber daya alam yang mendukung untukpembuatan rumah panggung, yaitu kayu besi dankayu galam, meskipun kini persediaan kayu besiatau ulin (Eusideroxylon zwageri) sudah menipis.Kedua jenis kayu itu memiliki sifat yang makinkuat dan tahan lama apabila terendam air. Kayugalam yang ukurannya memang lebih kecil,umumnya dipakai sebagai bantalan atau fondasibagi tiang penyangga. Ini memang perlumengingat sebagian besar tanah di KalimantanSelatan bersifat rawa. Di atas tumpukan fondasigalam tersebut kayu besi atau ulin ditancapkansebagai tiang-tiang penyangga rumah(Syarifuddin 2004: 103-109).

Rumah panggung dengan tiang pancang darigalam dipasang dalam posisi horizontal,kemudian di atasnya didirikan tiang kayu ulinmerupakan konstruksi yang cocok untuk daerahrawa seperti di Kalimantan Selatan. Hal itu karenakayu galam mempunyai daya rekat yang ditahanoleh gaya kohesi (kekuatan tarik menarik)lempung rawa sehingga kekuatan kayu galamdan kayu ulin di atasnya bertahan lama. Berbedahalnya dengan pancangan beton yang tidakmempunyai peran daya rekat tanah lempung dirawa sehingga konstruksi beton di daerah rawakurang stabil. Hal ini merupakan bukti bahwaorang dulu sudah cerdas memahami alam, yangselayaknya konsep berisi nilai kecerdasan dalampelestarian lingkungan ini diterapkan dalampembangunan berkelanjutan, sebagai bagian daripembangunan kebudayaan yang berkarakterramah lingkungan.

Pembangunan bidang kebudayaan tidaklepas dari keberadaan dasar hukum cagarbudaya, yaitu Undang-Undang RepublikIndonesia nomor 11 tahun 2010 tentang CagarBudaya. Pasal 1 (1), menyatakan bahwa"...warisan budaya bersifat kebendaan berupa

benda cagar budaya, bangunan cagar budaya,struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dankawasan cagar budaya di darat dan/atau di airyang perlu dilestarikan keberadaannya karenamemiliki nilai penting bagi sejarah, ilmupengetahuan, pendidikan, agama, dan/ataukebudayaan melalui proses penetapan". Pasal8 menyebutkan bahwa cagar budaya harusmemenuhi kriteria usia minimal 50 tahun, mewakilimasa gaya pada waktu tertentu, memiliki artikhusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,pendidikan, agama, dan kebudayaan, sertamemiliki nilai bagi penguatan jati diri bangsa.

Tiga aspek yang harus diperhatikan dalammenentukan cagar budaya, yaitu otentisitas(keaslian), transformasi, dan kontekskesejarahan. Ketiga aspek tersebut sangatmenentukan kemampuan suatu cagar budayadalam menyampaikan informasi secara otentiktentang perannya dalam kehidupan di masalampau (Rahardjo 2011: 20). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010tentang Cagar Budaya dan Peraturan RegistrasiNasional, ada beberapa aspek yang harusdipertimbangkan dalam otentitasitas peninggalanbudaya, yaitu usia, lokasi, desain, setting, bahan,pengerjaan, rasa, dan asosiasi (Tim Penelitian2012: 2).

Keberadaan Undang Undang Cagar BudayaNomor 11 Tahun 2010 di daerah diperkuat denganPerda (Peraturan Daerah) untuk lebihmemudahkan penerapannya sesuai dengankondisi daerah. Kabupaten Banjar telahmempunyai Perda Pelestarian dan PengelolaanCagar Budaya Nomor 12 Tahun 2012. Pasal 13-14 dalam Perda tersebut memberikan wewenangkepada Pemerintah Daerah untukmengkoordinasikan dan mengelola pelestariancagar budaya secara lintas sektoral dan wilayah,serta membentuk Badan Pengelola KawasanCagar Budaya yang terdiri atas unsur Pemda,dunia usaha, dan masyarakat.

Peraturan yang berkaitan denganpengelolaan cagar budaya adalah peraturantentang kepariwisataan, karena objek cagarbudaya dapat menjadi objek pariwisata. Undang-

Page 6: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Naditira Widya Vol. 10 No. 2 Oktober 2016-Balai Arkeologi Kalimantan Selatan150

Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentangKepariwisataan menyebutkan bahwa kawasanperuntukan pariwisata adalah kawasan yangdiperuntukan bagi kegiatan pariwisata atau segalasesuatu yang berhubungan dengan wisatatermasuk pengusahaan objek daya tarik wisataserta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.Jenis objek wisata yang diusahakan dandikembangkan di kawasan peruntukan pariwisatadapat berupa wisata alam ataupun wisata sejarahdan konservasi budaya.

Meskipun terdapat undang-undang yangmengatur benda peninggalan sejarah danpurbakala yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun2010 tentang Cagar Budaya, namun padakenyataannya produk hukum itu belumsepenuhnya efektif untuk melindungi bendapeninggalan sejarah dari kerusakan ataukehancuran. Beberapa alasan menjadipenyebabnya, antara lain kurang efektifnyapengawasan yang diberikan aparat, sertakurangnya pengetahuan dan kesadaranmasyarakat tentang perlunya pelestarian bendacagar budaya. Rusak atau musnahnya tinggalanmasa lalu yang sarat makna berarti telah hilangpula bukti otentik karakter nenek moyang.Sebaliknya, jika warisan leluhur tetap lestari,setidaknya keluhuran budi dan kearifan leluhurmasih dapat disaksikan dan menjadi modelkarakter generasi sekarang. Dalam konteks ini,rumah adat Banjar yang memenuhi kriteria cagarbudaya harus dikembangkan dan dimanfaatkandengan tujuan pelestarian.

Rumah adat Banjar dikelola dengan baik danbenar untuk mempertahankan keberadaannyasupaya tetap lestari dan berdaya guna.Pengelolaan rumah adat Banjar sebagai sumberdaya budaya terdiri atas 3 tahap, yaitu identifikasidan evaluasi objek, penanganan objek(pelestarian), dan pengembangan (Mundardjito2008: 7-22). Pengelolaan rumah adat Banjarsebagai cagar budaya di Teluk Selong beradadi bawah tanggung jawab Pemerintah Pusat(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaanmelalui UPT Balai Pelestarian Cagar Budaya) danPemerintah Daerah (Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Banjar). Pemeliharaan duabuah rumah adat Banjar di Teluk Selong secarateknis diserahkan kepada juru pelihara (disingkatjupel) yang diangkat dan diberi honor dengan SKBupati Banjar dan Menteri Pendidikan danKebudayaan, secara administratif dibina olehBalai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Tugasmereka adalah memelihara kondisi rumah danlingkungannya, yang meliputi kegiatanmembersihkan seperti menyapu, mengepel, danmelayani pengunjung. Apabila terjadi kebocoranatap, kerusakan dinding atau bagian rumahlainnya, juru pelihara akan melaporkan ke DinasKebudayaan dan Pariwisata untukdikoordinasikan dengan Balai Pelestarian CagarBudaya. Koordinasi tersebut memakan waktucukup lama, sehingga seringkali kerusakanmenjadi semakin parah. Selain honor untuk jurupelihara, pihak daerah maupun pusat tidakmengalokasikan dana pemeliharaan fisik secararutin per bulan. Idealnya, pemeliharaan rumah adattersebut tidak hanya menyapu dan mengepelsecara rutin, tetapi yang tak kalah penting adalahkegiatan preservasi atau pemeliharaanpencegahan terhadap pertumbuhan jamur danbinatang yang merupakan perusak rumah kayu.Pengembangan berupa pembuatan halamanparkir beton, titian beton, dan fasilitas MCKdilakukan oleh Dinas PU (Kimpraswil) ProvinsiKalimantan Selatan.

Hasil penelitian tim workshop BangunanRumah Kayu di Teluk Selong yang dilakukanterhadap rumah adat Bubungan Tinggi dan GajahBaliku, diketahui bahwa pada kedua rumah itubagian dinding luar telah terinfeksi jamur hijau danmerah; langit-langit atap terdapat banyak kotorankelelawar yang mengancam keawetan kayu, sertabeberapa tiang pondasi dan lantai yang miring(APCCU 2013: 19-24). Selain itu, terdapatkebocoran atap karena teknik pengerjaan padasaat penggantian sirap yang tidak sesuai ukuran(Tim Penelitian 2012: 36). Pemeliharaan yangselama ini dilakukan masih bersifat rutinitas, belummencakup aspek preservasi yang bersifatpencegahan terhadap kerusakan. Kerusakan-kerusakan tersebut terakumulasi, baru kemudian

Page 7: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Eksistensi Rumah-rumah Adat Banjar dalam Pembangunan Berkelanjutan-Hartatik (145-158) 151

dilakukan perbaikan, atau pemugaran untukmengembalikan pada kondisi semula.

Pengelolaan tidak hanya bersifat internaluntuk kondisi rumah, tetapi juga eksternal yangmeliputi lingkungan rumah dan kawasannya.Pengelolaan kawasan ini, dalam pelestariandisebut sebagai pemintakatan atau zonasi yangbertujuan untuk menjaga kelestarian situs danlingkungannya. Dalam Undang-Undang CagarBudaya Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 73disebutkan bahwa zonasi terdiri atas zona inti,zona penyangga, zona pengembang, dan zonapenunjang. Besarnya zonasi, menurut Nuryanti(2005: 20) dan Mundardjito (2008: 7-22) ditentukanoleh besarnya situs dan jenis atau peringkat situs,minimal terdapat 3 zona, yaitu zona inti (core zone)yang merupakan area situs tidak boleh adatambahan bangunan atau fasilitas lain selain situsyang merupakan inti konservasi; zona penyangga(buffer zone) merupakan area penyangga situsyang dimanifestasikan dalam bentuk penataanlansekap taman dan tanaman (green belt) sebagaiobjek alternatif sebelum atau sesudahmengunjungi objek utama; serta zona terluar,yaitu zona pengembang (development zone) yangdi dalamnya dapat dibangun fasilitas wisata danpelayanan publik, seperti area parkir, pasar, danrumah makan.

Keberadaan warisan budaya dapatmemberikan ciri khas keunikan pada suatudaerah, yang dapat menjadi ikon kebanggaandan jati diri. Dari segi ekonomi, keberadaanwarisan budaya juga dapat menjadikan daerahtersebut sebagai daerah tujuan wisata, sehinggaakan memacu pertumbuhan ekonomi denganadanya sektor jasa dari penginapan, rumahmakan, dan art shop atau souvenir. Sangat ironis,jika kenyataannya banyak warisan budaya yangdibiarkan hancur atau bahkan dihancurkan karenakepentingan komersil atau terkalahkan dengankepentingan lain yang lebih menghasilkan uang.Di dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwapenataan ruang harus memperhatikan potensisumber daya alam, sumber daya manusia, dansumber daya buatan. Dalam kaitan tersebut,

keberadaan warisan budaya termasuk dalamkategori sumber daya buatan yang harusdiperhatikan.

Upaya untuk mengembangkan warisanbudaya, sangat perlu untuk menempatkan posisikawasan warisan budaya tersebut dalam petapengembangan wilayah atau Rencana Tata RuangWilayah (RTRW), supaya keberadaan warisanbudaya terlihat jelas di peta sehingga tidak mudahtergusur. Keberadaan posisi warisan budaya didalam peta RTRW juga penting untuk pelaksanaAmdal yang selama ini menganggap bahwawarisan budaya tidak penting dan hampir tidakpernah dimasukkan dalam objek terkenadampak.

Luasan area yang masuk dalam kawasansitus terlebih dahulu harus diketahui sebelummelakukan pemintakatan situs. Kawasan rumahadat di Teluk Selong masih mempunyaipermasalahan dengan kepemilikan lahan, karenasemuanya masih merupakan milik masyarakat.Strategi pengelolaan ini hanya akan ideal jikaTeluk Selong dianggap sebagai satu kawasanbudaya, tanpa mempermasalahkan faktorkepemilikan lahan. Lahan tersebut dianggapsebagai milik masyarakat yang telah direlakan(dihibahkan) untuk dikelola menjadi kawasancagar budaya, atau pemerintah daerah dan pusatyang akan bersinergi untuk membebaskan lahantersebut sebagai kawasan cagar budaya.

Rumah Adat dalam Pandangan Masyarakat

Pandangan masyarakat ini penulis dapatkandari para pengunjung rumah adat Banjar di TelukSelong yang telah ditetapkan sebagai cagarbudaya dan masyarakat yang tinggal disekitarnya. Rumah adat Banjar di Teluk Selongyang berbahan kayu dengan arsitektur tradisionalyang megah dan unik telah menjadi magnet bagimasyarakat. Berdasarkan daftar pengunjung dibuku tamu pada tahun 2013-2014, jumlahpengunjung yang datang rata-rata memang belumterlalu banyak, sekitar 200 orang per bulan.Sebagian besar dari pengunjung tidak mengisibuku tamu, terutama anak-anak muda yang

Page 8: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Naditira Widya Vol. 10 No. 2 Oktober 2016-Balai Arkeologi Kalimantan Selatan152

sekedar nongkrong di teras atau halaman. Alasanmereka untuk datang bermacam-macam, adayang ingin tahu tentang rumah adat karena diberitahu oleh temannya, ada yang untuk fotoprewedding, sekedar jalan-jalan mencari angin,dan refreshing setelah menjalani ulangan atau ujiansemester.

Tingkah laku pengunjung pun bermacam-macam. Ada yang datang dengan mengucappermisi dan pulang pun permisi (datang tampakmuka, pulang tampak punggung), ada yang tanpapermisi kemudian pergi begitu saja, ada yanghanya duduk-duduk di teras dan pergi. Biasanyayang datang dengan permisi atau memberi tahusebelumnya adalah rombongan dari DinasKebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahragadan Balai Pelestarian Cagar Budaya yangmembawa rombongan siswa lawatan budaya,rombongan fotografer, rombongan pengusaha,kelompok seni, dan stasiun televisi. Merekasudah sering datang secara rutin, sehingga seringmemberi sejumlah uang atau cinderamata untukjuru pelihara atau kerabat pemilik rumah yangtinggal di rumah adat.

Ada beberapa pengunjung berpendapatbahwa rumah adat Bubungan Tinggi di TelukSelong tersebut mirip museum, ada juga yangberpendapat bahwa rumah ini unik sehinggabagus untuk foto prewedding, foto bersama(wefie), maupun selfie. Mereka memandangbahwa rumah adat perlu dilestarikan supayatampak ciri khas budaya Banjar. Mereka jugamerasa bangga mempunyai rumah adat yangmencerminkan budaya Banjar, bahkan merekaberharap rumah adat tersebut dibiarkan tetapberbentuk panggung. Meskipun bangunan betontampak lebih indah, tetapi jika jembatan/jalansetapak tetap dari bahan ulin maka akan tampakciri khas budaya lokal (Banjar). Mereka jugamenyatakan lebih baik jika halaman konblokdiganti dengan papan ulin karena akanmemunculkan budaya asli yang sesuailingkungannya, karena pada dasarnya tempattinggal sebagai kebutuhan hidup sangatdipengaruhi oleh lingkungannya. Hubungan yangintens antara manusia dan lingkungannya dalam

waktu yang lama telah berhasil membentukkesatuan ruang budaya (Rossle dan Cleere 2001:17).

Dari hasil wawancara dan pengamatanpeneliti, diketahui bahwa masyarakat(pengunjung) mempunyai apresiasi dankebanggaan yang cukup tinggi terhadap rumahadat, tetapi mereka tidak mampu untukmengaplikasikannya sebagai model untuk rumahpribadi. Hal itu karena keterbatasan dana karenapembangunan rumah adat terlalu mahal,pergeseran kebutuhan, dan pergeseran trend(gaya) yang menganggap rumah beton lebihmodern daripada rumah panggung. Meskipundemikian, mereka yang tinggal di tepi sungai dandaerah rawa masih mempertahankan bentukrumah panggung.

Mereka tidak memahami arti cagar budaya,meskipun di halaman rumah adat tersebut terdapatpapan pengumuman Cagar Budaya, tetapimereka berharap agar rumah adat tetapdilestarikan. Pemanfaatannya sebagai objekwisata diharapkan dapat memberikanpemahaman tentang arti budaya Banjar dalambentuk arsitektur rumah panggung yangmencerminkan budaya lokal (nenek moyangBanjar).

Secara substantif, pandangan masyarakatterhadap keberadaan rumah adat cukup positif,tetapi menurut mereka, menjadi "tidak bagus lagi"setelah adanya pembangunan halaman dan jalantitian beton. Hal itu karena halaman tersebut seringmenjadi tempat untuk melakukan hal yang tidakbaik seperti pria dan wanita bukan muhrim yangberduaan (pacaran), dan tempat kumpul anak-anak muda pada malam hari sambil minumminuman keras. Pandangan masyarakat tentangsisi baik dan buruknya keberadaan danpengelolaan kawasan rumah adat tersebutterbentuk karena pengalaman yang dirasakan,dilihat, diterima, didengar, dan dipahami tentangkawasan rumah adat (Hartatik 2014: 70-73).

Temuan penelitian yang dapat digali daripandangan pengunjung dan masyarakat di sekitarrumah adat adalah bahwa perasaan bangga danturut memiliki warisan budaya cukup tinggi. Pada

Page 9: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Eksistensi Rumah-rumah Adat Banjar dalam Pembangunan Berkelanjutan-Hartatik (145-158) 153

sisi lain, rasa khawatir juga muncul seiringramainya pengunjung yang berperilaku kurangbaik, yang dikhawatirkan akan berdampak padaperubahan perilaku anak-anak muda di sekitarrumah adat sebagai tempat wisata. Keberlanjutanrumah panggung, baik dengan arsitektur rumahadat maupun rumah kampung sederhana sebagaihunian pribadi masih dapat ditemui. Bagi rumahyang lokasinya di tepi jalan, trend yang terjadisaat ini adalah halaman depan diurug sebagaitempat parkir pribadi, teras bertiang beton danlantai keramik sehingga fasat depan tampakseolah bangunan beton, tetapi bagian tengahhingga belakang tetap konstruksi panggung.

Revitalisasi: Pilihan Jalan Lurus atau SesatMenuju Pembangunan Berkelanjutan

Revitalisasi merupakan upaya untukmemfungsikan kembali secara maksimal suatukawasan atau bagian kota yang dulunya pernahhidup. Dalam konteks ilmu sosial (antropologi),revitalisasi merupakan sebuah model untukmemahami perubahan budaya, yang berkaitanerat dengan lingkungan, ekonomi, sosial, budaya,dan psikologis masyarakat (Giovine 2009: 208-230). Biasanya revitalisasi memanfaatkan objekheritage yang pada muaranya dapatdikembangkan untuk pariwisata. Objek revitalisasimengacu pada sebuah kawasan1 cagar budaya,misalnya revitalisasi kawasan bersejarah diKabupaten Kapuas, revitalisasi kawasan IstanaKuning di Pangkalanbun, revitalisasi kawasanCandi Agung di Kabupaten Amuntai, danrevitalisasi kawasan rumah adat Banjar di TelukSelong Kabupaten Banjar.

Proses revitalisasi sebuah kawasanmencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi,dan sosial. Demikian pula dalam pendekatanrevitalisasi harus mampu mengenali danmemanfaatkan potensi sekitarnya, seperti nilaisejarah, keunikan lokasi, dan citra tempat

(Danisworo dan Martokusumo 2002: tanpahalaman). Selain keindahan fisik, revitalisasi jugaberorientasi pada peningkatan ekonomimasyarakat dan pengenalan budayanya. Ketigasasaran revitalisasi tersebut dijabarkan sebagaitahapan-tahapan dalam proses revitaliasasi.Tahapan pertama adalah intervensi fisik, tahapankedua adalah rehabilitasi ekonomi, dan yangketiga adalah revitalisasi sosial dan institusional.

Banyaknya penghuni dan aktivitas yangdilakukan dalam sebuah kota menuntut terusbertambahnya bangunan baru sebagaipenampung aktivitas penghuni kota. Bangunanbaru memerlukan ruang baru, sehingga banyakbangunan lama yang dikorbankan dengan caramembongkarnya untuk kemudian didirikanbangunan baru di atas lahan bekas bangunanbersejarah yang dianggap tidak potensial. Di In-donesia, kasus semacam itu sudah sering terjadi.Atas nama pembangunan gedung pemerintahanatau pusat perbelanjaan modern (mall) yangdianggap lebih menguntungkan, sehinggabangunan bersejarah dihancurkan. Hal tersebutterutama menimpa bangunan bersejarah yangterletak di tempat strategis, seperti di tepi jalanprotokol. Idealnya, jika ada pemahaman danpengelolan yang baik tentang nilai budaya, makabangunan lama tersebut dapat berdiriberdampingan dengan bangunan baru yang mod-ern.

Tidak adanya pemahaman yang baik tentangnilai budaya, terutama di kalangan para pengambilkebijakan, sering menyebabkan mereka tersesatdalam menentukan kebijakan, seperti pemugarandan rekonstruksi bangunan bersejarah, sertarevitalisasi. Bangunan kuno yang merupakan liv-ing monument, seperti masjid dan rumah adat,dipugar dengan merombak total bentuk, ukuran,dan bahan aslinya. Sebelum pemugaran,beberapa di antaranya sering diwarnaiperdebatan, tetapi selalu dimenangkan olehpengambil kebijakan yang mengatasnamakan

1 Dalam Undang Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 1 (6), kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yangmemiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Mengacu pada pasaltersebut, kawasan yang dimaksud dalam artikel ini meliputi situs (ruang atau lokasi) dan bangunan yang ada di dalam situs tersebut.

Page 10: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Naditira Widya Vol. 10 No. 2 Oktober 2016-Balai Arkeologi Kalimantan Selatan154

kepentingan bersama. Pamong budaya,arkeolog, atau pelestari budaya selalu terlambatdatang ketika pemugaran telah usai. Pemerintahdaerah jarang melibatkan budayawan, arkeolog,atau pelestari budaya dengan berbagai alasan,antara lain: ketidaktahuan keberadaan merekakarena jarak yang jauh, waktu yang terbatas, ataumerasa tidak penting karena bangunan itumerupakan aset daerah dan pemugaranmenggunakan anggaran daerah (APBD).

Hampir semua pemerintah daerah berusahamenggali potensi dan jati diri nenek moyangmereka sebagai akar karakter dan identitas lokal.Output atau keluaran yang diharapkan darimasing-masing kegiatan tersebut hampirseragam, yaitu untuk dapat semaksimal mungkinmemberikan kontribusi bagi pendapatan daerah.Akibatnya, kegiatan menggali potensi daerahdilakukan dalam upaya tersebut denganmengatasnamakan revitalisasi, yang artinyamembangun dan memfungsikan kembalibangunan lama yang telah ada dilengkapi denganberbagai fasilitas. Banyak pihak yang kemudianmembabi buta dalam melaksanakan revitalisasi,dengan mengembangkan kawasan dan berbagaifasilitas sehingga layak jual, tanpa mengindahkankaidah pelestarian.

Pemugaran arsitektur kota, termasuk didalamnya bangunan cagar budaya, biasanyadirancang terpadu dengan program-programrevitalisasi kota. Sasaran dari program revitalisasikota antara lain untuk meningkatkan nilai fungsiekonomi kota tersebut, antara lain potensinyasebagai pemikat kepariwisataan. Namundemikian, menurut Sumintardja (Susanto 2010:tanpa halaman)2, menyajikan ruang kota danarsitektur kuno sebagai tempat tujuan wisatamerupakan salah satu dari sekian cara untukmenilai bahwa konservasi juga dapat bernilaiekonomi. Ironisnya, program revitalisasi seringmenenggelamkan prinsip konservasi bendacagar budaya. Konservasi menurut Kamus BesarBahasa Indonesia (KBBI), berarti pemeliharaandan perlindungan terhadap sesuatu secara teratur

untuk mencegah kerusakan dan kemusnahandengan cara pengawetan dan pelestarian.Pelestarian termasuk di dalam kegiatankonservasi, dengan prinsip utama konservasiadalah pelaksanaan yang teratur, sedangkanpelestarian lebih mengarah kepada tujuan. Dalamkonteks bangunan bersejarah atau Benda CagarBudaya (BCB) konservasi terkait erat dengankegiatan restorasi, yaitu upaya memperbaikibagian-bagian yang rusak atau mengganti bagian-bagian yang hilang dari objek yang bersangkutan.Konservasi bertujuan melestarikan keaslian yangmelekat pada bangunan bersejarah, meliputikeaslian bahan, desain bentuk, teknologipengerjaan, dan tata letak (Sadirin 2010: tanpahalaman). Dalam dunia arsitektur, restorasi jugaidentik dengan pemugaran yang termasuk dalamkegiatan konservasi yang bertujuan memeliharadan melestarikan benda budaya supaya tetaplestari dan seasli mungkin. Oleh karena itu, dalampemugaran benda budaya diperlukan kesetaraanpara ahli yang profesional baik dari segi konseppemugaran maupun teknisnya. Seperti yangdilontarkan Hulshoff (2005: 21-25), bahwapertumbuhan permintaan pasar akan wisatabudaya (heritage) yang cukup tinggi merupakantantangan bagi pengelolaan konservasi. Banyakkasus terjadi, demi mengejar pasar wisata budayasehingga rela menabrak rambu-rambupelestarian. Oleh karena itu, perlu perencanaanyang komprehensif supaya tidak terjadi benturanantara revitalisasi dan konservasi, yaitu denganmelakukan revitalisasi berbasis penelitianberparadigma pelestarian. Dengan demikian,revitalisasi dapat mencapai tujuannya secaraberimbang antara nilai fisik, nilai ekonomi, dannilai sosial budayanya dengan jujur apa adanya,tanpa harus mengabaikan prinsip konservasi ataupelestarian.

Gerakan positif telah dilakukan oleh pakardan pemerhati budaya di Kalimantan Selatan padatahun 2003-2004 yang menggugat hilangnya ciriarsitektur lokal pada bangunan publik danperkantoran. Mereka menghendaki supaya setiap

2 Majalah Arkeologi Indonesia dalam http://hura-hura-wordpres.com, diunduh 27 Januari 2016.

Page 11: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Eksistensi Rumah-rumah Adat Banjar dalam Pembangunan Berkelanjutan-Hartatik (145-158) 155

bangunan publik dan gedung perkantoran yangberdiri di tanah Kalimantan Selatan menampilkansalah satu ciri arsitektur lokal, baik bagian atap,lisplang bentuk cacak burung, maupun ukiran khasBanjar (Jarkasi dan Arbain 2004: 103-127). Gegapgempita tersebut pada akhirnya berhasilmenyuarakan kesepakatan untuk mendesakpemerintah provinsi membuat Perda tentangperlunya ciri arsitektur Banjar. Perda itu secarakhusus tidak pernah lahir, tetapi kepentingannyadiakomodir dalam Perda Nomor 8 Tahun 2008tentang Pengelolaan Kesejarahan, NilaiTradisional, dan Permuseuman. Pada BagianKeempat Nilai Tradisional Pasal 11 (1) c:"Pelestarian aspek arsitektur tradisional melaluipembangunan gedung untuk publik danperkantoran milik Pemerintah Daerah". Salah satucontoh penerapan Perda ini tampak padabangunan gerbang sebuah kantor di Banjarbaruyang menampilkan lisplang bentuk cacak burungdengan ukiram khas Banjar (lihat gambar 1).

Selain itu, juga lahir Peraturan Daerah (Perda)tentang bangunan panggung untuk mengatasipermasalahan lingkungan, terutama resapan airdi daerah yang mayoritas rawa ini. Antara lainPerda Kabupaten Banjar Nomor 1 Tahun 2014tentang Bangunan Panggung. Perda tersebutmencakup masalah pembangunan, pemanfaatan,pelestarian, pembongkaran, serta hak dankewajiban pemilik dan pengguna bangunanpanggung. Hal yang hampir sama juga terjadi diKota Banjarmasin, yaitu Perda Kota BanjarmasinNomor 14 Tahun 2009 tentang BangunanPanggung. Tujuan utama Perda tersebut adalahmenyediakan ruang untuk resapan air danmelestarikan bangunan panggung yang ramahlingkungan (lihat gambar 2).

Ketika revitalisasi tengah gencardilaksanakan, Pemerintah Provinsi KalimantanSelatan juga berencana membangun replikaKeraton Banjar. Wacana itu lahir sejak tahun 2005,yang menurut pandangan kami sebagaiarkeolog, rencana itu perlu dikaji ulang. Dariberbagai penelitian arkeologi dan sejarah belumpernah ditemukan lokasi persis tempat berdirinyakeraton, bentuk maupun ukuran Keraton Banjar

secara pasti. Hal itu disebabkan Keraton Banjarselalu berpindah-pindah tempat antara Kuin(Banjarmasin), Martapura, Karang Intan, dan DalamPagar. Selain itu, setiap perselisihan denganBelanda Keraton Banjar tersebut selalu dibakarhabis sehingga tak tersisa. Acuan apa yangdipakai untuk membuat replika jika bentuk aslinya,dokumen tertulis dan piktorialnya tidak pernahditemukan? Alangkah lebih bijaksana apabila danatersebut digunakan untuk merevitalisasi rumahadat Banjar yang terlantar dengan cara memugarsecara benar. Nilai sosial budaya, yang didalamnya terkandung pemahaman tentang jati diridan sejarah nenek moyang patut dimunculkansecara natural dan otentik. Penggalan data yang

Gambar 1. Hiasan atap pintu gerbang berbentuklisplang cacak burung dan ukiran khas Banjar.

sumber: dok. pribadi

Gambar 2. Bagian bawah rumah panggung sebagairesapan air.

sumber: dok. pribadi

Page 12: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Naditira Widya Vol. 10 No. 2 Oktober 2016-Balai Arkeologi Kalimantan Selatan156

terserak sedapat mungkin direkonstruksi sesuaidengan alur cerita dan kondisi masa lalu, tanpaharus dirubah dan dipaksa sesuai dengankehendak penguasa yang kekinian.

PENUTUP

Muara dari keberadaan arkeologi adalahmemberikan pemahaman dari masa lalu untukmasa kini dan masa depan. Seiring dengan haltersebut, pembangunan di bidang kebudayaandilakukan untuk menggali nilai luhur yang dapatditerapkan dalam kehidupan saat ini danpembentuk karakter bagi generasi mendatang.Revitalisasi kawasan cagar budaya adalah salahsatu contoh kegiatan yang berupayamemunculkan nilai pada objek bersejarahdengan pengembangan aspek sosial ekonomi.Akan tetapi, revitalisasi dengan penambahanbangunan fisik pada zona pengembang telahmenyalahi prinsip pelestarian situs cagar budaya,karena mengurangi nilai otentisitas kawasan. Jikadikaitkan dengan prinsip ekologi, penambahanbangunan memerlukan ruang baru, apalagidengan teknik mengurug lahan seperti yangterjadi pada kawasan rumah adat Banjar di TelukSelong, telah menimbulkan masalah ekologi dansosial karena mengurangi daerah resapan dangangguan sosial. Dari prinsip sustainabledevelopment, pengurugan tanah di kawasan rawatelah mematikan ekosistem rawa yang padajangka panjang akan mengorbankan masa depangenerasi mendatang.

Konservasi cagar budaya adalah salah satubentuk kegiatan yang sejalan dengan prinsippembangunan berkelanjutan. Akan tetapi, padakenyataannya kegiatan konservasi lebihcenderung pada upaya pelestarian yang bersifatinsidentil dan mengabaikan kaidah demi tujuanekonomi. Dalam pengelolaan sumber dayaarkeologi, diperlukan koordinasi dan kerjasamaantara sesama lembaga pemerintah, supayakasus revitalisasi di Teluk Selong tidak terulang.Pelaku revitalisasi, yaitu Dinas Pekerjaan Umum

(Kimpraswil) Provinsi perlu berkoordinasi dengandinas kebudayaan di lokasi sumber daya ituberada sehingga semua permasalahan dapatdiatasi bersama dengan sharing tanpa harussaling menyalahkan. Pada sisi lain, pemahamantentang konsep pelestarian cagar budayaberwawasan lingkungan, perlu ditingkatkan dikalangan elit politik dan pengambil kebijakan didaerah. Dengan pemahaman itu, mereka akanmerespon dan memberi keputusan dengan cepatdan tepat pada setiap kasus cagar budaya.

Peran masyarakat sangat penting dalammemaknai rumah adat. Meskipun mereka merasasenang dengan keberadaan rumah adat Banjaryang berbentuk panggung, tetapi sulit untukmengaplikasikannya sebagai rumah hunianpribadi. Penyebab utamanya adalah faktorekonomi karena harga kayu yang kini sangatmahal, yang kedua adalah perawatan yang lebihsulit dan rumit karena kayu rentan terhadapgangguan jamur dan rayap, serta masalah trendrumah beton yang sedang melanda masyarakatdaerah rawa. Oleh karena alasan-alasan tersebut,masyarakat cenderung mengurug lahan rawauntuk didirikan rumah tinggal, masjid, ruko,gudang, dan sekolah. Akibatnya, daerah resapanair kian menyempit. Untuk mencegah semakinmenyempitkan lahan resapan air, PemerintahDaerah mengeluarkan peraturan yang mengaturluasan lahan yang boleh diurug pada setiappembangunan fisik.

Pada sisi lain, para legislatif telah membuatperaturan yang mendukung pelestarian sumberdaya budaya dan lingkungan. Salah satunyaadalah Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor8 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Kesejarahan,Nilai Tradisional, dan Permuseuman yangmewajibkan bangunan publik dan perkantoranmilik Pemerintah Daerah dengan ciri arsitekturtradisional Banjar. Peraturan itu sejalan denganpembangunan berkelanjutan dalam bidangkebudayaan daerah. Pada sisi lain, peraturantentang lingkungan dan batasan maksimalpengurugan lahan, seperti Perda Kota

Page 13: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Eksistensi Rumah-rumah Adat Banjar dalam Pembangunan Berkelanjutan-Hartatik (145-158) 157

Banjarmasin Nomor 14 Tahun 2009 dan PerdaKabupaten Banjar Nomor 1 Tahun 2014 tentangBangunan Panggung, merupakan langkah positifuntuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan,terutama dalam memberikan ruang untuk resapan

DAFTAR PUSTAKA

APCCU. 2013. The Workshop for Protection ofCultural Heritage in Martapura 2012.Cultural Heritage Protection CooperationOffice, Asia Pacific Cultural Centre forUnesco (APCCU).

Bondan, Amir Hasan Kiai. 1953. Suluh SedjarahKalimantan. Banjarmasin: PercetakanFajar.

Bungin, Burhan. 2007. Metode PenelitianKualitatif. Surabaya: Rajawali Press.

Giovine Di, Michael A. 2009. "Revitalization andCounter-revitalization: Tourism,Heritage, and The Lantern Festival asCatalyst for Regeneration in Hoi An,Vietnam". Journal of Policy Research inTourims, Leisure and Events 1 (3) : 208-230.

Danisworo, M. dan Martokusumo, W. 2002.Revitalisasi Kawasan Kota: SebuahCatatan dalam Pengembangan danPemanfaatan Kawasan Kota. Diunduh25 Januari 2016 (http://Revitalisasikawasan-upn.blogspot)

Hartatik. 2014. "Strategi Pengelolaan KawasanRumah Adat Banjar di Teluk Selong Ulu,Kabupaten Banjar: PendekatanPelestarian Sumber Daya Arkeologi danKearifan Lokal". Tesis. Banjarbaru:Program Studi Pengelolaan SumberDaya Alam dan Lingkungan,Pascasarjana Universitas LambungMangkurat.

Hawkins, Mary. 2010. "Becoming Banjar". The AsiaPasific Journal of Anthropology: 24-36.

Hulshoff, Bern von Droste zu. 2005. "The GrowingWorld Heritage Tourism Market: a MajorChallenge for ConservationManagement". Hlm. 21-25 dalamCaribbean Wooden Treasures,Proceeding of The Thematic ExpertMeeting on Wooden Urban Herritage inThe Caribbean Region, 4-7 February2003. George Town, Guyana: UnescoWorld Heritage Centre.

Jarkasi dan Taufik Arbain, 2004. Prahara BudayaRumah Banjar. Banjarmasin: ForumKajian Budaya Banjar & Pustaka Banua.

Mundardjito, 2008. "Konsep Cultural ResourceManagement dan Kegiatan PelestarianArkeologi di Indonesia". Hlm. 7-22dalam Kumpulan Makalah PertemuanIlmiah Arkeologi XI, Solo 13-16 Juni 2008.Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Nuryanti, Wiendu. 2005. "Pemanfaatan BendaCagar Budaya dalam KonteksPariwasata". Buletin Cagar Budaya 4: 19-21.

Pemerintah Republik Indonesia. 2007. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 26Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 8 Tahun2008 tentang Pengelolaan Kesejarahan,Nilai Tradisional, dan Permuseuman.

Pemerintah Republik Indonesia. 2009. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 10Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Perda Kota Banjarmasin Nomor 14 Tahun 2009tentang Bangunan Panggung.

air dalam mengantisipasi banjir. Konsep rumahpanggung yang diadopsi dari arsitektur rumahadat Banjar ini telah membuktikan bahwa nenekmoyang telah memilliki kearifan terhadaplingkungan sejak ratusan tahun silam.

Page 14: EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM …

Naditira Widya Vol. 10 No. 2 Oktober 2016-Balai Arkeologi Kalimantan Selatan158

Pemerintah Republik Indonesia. 2010. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 11Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Perda Kabupaten Banjar Nomor 12 Tahun 2012tentang Pelestarian dan PengelolaanCagar Budaya.

Perda Kabupaten Banjar Nomor 1 Tahun 2014tentang Bangunan Panggung.

Qalyubi, Imam. 2012. "Suku Bakumpai, SebuahPergulatan Identitas Antara Dayak danMelayu Sebuah Tinjauan Budaya danLinguistik". Jurnal Studi Agama danMasyarakat 6 (2): 67-87.

Raharjo, Supratikno dan Hamdi Muluk. 2011.Pengelolaan Warisan Budaya Indonesia.Jakarta: BPSD Budpar, KementerianKebudayaan dan Pariwisata.

Renfrew, Colin dan Paul Bahn. 2012. Archaeology,Theories, Methods, and Practice.London: Thames & Hudson.

Rossle, M dan H.Cleere. 2001. "CulturalLandscapes". Hlm. 15-23 dalam WorldConservation: Vision and Reality. TheWorld Heritage Convention. IUCN, RueMauverney 28 CH-1196, Gland-Switzerland.

Riwut, Tjilik. 1979. Kalimantan Membangun.Jakarta: P.T. Jayakarta Agung Offset.

Sadirin, Hubertus. 2010. "Peran Konservasi dalamPenyelamatan Warisan Kota BersejarahJakarta". Tanpa halaman, Makalahdisampaikan dalam SeminarMemperingati 300 Tahun GedungMuseum Sejarah dan Jakarta, 9Desember 2010. Jakarta: DinasPariwisata dan Kebudayaan.

Seman, Syamsiar. 2000. Rumah-rumah AdatBanjar Bahari. Banjarbaru: MuseumNegeri Provinsi Kalimantan SelatanLambung Mangkurat.

Shaleh, M. Idwar. 1980/1981. Rumah TradisionalBanjar Rumah Bubungan Tinggi.Banjarbaru: Museum Negeri LambungMangkurat.

Suprayogo, Imam dan Tobroni, 2003. MetodologiPenelitian Sosial-Agama. Bandung: PTRemaja Rosdakarya.

Susanto, Djulianto (ed). 2010. "Seminar PeranKonservasi bagi Penyelamatan BendaCagar Budaya”. Majalah ArkeologiIndonesia. Diunduh 27 Januari 2016(http://hurahura-wordpress.com)

Syarifuddin, 2004. "Desain Dinding PenahanTanah (Retaining Walls) di Tanah Rawapada Proyek Jalan". Info Teknik 5 (2):103-109.

Tim Penelitian. 2012. "Verifikasi Cagar Budaya diKecamatan Martapura Kota, MartapuraTimur, Martapura Barat, dan Karang IntanKabupaten Banjar". Laporan PenelitianArkeologi. Banjarbaru: DisbudparporaKabupaten Banjar dan Balai ArkeologiBanjarmasin.

Utami, Weni Dewi. 2012. "Status KeberlanjutanTipologi Rumah Panggung pada LahanBergambut di Kawasan Sungai RayaKalimantan Barat". Vokasi Polnep e-Journal 8 (2): 90-100.

Yayasan SPES. 1992. PembangunanBerkelanjutan: Mencari Format Politik.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.Diunduh 21 April 2015 (www.ratna-d-p-fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-47764)