Tinjauan Yuridis Perjanjian Waralaba antara PT. KIEI dengan Ny. NV
Melvin Purnadi, Suharnoko, dan Endah Hartati
Faculty of Law, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak
Waralaba di Indonesia dilangsungkan berdasarkan suatu Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Hal ini diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007. Secara teoritis, perjanjian didasarkan pada kesepakatan kedua pihak. Tetapi, sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa Penerima Waralaba ada di posisi yang lebih lemah dan rawan dirugikan. Salah satunya, adalah keberadaan klausula non-agen yang melepaskan kewajiban Pemberi Waralaba. Berdasarkan Permendag Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012, telah diwajibkan beberapa hal untuk dicantumkan di dalam Perjanjian Waralaba. Pemenuhan kewajiban pencantuman tersebut harus dipastikan dalam Perjanjian Waralaba, guna menjamin Perjanjian Waralaba tetap sesuai dengan hukum Indonesia dan memberikan perlindungan bagi Penerima Waralaba.
Juridical Review of Franchise Agreement Between PT. KIEI and Mrs. NV
In Indonesia, a franchise is based on a franchise agreement between the franchisor and the franchisee. This is a must, according to Government Regulation No. 42 Year 2007. Theoretically, an agreement is mutually agreed by both side. However, it is well known that in a franchise agreement, the franchisee usually have a weaker position and prone to loss. One of the example is the presence of clausule of non agency, which make the franchisor freed from its liabilities to the franchisee. According to the Minister of Trade Regulations No. 53/M-DAG/PER/8/2012, there is some things required in the franchise agreement, which is obligatory. Fulfilment of this obligation is needed to ensure that the franchise agreement is not violating Indonesian law and giving enough protection to the franchisee. Keywords: franchise agreement, obligations according to Minister of Trade Regulations, clausule of non agency.
Pendahuluan
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang signifikan, berbagai macam sistem
bisnis ikut tumbuh dengan subur di Indonesia. Salah satu yang berkembang sangat pesat
adalah sistem waralaba. Waralaba di Indonesia mulai mendapatkan perhatian sebagai suatu
sistem bisnis yang komprehensif. Berangkat dari hal tersebut, para pelaku usaha mulai
mengembangkan bisnisnya, baik dengan cara mewaralabakan usahanya yang sudah mapan
ataupun mengambil waralaba sebagai suatu awal untuk memulai bisnis.
Terminologi waralaba dalam bahasa Indonesia, dikenal sebagai franchise dalam bahasa
Inggris. Kata franchise itu sendiri berasal dari bahasa Perancis,1 yang berarti bebas atau bebas
dari perbudakan/ perhambaan (free from servitude). Pada abad 13, segala kegiatan
1 Iman Sjahputra Tunggal, Franchising Konsep & Kasus, cet. 1, (Jakarta: Harvarindo, 2004), hal. 1.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
penyelenggaraan pasar ataupun pertunjukan sampai pengoperasian kapal untuk berpergian ada
di dalam kekuasaan raja Perancis. Selanjutnya, raja memutuskan untuk membagi
kekuasaannya tersebut kepada segelintir orang, berupa hak khusus untuk menjalankan usaha
tersebut. Hak khusus inilah yang dikenal sebagai franchise.2
Dari pengertian tersebut, dasar dari waralaba sudah terbentuk. Tetapi, sistem yang berlaku di
Perancis tersebut belum menyamakan sistem yang ada sekarang. Dalam perkembangannya,
franchise Perancis cenderung memonopoli, yang berakibat pada sangat untungnya pihak yang
menerima hak dari raja dan merugikan orang kebanyakan. Hal ini tidak terlepas dari sistem
monarki absolut yang berlaku di Perancis pada saat itu, yang berarti raja adalah segalanya.
Sistem tersebut kemudian diperbaiki pada tahun 1840, di Jerman.3 Di mana pada saat itu,
produsen bir dan anggur membuat perjanjian dengan para pemilik bar dan/ atau café untuk
menjual minuman para produsen tersebut. Dari praktik dagang seperti ini, lahir sistem
waralaba yang kita kenal sampai sekarang.
Terkait dengan perkembangan waralaba di Indonesia, tidak bisa lepas dari PT. Pertamina.
Dahulu, di awal era kemerdekaan, PT. Pertamina (yang dulunya bernama PT. Permindo),
dibentuk dalam rangka nasionalisasi perusahaan minyak Belanda, yakni NIAM
(Nederlandsche Indische Aardolie Maatschappij) pada tahun 1959. Pertamina merupakan
pelopor waralaba di Indonesia, dengan mewaralabakan SPBU (stasiun pengisian bahan bakar
umum) kepada orang- orang.4 Selanjutnya, periode 1970-1980, mulai bermunculan usaha
lokal, seperti Es Teler 77, California Fried Chicken, dll yang menawarkan bisnis waralaba
lokal.
Namun menurut Amir Karamoy, yang berdampak signifikan terhadap waralaba di Indonesia
adalah kehadiran McDonald’s di Sarinah tahun 1991, yang pada saat itu dibawa masuk ke
Indonesia oleh Bambang Rachmadi, dengan perusahaannya PT. Ramako Gerbangmas.5 Pada
tahun yang sama, telah dicanangkan “Ikrar Kesepakatan Pembentukan Asosiasi Franchise
Indonesia,” yang menjadi titik awal pembentukan asosiasi waralaba di Indonesia.6 Periode
1990-an menjadi masa perkembangan waralaba yang masif di Indonesia.
2 Ibid., hal. 6. 3 Ibid., hal. 7. 4 Amir Karamoy, Percaturan Waralaba Indonesia, cet. 1, (Jakarta: PT. Foresight Asia, 2013), hal. 57. 5 Ibid., hal. 58. 6 Ibid., hal. 59.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
Masih di periode yang sama, sebuah studi dari ILO (International Labour Organization) yang
berjudul “A Base-Line Study for Franchise Promotion in Indonesia” telah berhasil mendata
awal perkembangan waralaba. Disebutkan dalam studi tersebut di tahun 1991, terdapat dua
puluh tujuh waralaba yang berkembang di Indonesia. Enam dari antaranya merupakan
waralaba lokal (22,3%), sedangkan sisanya, berjumlah dua puluh satu waralaba asing
(77,3%).7
Pada Krisis Moneter 1997-1998, terjadi kemunduran ekonomi Indonesia, yang secara
langsung berpengaruh pada usaha waralaba. Salah satu yang cukup terkenal adalah keluarnya
restoran makanan cepat saji “Burger King” dari Indonesia karena krisis tersebut. Waralaba
“Burger King” menjadi cukup terkenal karena sepuluh tahun setelah keluarnya, “Burger
King” kembali masuk lagi ke Indonesia di bawah naungan PT. Mitra Adi Perkasa, Tbk.
Era keemasan waralaba Indonesia ada di periode tahun 2003 sampai sekarang. Setelah kondisi
ekonomi yang membaik dan pulih, para pelaku usaha mulai memberanikan diri lagi untuk
mewaralabakan usahanya ataupun menjadi pemegang hak waralaba. Hal ini dimulai dengan
berkembangnya jaringan waralaba minimarket, baik Indomaret ataupun Alfamart. Keduanya,
dengan kekuatan networking yang kuat, membuka banyak gerai di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2008, ketika Krisis Global terjadi, dampak terhadap Indonesia sangatlah minim.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif, tertinggi ketiga di dunia setelah China dan
India. Justru yang terjadi adalah PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia yang meningkat,
disertai dengan daya beli yang menguat. 8
Kondisi ini menarik waralaba asing untuk masuk, memanfaatkan pasar Indonesia yang
berjumlah 220 juta orang. Jenis usaha yang diwaralabakan pun berbagai macam. Usaha yang
paling banyak berkembang adalah makanan dan minuman, seperti Yoshinoya, Ya Kun Kaya
Toast, Kopitiam, Lotteria dan lain- lain. Selain itu, masuk juga waralaba minimarket seperti 7-
Eleven, Lawson, dan Family Mart. Usaha yang mempelopori waralaba Indonesia, yakni
SPBU, juga dimasuki pemain asing, seperti Shell, Total dan Petronas; tepat sesudah
Pemerintah mencabut hak eksklusif Pertamina (Persero) untuk menjual bahan bakar minyak.
Waralaba lokal juga ikut bertumbuh, namun tidak sebesar waralaba asing. Waralaba lokal
yang cukup terkenal adalah Excelso (kedai kopi), Taman Sari Royal Heritage Spa (perawatan
7 Ibid., hal. 58. 8 http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/30489-ekonomi_2008_melambat__pdb_catat_6_1_ diakses pada tanggal 1 Oktober, PK. 19.45 WIB.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
tubuh), Kebab Baba Rafi (makanan), Alleira Batik (garmen), serta Alfamart dan Indomaret
(perdagangan barang). Gencarnya waralaba asing menjadi tantangan bagi waralaba lokal
untuk ikut bersaing dan memperbaiki kualitas waralaba, sehingga bisa mewujudkan
impiannya untuk merambah pasar internasional.
Waralaba dengan cepat menjadi model bisnis yang banyak diadopsi di Indonesia. Oleh
pemilik usaha yang ingin memperluas bisnisnya, waralaba adalah jalan yang tepat. Sebab
pemilik usaha tidak perlu mengeluarkan modal lagi untuk membangun usahanya tersebut.
Pemilik usaha juga tidak terbatasi jaringan usahanya, sebab mewaralabakan usahanya berarti
terciptanya kemungkinan akan waralaba yang mencapai pelosok Indonesia. Pada akhirnya,
dengan semakin banyaknya waralaba yang pemilik usaha miliki, maka pemilik usaha akan
mendapat lebih banyak pemasukan lagi.
Oleh orang yang ingin memulai usaha, waralaba menjadi sistem yang tepat. Dia dapat
memulai usaha dengan mengambil waralaba dari sebuah bisnis yang sudah mapan dan dikenal
orang banyak. Dari waralaba pula, orang tersebut dapat belajar mengenai manajemen
perusahaan, berjualan produk dan pelayanan kepada konsumen. Dengan ini, maka secara
tidak langsung pengetahuannya akan berkembang. Perlu diingat juga, waralaba ada dalam
beberapa bentuk, yang memudahkan bagi orang untuk memilih waralaba yang tepat baginya.
Bentuk waralaba adalah sebagai berikut:
1. Product Franchise: bentuk waralaba pemasaran/ distribusi produk penerima
waralaba.9
2. Business Format / System Franchise: bentuk waralaba dalam satu paket
keseluruhan. 10
Menanggapi pesatnya perkembangan waralaba di periode 1990-an, Pemerintah Indonesia
membentuk Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil. Akan tetapi,
undang- undang ini hanya sekadar menyinggung keberadaan waralaba, yang disebut sebagai
salah satu pola kemitraan, dalam pasal 27.
Pemerintah kemudian memperbaiki Undang- Undang Tentang Usaha Kecil tersebut dengan
mengeluarkan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
9 Gunawan Widjaja, Waralaba, cet. 2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2003), hal. 13
10 Ibid., hal. 14.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
Menengah. Di dalam undang- undang ini, waralaba tetap disebut sebagai salah satu pola
kemitraan, dalam pasal 26.
Pemerintah menambahkan beberapa ayat yang berkaitan dengan waralaba yakni, pasal 29
angka (2), dimana waralaba harus mengutamakan penggunaan barang produksi dalam negeri,
dan pasal 29 angka (3) yakni kewajiban Pemberi Waralaba untuk melakukan pembinaan.
Pada akhirnya, Pemerintah membentuk peraturan yang khusus mengatur tentang waralaba,
yakni Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3690). Peraturan ini dibentuk guna mengakomodir konsep dan ketentuan mengenai
waralaba yang tidak terdapat dalam buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.
Selain itu, peraturan ini juga demi tertib hukum dan memberikan payung hukum yang jelas
terhadap keberadaan waralaba. Sebelumnya, keberadaan waralaba hanya didasarkan pada asas
kebebasan berkontrak sesuai dengan pasal 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang
menyatakan bahwa perjanjian berlaku sebagai undang- undang kepada para pihaknya. 11
Seiring dengan perkembangan waralaba yang begitu pesat, pembaharuan dasar hukum
waralaba sangat mendesak, karena landasan hukumnya boleh dibilang sudah tidak bisa
mengikuti perkembangan lagi. Pengaturan waralaba diperbaharui dengan dibentuknya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4742).
Banyak hal yang sebelumnya tidak diatur, menjadi diatur dalam dua Peraturan Pemerintah ini.
Misalnya, kewajiban Pemberi Waralaba untuk memberikan Prospektus Waralaba kepada
calon Penerima Waralaba. Hal penting lainnya adalah, pemerintah menetapkan kriteria suatu
usaha yang bisa diwaralabakan, sehingga, tidak sembarang usaha yang bisa diwaralabakan.
Termasuk juga masalah teknis pengurusan dan perizinan.
Selanjutnya, untuk memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai hal yang bersifat teknis,
maka pemerintah melalui Kementrian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 53/M-DAG/PER/8/2012 Tentang Penyelenggaraan
11 Op. Cit., Amir Karamoy, hal. 69.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
Waralaba. Peraturan ini lebih mengatur hal- hal seperti administrasi pendaftaran di
Kementrian Perdagangan.
Peraturan Pemerintah mewajibkan agar waralaba dituliskan dalam suatu perjanjian antara
kedua belah pihak. Dari perjanjian inilah, kedua belah pihak mengatur syarat dan ketentuan
yang mereka sepakati bersama. Peraturan Pemerintah secara umum tidak membatasi hal
tersebut, asalkan tidak melanggar hukum. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah mewajibkan
beberapa klausula yang wajib ada di dalam Perjanjian Waralaba yang ditandatangan kedua
belah pihak.
Dari sinilah berbagai permasalahan mulai muncul. Pemberi Waralaba mulai mengelak dari
Peraturan Pemerintah tersebut, dengan cara tidak memasukan klausula yang seharusnya wajib
dimasukan ke dalam Perjanjian Waralaba. Selain itu, Perjanjian Waralaba yang seharusnya
menjadi kesepakatan kedua belah pihak, lebih condong untuk dibuat oleh Pemberi Waralaba
dan tidak memperhatikan masukan pihak Penerima Waralaba.
Dilematisnya, bila kedua pihak bersama- sama merundingkan Perjanjian Waralaba dari awal,
baik Pemberi Waralaba maupun Penerima Waralaba akan mendapatkan kerugian. Kedua
pihak akan terjebak dalam perundingan berlarut- larut yang susah untuk menemukan jalan
keluar. Kondisi ini tidak diinginkan oleh kedua belah pihak, yang pada dasarnya menuntut hal
yang sama, yakni keuntungan sebanyak- banyaknya dalam waktu secepat- cepatnya.
Akibatnya, banyak klausul dari Perjanjian Waralaba yang menguntungkan Pemberi Waralaba
dan merugikan Penerima Waralaba. Lebih lanjut, Perjanjian Waralaba yang diberikan oleh
Pemberi Waralaba tidak bisa diubah rumusan klausulnya. Penerima Waralaba tidak punya
pilihan lain selain menerima Perjanjian Waralaba tersebut, jika ingin tetap membuka usaha
Pemberi Waralaba tersebut.
Penerima Waralaba dihadapkan pada pilihan “take it or leave it” yang dapat membatasi
pertimbangan mereka untuk menerima waralaba tersebut. Sementara itu, untuk mendebat dan
melaporkan klausul “nakal” tersebut akan membawa kerugian pada Penerima Waralaba itu
sendiri. Walaupun masalah ini kerap terjadi dan merugikan Penerima Waralaba, Pemerintah
seakan menutup mata. Di sini, kontrol pemerintah sangat tidak berasa. Padahal, di dalam
Peraturan Pemerintah tersebut sudah dilengkapi dengan sanksi apabila melanggar ketentuan
yang ada.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
Penulis akan membahas mengenai Perjanjian Waralaba PT. KIEI, yang merupakan Pemberi
Waralaba suatu kursus pendidikan yang berasal dari luar negeri, kepada Ny. NV selaku
Penerima Waralaba. Mengingat bahwa Perjanjian Waralaba yang diberikan oleh PT. KIEI
merupakan suatu perjanjian baku, maka penting untuk dipahami isinya dan dipastikan bahwa
tidak melanggar hukum Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas, pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini
adalah apakah Perjanjian Waralaba antara PT. KIEI dengan Ny. NV telah sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
53/M-DAG/PER/8/2012? Apakah batasan keterlepasan/ ketidakterikatan Pemberi Waralaba
terhadap kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Penerima Waralaba sehubungan dengan
adanya klausula non agen?
Skripsi ini bertujuan untuk untuk mengetahui secara umum tentang perjanjian waralaba bila
dibandingkan dengan peraturan hukum yang berlaku dan penyesuaian terhadap peraturan
hukum yang belum ada di saat perjanjian ditandatangani. Secara khusus melakukan analisis
dan pendalaman mengenai kesesuaian Perjanjian Waralaba PT. KIEI dengan Ny. NV dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
53/M-DAG/PER/8/2012.
Tinjauan Teoritis
Asas ini termaktub dalam pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang
berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.12 Suatu perjanjian
dengan itikad tidak baik, harus dilangsungkan atas dasar keinginan suatu pihak untuk
mengikatkan dirinya dengan pihak lain guna memperoleh hak atau melaksanakan kewajiban
tertentu.
Pada dasarnya, asas itikad baik ini harus tercermin dalam semua tahapan perjanjian, mulai
dari pembentukan, pelaksanaan dan pengakhiran. Dalam kaitannya dengan pembentukan,
tertulis dalam pasal 1321 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, dimana itikad tidak baik,
yakni paksaan atau penipuan mengakibatkan tidak sahnya perjanjian.
12 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R
Tjitrosudibio(1), (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004), ps. 1338.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
Selain itu, dalam pelaksanaan perjanjian, kedua belah pihak wajib melaksanakan perjanjian
tersebut tanpa maksud merugikan pihak lain. Asas ini menghindarkan para pihak beritikad
buruk dan melaksanakan perjanjian dengan tipu muslihat dan ketidakjujuran.
Subekti menambahkan, bahwa itikad baik juga dapat diartikan agar pelaksanaan perjanjian
tersebut tidak sampai melanggar keadilan. Subekti memandang bahwa asas itikad baik ini
merupakan suatu tuntutan keadilan, bahwasanya dalam suatu pelaksanaan perjanjian,
janganlah meninggalkan norma keadilan.
Berdasarkan pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, diperlukan empat syarat agar
suatu perjanjian dianggap sah, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Esensi yang dicapai dari sepakat atau konsensus dalam suatu perjanjian adalah apa yang
dikehendaki oleh satu pihak dicapai pula oleh pihak lain dan kedua pihak merasa puas.
Kesepakatan merupakan sebuah keharusan dalam perjanjian. Dari kesepakatanlah, perjanjian
lahir.
Kitab Undang- Undang Hukum Perdata mengatur bahwa kesepakatan harus datang dari diri
masing- masing pihak. Suatu sepakat tidaklah sah bila terjadi kekhilafan ataupun paksaan
maupun penipuan oleh salah satu pihak, sesuai dengan pasal 1321.
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan
Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menyatakan dalam pasal 1329 bahwa pada dasarnya
setiap orang cakap untuk membuat perikatan, kecuali oleh undang- undang dinyatakan tidak
cakap. Akan tetapi, tidak ada definisi jelas cakap yang diberikan oleh Kitab Undang- Undang
Hukum Perdata. Para ahli, seperti Prof. Subekti, menyatakan bahwa pada asasnya, orang
dewasa atau akil balik dan sehat pikiran adalah cakap menurut hukum.
Unsur kecakapan ini diperlukan untuk memenuhi sudut keadilan dan ketertiban. Sudut
keadilan yang dimaksudkan adalah subjek perjanjian insyaf akan tanggung jawab dari
perbuatannya, sehingga tidak merugikan orang lain. Sedangkan sudut ketertiban berarti subjek
perjanjian merupakan orang yang benar- benar berhak bebas atas harta yang diperjanjikan.
Hal ini guna menghindari sengketa bila ternyata yang diperjanjikan bukanlah harta yang dia
miliki sendiri.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
Pasal 1330 mengatur secara jelas dan tegas tentang ketidakcakapan, yakni orang- orang yang
belum dewasa; mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele); dan orang- orang
perempuan, dalam hal- hal yang ditetapkan oleh undang- undang dan pada umumnya semua
orang kepada siapa undang- undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.13
Mengenai orang perempuan tidak cakap, hal tersebut sudah dianulir oleh Mahkamah Agung
melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963. Mahkamah beranggapan bahwa
paham tersebut yang dilatarbelakangi hukum Eropa tidaklah cocok dengan kebiasaan hukum
Indonesia, terutama hukum adat.
Pandangan Mahkamah Agung ini dikuatkan kala Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dibentuk. Hal ini termaktub dalam pasal 31 undang- undang tersebut yang
berbunyi: “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.14 Sehingga dapat
diartikan bahwa kedudukan istri sama dengan kedudukan suami di hadapan hukum, yang juga
berakibat pada cakapnya istri untuk melakukan perbuatan hukum, atas namanya sendiri.
3. Suatu hal tertentu
Hal tertentu merujuk kepada sesuatu yang konkrit. Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
menyatakan dalam pasal 1332, bahwa hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang
dapat menjadi pokok perjanjian. Barang tersebut dapat berupa pakaian, makanan, surat
berharga dan juga perdagangan jasa.
Agar suatu perjanjian sah, Subekti menyatakan bahwa barang yang diperjanjikan tersebut
haruslah ditentukan jenisnya. Menjadi tidak penting perkara barang tersebut ada atau tidak di
saat perjanjian di tutup, semenjak Kitab Undang- Undang Hukum Perdata memperbolehkan
barang yang belum ada untuk diperjanjikan, sesuai dengan pasal 1334.
Selain itu, barang yang diperjanjikan haruslah bisa dihitung harganya atau nilainya. Dan Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata juga tidak mempermasalahkan jumlah spesifik barang
tersebut, sesuai dengan pasal 1333.
4. Suatu sebab yang halal
13 Op. Cit., Subekti (1), ps. 1330.
14 Indonesia, Undang- Undang Perkawinan, UU No. 1 tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN. No. 3019, ps. 31.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
Subekti menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebab adalah isi dari perjanjian itu
sendiri. Sebab hukum tidak berada di dalam ranah yang mengatur hal sedemikian. Hukum
mengatur perjanjian itu agar tidak melanggar ketentuan peraturan yang sudah ada.
Tetapi, Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya berjudul Azas- Azas Hukum Perjanjian,
menjelaskan bahwa penggunaan “sebab” dalam “sebab yang halal” adalah tidak tepat.
Wirjono menggunakan “causa,” yang merupakan suatu keadaan, bukan “sebab” yang berarti
akan mengakibatkan sesuatu. Causa dalam perjanjian adalah isi dan tujuan suatu
persetujuan.15
Di sini Wirjono menekankan pada pentingnya tujuan dari suatu perjanjian. Isi dari suatu
perjanjian bisa saja diperbolehkan, akan tetapi, bila tujuan perjanjian itu dimaksudkan untuk
hal yang tidak baik, maka tidak diperbolehkan juga.
Berangkat dari pengertian ini, maka dapat dijelaskan pasal 1335 dan pasal 1337 Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata. Adapun pasal 1335 berbunyi: “Suatu perjanjian tanpa
sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai
kekuatan.” Berarti, isi dan tujuan perjanjian yang palsu atau terlarang akan menjadi batal demi
hukum.
Sedangkan, pasal 1337 berbunyi: “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-
undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Pasal ini
menjelaskan bahwa bila isi dan tujuan dari perjanjian tersebut dilarang bila melanggar
undang- undang, kesusilaan dan kepatutan umum yang dianut masyarakat. Dilarang oleh
undang- undang berarti seyogyanya tidak boleh membuat perjanjian yang bersifat melanggar
larangan tersebut. Hal ini bisa diartikan secara tegas, sebab undang- undang itu sendiri
menjamin kepastian hukum.
Lain halnya dengan berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Kesusilaan
atau ketertiban bukanlah suatu hal yang bersifat mutlak dan tidak ada standarisasi atau
persamaan hal tersebut, melainkan berbeda- beda tergantung dari hidup dalam masyarakat.16
Kedua larangan ini sangat susah untuk ditetapkan secara konkrit. Tetapi, dapat dimengerti
15 Wirjono Prodjodikoro, Asas- Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Bandung, 1973), hal. 35.
16 Ibid., hal. 36.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
bahwa ketertiban umum merupakan kepentingan masyarakat umum, untuk tidak dirugikan
oleh berlakunya perjanjian, yang mana ditunjukan untuk orang perseorangan.17
Keempat syarat ini dibagi menjadi dua, yakni syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat
subjektif berarti syarat yang menyangkut orang- orang atau subjek yang mengadakan
perjanjian. Sedangkan, syarat objektif menyangkut objek dari perjanjian yang dilangsungkan
kedua pihak. Syarat subjektif terdiri dari syarat pertama dan kedua, yakni kesepakatan antar
pihak dan kecakapan pembuat perjanjian. Sedangkan syarat objektif terdiri dari syarat ketiga
dan keempat, yakni suatu hal tertentu dan sebab yang halal.
Bilamana terjadi pelanggaran terhadap salah satu syarat ini, maka perjanjian tersebut menjadi
cacat. Pelanggaran terhadap syarat subjektif mengakibatkan perjanjian tersebut dapat
dibatalkan. Tetapi bukan berarti semua perjanjian yang melanggar syarat subjektif dapat
dibatalkan. Bila antar kedua pihak sama- sama puas dan tidak ada yang dirugikan, maka
perjanjian tersebut tetap berlaku. Sedangkan pelanggaran terhadap syarat objektif, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada sama sekali, sesuai
dengan pasal 1335 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.
Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode yuridis- normatif, yakni menelaah norma- norma
hukum tertulis. Dengan menelaah norma hukum ini, maka dapat mengidentifikasi konsep dan
asas hukum untuk mengatur perjanjian waralaba. Norma hukum tertulis yang akan diteliti
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba; Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara
tepat sifat suatu individu, gejala dan kelompok tertentu atau menentukan frekuensi gejala.18
Dalam penelitian ini akan dipaparkan mengenai kesesuaian Perjanjian Waralaba antara PT.
KIEI dengan Ny. NV berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 dan Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012.
Adapun jenis data yang akan digunakan Bahan hukum primer, yakni Kitab Undang- Undang
Hukum Perdata sebagai pengaturan terhadap Perjanjian pada umumnya; Peraturan Pemerintah
17 Ibid., hal. 37.
18 Sri Mamudji, et al,. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
Nomor 42 tahun 2007; Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008; dan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012. Bahan hukum sekunder
yakni buku hasil karya kalangan akademisi hukum serta makalah ilmiah yang membahas
tentang tinjauan Perjanjian Waralaba. Bahan hukum tersier berupa kamus hukum dan artikel
di internet.
Alat pengumpulan data yang akan digunakan berupa studi dokumen, yakni penelusuran bahan
hukum primer dikombinasikan dengan bahan hukum sekunder, yang mana penulisnya sudah
dikenal serta bahan hukum tersier yang sudah diverifikasi terlebih dahulu. Penelitian ini akan
dianalisis dengan metode kualitatif, yakni untuk lebih mencari kualitas data. Sehingga akan
dihasilkan data deskriptif analisis dan akan dipublikasikan dalam bentuk skripsi.
Hasil Penelitian Hasil penelitian berbentuk gambaran yuridis mengenai Perjanjian Waralaba PT. KIEI yang
telah disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan terkait.
Pembahasan
Pada dasarnya, Perjanjian Waralaba PT. KIEI dengan Ny. NV sudah sesuai dengan syarat-
syarat sahnya perjanjian menurut hukum perdata Indonesia. Tetapi, berdasarkan pengaturan
yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan dan doktrin, masih terdapat kesalahan
dan ketidaksesuaian. Ketidaksesuaian tersebut akan dijelaskan dalam tabel di bawah ini:
Tabel Kesesuaian Pasal Perjanjian Waralaba
Pasal Kesesuaian Solusi 1 Pemberian Lisensi Sudah sesuai - 2 Jangka Waktu Sudah sesuai - 3 Pembayaran oleh Penerima Waralaba
Sudah sesuai -
4 Pengakhiran Sudah sesuai. Tidak sesuai pada pasal 4.7 dan 4.8.
Kedua pasal 4.7 dan 4.8 dibatalkan atau bila ingin tetap berlaku, pasal diamandemen. Bagi pasal 4.7, dibayar ganti rugi untuk pengembalian Bahan Pelajaran. Bagi pasal 4.8, penerima waralaba tidak membayarkan biaya konsultan hukum.
5 Hukum yang Berlaku Sudah sesuai - 6 Penyelesaian Perselisihan Sudah Sesuai - 7 Lain- lain Sudah sesuai.
Tidak sesuai pada pasal 7.3. Keberlakuan pasal 7.3 melanggar asas keadilan, maka dari itu pasal ini harus dibatalkan. Atau pasal ini dapat diamandemen menjadi kedua pihak sama- sama tidak
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
boleh menuntut haknya bila ada para pihak wanprestasi atau kedua pihak sama- sama boleh menuntut meskipun wanprestasi.
1 (Ketentuan Umum) Definisi Sudah sesuai. Tidak sesuai pada huruf (f).
Terdapat frasa “yang dapat diubah sewaktu- waktu” yang mana merupakan pelanggaran terhadap klausula baku. Frasa ini harus dihapus.
2 (Ketentuan Umum) Pemberian Lisensi
Sudah sesuai. Tidak sesuai pada pasal 2.9.
Terdapat frasa “yang dapat diubah sewaktu- waktu” dalam pasal 2.9 yang mana merupakan pelanggaran terhadap klausula baku. Frasa ini harus dihapus.
3 (Ketentuan Umum) Kewajiban Pemberi Waralaba
Sudah sesuai. Dengan catatan, tidak adanya “Jaminan dari Pemberi Waralaba untuk Tetap Menjalankan Kewajibannya kepada Penerima Waralaba” sebagaimana diharuskan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan.
4 (Ketentuan Umum) Kewajiban Penerima Waralaba
Sudah sesuai. Tidak sesuai pada huruf (o).
Pasal 4 huruf (o) melanggar doktrin Negative Covenant yang menimbulkan ketidakadilan, sebab pembukaan kursus lain oleh Penerima Waralaba tidak berbahaya bagi Kursus Sistem “K.” Pasal ini sebaiknya dibatalkan keberlakuannya.
5 (Ketentuan Umum) Larangan- larangan
Sudah sesuai. -
6 (Ketentuan Umum) Ganti Rugi
Tidak sesuai. Pasal ini harus dibatalkan karena merugikan Penerima Waralaba meskipun sudah tidak melakukan usaha kursus dengan jangka waktu yang tidak dibatasi. Meskipun terdapat daluwarsa 30 tahun dalam pasal 1967, pasal ini tetap dianggap terlalu merugikan Penerima Waralaba.
7 (Ketentuan Umum) Hubungan Para Pihak
Sudah sesuai. Dengan catatan, keterlepasan Pemberi Waralaba dibatasi dengan materi ajar yang diberikan dalam kursus.
1 (Lampiran A) Peraturan Pembayaran Kompensasi dan Royalti
Sudah sesuai. Tidak sesuai pasal G.
Frasa “pengeluaran yang dilakukan oleh Pemberi Waralaba atas nama Penerima Waralaba” tidak definitif dan dapat mengakibatkan kerugian bagi Penerima Waralaba. Frasa dalam pasal ini diamandemen atau dihilangkan.
2 (Lampiran A) Peraturan Pemasokan
Sudah sesuai. -
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
3 (Lampiran A) Peraturan Pemakaian Nama Kursus, Nama Dagang dan Merek Dagang
Sudah sesuai. -
4 (Lampiran A) Peraturan Pelaporan
Sudah sesuai. -
5 (Lampiran A) Peraturan Promosi dan Pendukung Kursus
Sudah sesuai. -
6 (Lampiran A) Peraturan Kegiatan Kursus Melalui Korespondensi
Sudah sesuai. -
Lampiran B Sudah sesuai. -
Kesimpulan
Pada dasarnya, Perjanjian Waralaba antara PT. KIEI dengan Ny. NV sudah sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
53/M-DAG/PER/8/2012. Tetapi, masih terdapat beberapa ketidaksesuaian dengan Peraturan
Menteri Perdagangan dan peraturan perundang- undangan lain serta doktrin.
Klausula non agen dalam pasal 7 Ketentuan Umum Perjanjian Waralaba tidak membebaskan
Pemberi Waralaba dari tanggung jawab yang dibebankan kepadanya secara penuh. Terdapat
hal yang membatasi keberlakuan pasal 7 Ketentuan Umum. Pasal tersebut adalah: Dengan
adanya klausula non agen, Pemberi Waralaba telah memosisikan dirinya untuk tidak
bertanggung jawab terhadap kewajiban yang dibebankan oleh Penerima Waralaba. Akan
tetapi, melalui Undang- Undang Perlindungan Konsumen, maka keberlakukan klausula non
agen tersebut dibatasi. Secara umum, pembatasan tersebut adalah produk jasa dari Pemberi
Waralaba. Pemberi Waralaba harus tetap bertanggung jawab terhadap tuntutan atau gugatan
hukum yang bersumber dari produk jasa yang dia berikan kepada Penerima Waralaba.
Saran
Terkait dengan Perjanjian Waralaba, maka Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba
bernegosiasi ulang mengenai pasal yang tidak sesuai dan mengamandemen Perjanjian
Waralaba sehingga tidak melanggar peraturan perundang- undangan. Kedua, Ny. NV, sebagai
Penerima Waralaba melaporkan Perjanjian Waralaba ini kepada Direktur Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri, sebagai pengawas pelaksanaan waralaba (sesuai dengan pasal 28
dan pasal 29 Peraturan Menteri Perdagangan) untuk memaksakan amandemen Perjanjian
Waralaba sehingga tidak merugikan Ny. NV.
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014
Daftar Referensi
Buku
Karamoy, Amir. (2013). Percaturan Waralaba Indonesia. cet. 1. Jakarta: PT. Foresight Asia.
Mamudji, Sri. Et al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sjahputra Tunggal, Iman. (2004). Franchising Konsep & Kasus. cet. 1. Jakarta: Harvarindo.
Prodjodikoro, Wirjono. (1973). Asas- Asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur Bandung.
Widjaja, Gunawan. (2003). Waralaba. cet. 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Peraturan Perundang- undangan
Indonesia(1). Undang- Undang Perkawinan, UU No. 1 tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974,
TLN No. 3019.
______(2), Undang- Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 tahun 1999, LN No. 42
Tahun 1999, TLN No. 3821.
Kitab Undang- Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio (1), cet. 39, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2008.
Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Perdagangan Tentang
Penyelenggaraan Waralaba. Permendag No. 53/M-DAG/PER/8/2012.
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Waralaba. PP No. 42 tahun
2007.
Internet
F. (2013). Diakses pada tanggal 1 Oktober dari
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/30489ekonomi_2008_melambat__pdb_catat_6_1_
Tinjauan yuridis..., Melvin Purnadi, FH UI, 2014