sindrom nefrotik resisten steroid

8
Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 5 Nomor 3 JanuariJuli 2019 1 ISSN ISSNL 23376686 23383321 SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID Erida Manalu Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Jakarta Email: [email protected] PENDAHULUAN Latar belakang dari tulisan ini adalah masih tingginya kejadian Sindrom Nefrotik di Indonesia khususnya pada anak usia 26 tahun. Sindrom Nefrotik (SN) merupakan penyakit pada glomerulus ginjal yang ditandai dengan gejala proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Glomerulus ginjal pasien Sindrom Nefrotik mengalami kerusakan sehingga protein dapat melewati membran glomerulus dan keluar di urin. Keadaan ini disebut dengan proteinuria. Rusaknya membran glomerulus penderita Sindrom Nefrotik biasanya hebat sehingga banyak protein yang keluar ke urin. Keadaan ini disebut sebagai proteinuria masif. (Brady, O’meara, Benner, 2005;16 Alatas, Tambunan, Trihono, Pardede, 2005). Tujuan utama terapi Sindrom Nefrotik adalah mencegah kebocoran pada glomerulus. Oleh karena itu diberikan kortikosteroid (prednison) sampai terjadi remisi yaitu keadaan protein dalam urin menjadi negatif atau trace. Hilangnya protein dalam urin merupakan indikator keberhasilan pengobatan Sindrom Nefrotik. Apabila remisi tidak tercapai disebut sebagai Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (Brady HR, O’meara YM, Benner BM, 2005;16). Tujuan penulisan makalah ini adalah menambah pengetahuan tentang Sindrom Nefrotik dan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) sehingga penderita SN dapat memperoleh pengobatan yang baik dan mencegah terjadinya Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. METODOLOGI Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan deskriptif eksploratif dengan studi kasus dan penelusuran pustaka yang bersifat objektif, analitis, dan sistematis. ABSTRAK: Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) adalah Sindrom Nefrotik yang gagal mencapai remisi setelah pemberian kortikosteroid dosis penuh dan alternatif. Penetapan remisi dilakukan dengan monitoring kadar protein dalam urin. Adanya proteinuria persisten dalam tiga kali pemeriksaan selama satu minggu menunjukkan bahwa pasien gagal mencapai remisi. Seorang anak lakilaki, usia 2 tahun dengan gejala edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia sesuai untuk Sindrom Nefrotik. Pasien sudah mendapat terapi prednison dosis penuh dan alternatif. Hasil urinalisis menunjukkan pasien mengalami proteinuria persisten sehingga didiagnosis sebagai Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. Tujuan dari tulisan ini adalah menambah pengetahuan tentang Sindrom Nefrotik dan dapat mencegah terjadinya Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) dan komplikasi selanjutnya. Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan deskriptif eksploratif dengan studi kasus dan penelusuran pustaka yang bersifat objektif, analitis, dan sistematis. Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan proteinuria penting untuk mengetahui terjadinya remisi pada pasien SN juga penting untuk mengetahui keberhasilan terapi SNRS dan memprediksi progresifitas menjadi gagal ginjal terminal. Kata kunci: Sindrom Nefrotik, Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS), remisi, proteinuria. ABSTRACT: Steroid Resistant Nephrotic Syndrome (SNRS) is a Nephrotic Syndrome that fails to achieve remission after full and alternative doses of corticosteroids. Determination of remission is done by monitoring levels of protein in the urine. The presence of persistent proteinuria in three examinations for one week showed that the patient failed to achieve remission. A boy, 2 years old with symptoms of anarchic edema, massive proteinuria, hypoalbuminemia, and hyperlipidemia suitable for Nephrotic Syndrome. Patients have received fulldose and alternative prednisone therapy. The urinalysis results showed that the patient had persistent proteinuria and thus was diagnosed as a SteroidResistant Nephrotic Syndrome. The purpose of this paper is to increase knowledge about Nephrotic Syndrome and to prevent the occurrence of SteroidResistant Nephrotic Syndrome (SNRS) and subsequent complications. The method used is library research with an explorative descriptive approach with case studies and literature that are objective, analytical, and systematic. It can be concluded that proteinuria examination is important to find out the occurrence of remission in SN patients is also important to determine the success of SNRS therapy and predict progression to terminal renal failure. Keywords: Nephrotic Syndrome, Steroid Resistant Nephrotic Syndrome (SNRS), remission, proteinuria.

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 20191

ISSNISSN­L

2337­66862338­3321

SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Erida ManaluFakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Jakarta

E­mail: [email protected]

PENDAHULUANLatar belakang dari tulisan ini adalah masih

tingginya kejadian Sindrom Nefrotik di Indonesiakhususnya pada anak usia 2­6 tahun. SindromNefrotik (SN) merupakan penyakit pada glomerulusginjal yang ditandai dengan gejala proteinuria masif,hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia.Glomerulus ginjal pasien Sindrom Nefrotikmengalami kerusakan sehingga protein dapatmelewati membran glomerulus dan keluar di urin.Keadaan ini disebut dengan proteinuria. Rusaknyamembran glomerulus penderita Sindrom Nefrotikbiasanya hebat sehingga banyak protein yang keluarke urin. Keadaan ini disebut sebagai proteinuriamasif. (Brady, O’meara, Benner, 2005;16 Alatas,Tambunan, Trihono, Pardede, 2005).

Tujuan utama terapi Sindrom Nefrotik adalahmencegah kebocoran pada glomerulus. Oleh karenaitu diberikan kortikosteroid (prednison) sampai

terjadi remisi yaitu keadaan protein dalam urinmenjadi negatif atau trace. Hilangnya protein dalamurin merupakan indikator keberhasilan pengobatanSindrom Nefrotik. Apabila remisi tidak tercapaidisebut sebagai Sindrom Nefrotik Resisten Steroid(Brady HR, O’meara YM, Benner BM, 2005;16).

Tujuan penulisan makalah ini adalah menambahpengetahuan tentang Sindrom Nefrotik dan SindromNefrotik Resisten Steroid (SNRS) sehingga penderitaSN dapat memperoleh pengobatan yang baik danmencegah terjadinya Sindrom Nefrotik ResistenSteroid.

METODOLOGIMetode yang digunakan adalah studi

kepustakaan dengan pendekatan deskriptif eksploratifdengan studi kasus dan penelusuran pustaka yangbersifat objektif, analitis, dan sistematis.

ABSTRAK: Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) adalah Sindrom Nefrotik yang gagal mencapai remisi setelah pemberiankortikosteroid dosis penuh dan alternatif. Penetapan remisi dilakukan dengan monitoring kadar protein dalam urin. Adanyaproteinuria persisten dalam tiga kali pemeriksaan selama satu minggu menunjukkan bahwa pasien gagal mencapai remisi. Seoranganak laki­laki, usia 2 tahun dengan gejala edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia sesuai untukSindrom Nefrotik. Pasien sudah mendapat terapi prednison dosis penuh dan alternatif. Hasil urinalisis menunjukkan pasienmengalami proteinuria persisten sehingga didiagnosis sebagai Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. Tujuan dari tulisan ini adalahmenambah pengetahuan tentang Sindrom Nefrotik dan dapat mencegah terjadinya Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) dankomplikasi selanjutnya. Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan deskriptif eksploratif dengan studikasus dan penelusuran pustaka yang bersifat objektif, analitis, dan sistematis. Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan proteinuriapenting untuk mengetahui terjadinya remisi pada pasien SN juga penting untuk mengetahui keberhasilan terapi SNRS danmemprediksi progresifitas menjadi gagal ginjal terminal.

Kata kunci: Sindrom Nefrotik, Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS), remisi, proteinuria.

ABSTRACT: Steroid Resistant Nephrotic Syndrome (SNRS) is a Nephrotic Syndrome that fails to achieve remission after full andalternative doses of corticosteroids. Determination of remission is done by monitoring levels of protein in the urine. The presence ofpersistent proteinuria in three examinations for one week showed that the patient failed to achieve remission. A boy, 2 years old withsymptoms of anarchic edema, massive proteinuria, hypoalbuminemia, and hyperlipidemia suitable for Nephrotic Syndrome. Patientshave received full­dose and alternative prednisone therapy. The urinalysis results showed that the patient had persistent proteinuriaand thus was diagnosed as a Steroid­Resistant Nephrotic Syndrome. The purpose of this paper is to increase knowledge aboutNephrotic Syndrome and to prevent the occurrence of Steroid­Resistant Nephrotic Syndrome (SNRS) and subsequent complications.The method used is library research with an explorative descriptive approach with case studies and literature that are objective,analytical, and systematic. It can be concluded that proteinuria examination is important to find out the occurrence of remission inSN patients is also important to determine the success of SNRS therapy and predict progression to terminal renal failure.

Keywords: Nephrotic Syndrome, Steroid Resistant Nephrotic Syndrome (SNRS), remission, proteinuria.

Page 2: SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Erida Manalu,1­8

Sindrom NefrotikResisten Steroid

Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 20192

PEMBAHASAN

KasusPasien seorang anak laki­laki usia 2 tahun datang

ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit CiptoMangunkusumo (RSCM) Jakarta dengan keluhanbengkak di seluruh tubuh. Keluhan ini sudah dialamiselama tiga hari. Awalnya bengkak dirasakan hanyapada kelopak mata terutama saat bangun pagi, lalu keseluruh wajah, dan seluruh tubuh. Pasien juga terlihatsesak dan gelisah. Satu hari sebelum masuk rumahsakit pasien demam tinggi, naik turun, dan batukpilek. Buang air kecil jarang. Menurut ibunya, pasiensedang dalam terapi Siklofosfamid (rencana puls ke­2) dan prednison dosis alternatif (dosis 3x5 mg,diminum Senin, Rabu, Jumat) karena menderitaSindrom Nefrotik Resisten Steroid. Saat dibawa kerumah sakit ternyata pasien sudah tiga hari tidakmakan prednison karena obat habis dan belumkontrol ke rumah sakit.

Pasien didiagnosis Sindrom Nefrotik (SN) sejakusia 1 tahun oleh suatu rumah sakit. Pasien jarangkontrol sehingga tidak mendapat obat dengan teratur.Tiga bulan sebelumnya, pasien dirawat karena perutbengkak. Lalu pasien diberikan Prednison, albumin,Kaptopril, dan Lasix. Hasil USG ginjal saat itunormal. Oleh rumah sakit tersebut, pasien dirujuk kebagian Nefrologi anak RSCM dan didiagnosissebagai Sindrom Nefrotik. Pasien kemudiandiberikan terapi Prednison dosis penuh selama 1bulan dilanjutkan dengan prednison dosis alternatifselama 1 bulan. Berdasarkan hasil urinalisis sebagaipemantauan terapi, pemeriksaan protein urin pasienmenggunakan metode carik­celup tidak pernahnegatif atau trace (protein dalam urin selalu ≥+2).Hasil tersebut menyebabkan pasien didiagnosissebagai Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)dan diberikan Siklofosfamid (CPA) puls pertama danprednison dosis alternatif.

Pasien merupakan anak terakhir dari 4bersaudara, lahir spontan, cukup bulan, berat lahir3200 gram, ditolong bidan, imunisasi tidak lengkap,riwayat nutrisi kurang, namun tumbuh kembangmasih sesuai usia. Di keluarga tidak ada yangmenderita sakit seperti pasien.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkankeadaan umum tampak sakit berat, kesadaran komposmentis, frekuensi nadi 130 kali/menit, frekuensi

napas 28 kali/menit, suhu aksila 39° C, tekanan darah110/70 mmHg, berat badan 11 kg, tinggi badan 73 cmnamun keadaan gizi sulit dinilai karena ada bengkak.Tampak edema palpebra dan wajah, abdomen tampakbuncit, lemas, dengan shifting dullness positif.Tekanan vena jugularis tidak meningkat. Padaekstremitas didapatkan pitting edema. Tidak adaedema skrotum. Hasil pemeriksaan laboratoriumdidapatkan proteinuria masif (protein urin +3),hipoalbuminemia (albumin serum 1,12 mg/dl), danhiperkolesterolemia (kolesterol total 494 mg/dl),dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Laboratorium

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, danpemeriksaan laboratorium pasien didiagnosis sebagaiSindrom Nefrotik dan hipertensi grade II. Terapi yang

Page 3: SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Erida Manalu,1­8

Sindrom NefrotikResisten Steroid

Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 20193

diberikan adalah Prednison 1x15 mg dosis alternatif(3x seminggu yaitu Senin, Rabu, Jumat), Furosemid2x10 mg iv, Lisinopril 1x1 mg per oral, Losartan1x10 mg per oral, infus albumin 25% 44 ml dalam 4jam, parasetamol sirup 3x125 mg, dan Cefotaksim3x250 mg iv. Pasien direncanakan untuk diberikanSikofosfamid (CPA) puls kedua. Pada perawatan harikedua, pasien sudah tidak demam lagi namun buangair kecil masih jarang. Suhu sudah kembali normal(36.50 C) dan tekanan darah 90/60 mmHg, namunedema masih seluruh tubuh (anasarka). Pasienkemudian diberikan Siklofosfamid puls kedua danmelanjutkan terapi perawatan hari pertama. Padaperawatan hari ketiga, pasien masih edema anasarkasehingga pasien diberikan infus albumin 25%sebanyak 50 ml selama 4 jam dan diakhiri denganpemberian Lasix 10 mg secara intravena.

DefinisiSindrom Nefrotik (SN) adalah penyakit

glomerulus berupa kumpulan gejala yang terdiri dariproteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, danhiperlipidemia. Proteinuria masif adalah keadaanditemukannya protein dalam jumlah besar di urin.Dikatakan proteinuria masif pada orang dewasa jikakadar protein dalam urin lebih dari 3 g/24 jam.Kriteria proteinuria pada anak adalah >1 g/24 jam,atau ≥40 mg/m2LPB/jam, atau rasio protein/kreatininurin sewaktu lebih dari 2 mg/mg, atau hasilpemeriksaan protein urin dengan carik­celup ≥+2.Hipoalbuminemia adalah kadar albumin dalam serumkurang dari 2,5 g/dl. Hiperkolesterolemia adalahkadar kolesterol total dalam serum lebih dari 200mg/dl (Brady, O’meara, Benner, 2005; Alatas,Tambunan, Trihono, Pardede, 2005, Kliegman, 2007,Rachmadi, 2013).

Sindrom Nefrotik lebih sering terjadi pada anakusia 2­6 tahun dibandingkan dewasa. Insiden SNpada anak di Amerika dan Inggris adalah 2­4 kasusper 100.000 anak per tahun sedangkan di Indonesiamasih tinggi yaitu 6 kasus per 100.000 anak pertahun. Kejadian pada anak laki­laki lebih seringdibandingkan dengan anak perempuan denganperbandingan 2:1. Pada orang dewasa, jumlahkejadian laki­laki sama dengan wanita (Brady,O’meara, Benner, 2005; Alatas, Tambunan, Trihono,Pardede, 2005, Kliegman, 2007, Rachmadi, 2013).

Ada beberapa klasifikasi Sindrom Nefrotik saatini. Berdasarkan etiologinya, SN dibagi tiga yaitukongenital, idiopatik/primer, dan sekunder. Hampir90% kasus SN pada anak adalah idiopatik.Berdasarkan gambaran histopatologi, ada beberapabentuk Sindrom Nefrotik. Bentuk tersering adalahlesi minimal (85%), glomerulosklerosis fokalsegmental (10%), mesangial proliferatif difus (3%),dan glomerulonefritis membranoproliferatif (2%).Keempat bentuk ini merupakan bagian dari SNidiopatik. Berdasarkan respon terhadap terapikortikosteroid dibagi menjadi Sindrom NefrotikSensitif Steroid (SNSS) dan Sindrom NefrotikResisten Steroid (SNRS). Klasifikasi SN berdasarkanrespon terhadap terapi kortikosteroid yang seringditemukan di klinik saat ini. Sindrom Nefrotikdengan gambaran histopatologi lesi minimalumumnya (80%) berespon baik terhadap pemberiansteroid sedangkan gambaran glomerulosklerosis fokalsegmental, mesangial proliferatif difus, danglomerulonefritis membranoproliferatif umumnyaresisten terhadap pemberian steroid (Alatas,Tambunan, Trihono, Pardede, 2005, Kliegman, 2007,Rachmadi, 2013).

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)didefinisikan sebagai Sindrom Nefrotik yang tidakmengalami remisi setelah pemberian kortikosteroid(prednison). Remisi merupakan suatu keadaan kadarprotein di urin menjadi negatif atau trace. Lamanyapemberian steroid hingga pasien dinyatakan resistensteroid cukup beragam. International Study ofKidney Disease in Children (ISKDC) menetapkanresisten steroid jika pasien tidak mengalami remisisetelah pemberian steroid dosis penuh yaitu 60mg/m2atau 2 mg/kg/hari, setiap hari selama empatminggu yang dilanjutkan dengan steroid dosisalternatif yaitu 40 mg/m2 atau 1,5 mg/kg/hari, tigakali seminggu selama empat minggu. Ketentuan inijuga dipakai di bagian anak Rumah Sakit CiptoMangunkusumo Jakarta dalam menetapkan diagnosisSNRS (Alatas, Tambunan, Trihono, Pardede, 2005).Tercapainya remisi merupakan target pengobatanpasien SN dan menjadi indikator penting dalammenentukan prognosis Sindrom Nefrotik. Lima puluhpersen penderita SNRS akan berkembang menjadigagal ginjal terminal dalam satu sampai empat tahunkedepan, sehingga harus dicegah (Rachmadi, 2013).

Page 4: SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Erida Manalu,1­8

Sindrom NefrotikResisten Steroid

Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 20194

PatofisiologiProteinuria dianggap sebagai kelainan primer

pada Sindrom Nefrotik. Mekanisme terjadinyaproteinuria diduga akibat proses imunologi. Secarahistologi, glomerulus terdiri dari tiga lapisan daridalam ke luar yaitu endotel, membran basalglomerulus, dan lapisan epitel yang disebut podosit.Lapisan podosit dan lapisan membran basalglomerulus dihubungkan dengan tonjolan­tonjolanprosesus (foot processus) yang merupakan bagiandari lapisan podosit. Kerusakan pada salah satulapisan ini dapat manimbulkan proteinuria, namunkerusakan pada podositlah yang paling seringmenyebabkan proteinuria masif. Rusaknya lapisanpodosit pada SN disebabkan oleh deposit kompleksimun di podosit sehingga disebut podositopati.Podositopati akibat proses imunologi ini dimediasioleh mediator imun seperti sel T, zat vasoaktif,aktifitas komplemen (C5b­9), Interleukin (IL)­13,dan cardiotropin­like cytokine­1 (CLC­1). Seluruhmediator imun ini menyebabkan peningkatanpermeabilitas glomerulus dan kerusakan podosit olehaktifitas Complement Membrane Attact (C5b­9).Selain itu, sitokin yang dihasilkan pada proses imunini menimbulkan katabolisme proteoglikan heparansulfat pada dinding kapiler glomerulus. Akibatnya,dinding kapiler glomerulus yang tadinya bermuatannegatif menjadi bermuatan positif sehingga proteinyang bermuatan negatif dapat melewati dindingglomerulus dan keluar di urin (proteinuria terjadisecara charge selectivity) (Brady, O’meara, Benner,2005, Rachmadi, 2013, Floege, Feehally).

Teori terbaru penyebab kerusakan podosit padaSindrom Nefrotik Resisten Steroid diduga akibatmutasi genetik spesifik pada gen yang menyandiprotein pembentuk lapisan diafragma glomerulus.Gen spesifik pada podosit yang telah ditemukanadalah NPHS1, ACTN4, NPHS2, CD2AP, WT1,TRPC6, LAMB2, dan NPHS3 akan menyandi proteinpembentuk lapisan diafragma glomerulus berturut­turut yaitu nefrin, á­aktinin­4, podosin, CD2­associated protein, Wilms' tumor, transient receptorpotential 6, laminin â2 chain, dan phospholipasePLCE1. Apabila terjadi mutasi pada gen tersebutakan menyebabkan pendataran foot processus padapodosit, perubahan arsitektur celah diafragmaglomerulus, dan akhirnya terjadi kebocoranglomerulus (Rachmadi, 2013, Floege, Feehally).

Hipoalbuminemia pada SN disebabkan olehhilangnya albumin melalui urin. Hati akanmengkompensasi hilangnya protein denganmeningkatkan sintesis albumin dan protein lain. PadaSN, kecepatan hilangnya albumin melalui urin tidaksebanding dengan kecepatan sintesisnya sehinggahipoalbuminemia tetap terjadi. Selain itu, kompensasisintesis protein pada SN bersifat non diskriminatif.Artinya hati akan menyintesis semua protein. Proteindengan berat molekul besar akan meningkat kadarnyadalam plasma, sedangkan protein dengan beratmolekul kecil tetap akan hilang lewat urin (Floege,Feehally).

Ada dua teori yang dapat menerangkanterjadinya edema pada Sindrom Nefrotik yaitu teoriunderfill dan overfill. Pada teori underfill, penyebabutama edema adalah hipoalbuminemia.Hipoalbuminemia menyebabkan tekanan onkotikplasma menurun sehingga permeabilitas pembuluhdarah meningkat. Cairan dari ruang intravaskularakan bergeser ke jaringan interstisial sehingga terjadiedema di jaringan dan hipovolemia intravaskular.Hipovolemia intravaskular selanjutnya menyebabkanperfusi ke ginjal menurun. Ginjal akanmengkompensasi keadaan ini dengan mengaktifkansistem renin­angiotensin­aldosteron (RAA). SistemRAA bekerja untuk meretensi natrium dan air dengancara meningkatkan reabsorbsi natrium dan air.Retensi natrium dan air menyebabkan dilusi(pengenceran) protein plasma yang justru akanmemperburuk keadaan hypoalbuminemia,menurunkan tekanan onkotik plasma danmemperberat edema (Brady, O’meara, Benner, 2005,Floege J, Feehally).

Pada teori overfill, penyebab utama edemaadalah defek pada ginjal yang menyebabkan retensinatrium dan air. Retensi tersebut akan meningkatkantekanan hidrostatik kapiler dan transudasi cairanintravaskuler ke rongga interstisial sehingga terjadiedema (Brady, O’meara, Benner, 2005, Floege J,Feehally).

Sindrom Nefrotik atau Sindrom NefrotikResisten Steroid dapat menimbulkan komplikasiberupa gangguan keseimbangan nitrogen. Hal inidisebabkan oleh meningkatnya katabolisme proteinuntuk mengkompensasi hilangnya protein melaluiurin, sehingga massa otot akan berkurang (Floege J,Feehally).

Page 5: SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Erida Manalu,1­8

Sindrom NefrotikResisten Steroid

Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 20195

Pada SN sintesis protein meningkat termasukprotein untuk aktivitas koagulasi seperti fibrinogen,faktor V, VII, faktor Von Willebrand, protein C, danAlpa­1 makroglobulin. Akibatnya aktivitas koagulasiakan meningkat dan memicu tromboemboli. Proteinberukuran kecil seperti protrombin, faktor IX, X, XI,XII, dan AT III akan keluar bersama urin. Ancamanterjadinya tromboemboli harus dipikirkan bila kadaralbumin serum kurang dari 2 g/dl. Tromboembolidiperberat oleh keadaan hipovolemia, infeksi,penggunaan diuretik, dan imobilasasi pasien(Rachmadi, 2013, Floege, Feehally).

Hiperlipidemia adalah keadaan yang menyertaiSindrom Nefrotik dengan proteinuria masif. Kadarkolesterol umumnya meningkat sedangkantrigliserida bisa normal atau tinggi. Ada beberapamekanisme yang menyebabkan gangguan lipid padaSN yaitu (1) meningkatnya sintesis low densitylipoprotein (LDL), verylow density lipoprotein(VLDL), dan lipoprotein a (Lp a); (2) keadaanhypoalbuminemia; (3) gangguan konversi VLDL danintermediate density lipoprotein (IDL); (4) defekpada aktivitas enzim lipoprotein lipase yangmenyebabkan VLDL meningkat; (5) menurunnyaenzim lecithin cholesterol acyltransferase (LCAT)yang berperan sebagai katalisator pembentukan HDL;dan (6) hilangnya high density lipoprotein (HDL)bersama urin sehingga kadar HDL serum rendah(Brady, O’meara, Benner, 2005, Floege, Feehally).

Lipiduria merupakan manifestasi yang timbulakibat akumulasi lemak pada sel epitel ginjal dansilinder sehingga tampak sebagai oval fat bodies dansilinder lipid pada pemeriksaan sedimen urin. Untukmembuktikan adanya oval fat bodies di urin dapatdilakukan dengan pewarnaan Sudan III seperti padaGambar 1 (Floege, Feehally).

Gambar 1. Oval fat bodies

Infeksi seperti selulitis dan peritonitis merupakankomplikasi yang juga sering terjadi pada pasien SN.Hal ini disebabkan oleh hilangnya immunoglobulindan komplemen melalui glomerulus. Selain itu terjadiakumulasi cairan ekstravaskular yang menyebabkanperegangan dan kerapuhan kulit yang kemudianmenjadi port d’entrée kuman. Bila ditemukan tandainfeksi, pasien dapat langsung diberikan antibiotikprofilaksis yaitu panisilin parenteral dikombinasikandengan sefalosporin generasi ketiga sepertiCefotaxim dan Ceftriaxon (Floege, Feehally).

Pada Sindrom Nefrotik, vitamin D yang terikatpada protein juga ikut hilang bersama urin. Hal inimenyebabkan kadar 25(OH) vitamin D serummenjadi rendah sedangkan kadar vitamin D bebastetap normal. Tiroid binding globulin ikut terbuangmelalui urin, kadar tiroksin serum rendah tetapitiroksin bebas dan Tiroid Stimulatin Hormone normalsehingga tidak sampai menyebabkan gangguan.Beberapa zat seperti tembaga, zink, besi, dantransferin juga ikut terbuang bersama urin (Floege,Feehally).

Diagnosis dan Tata LaksanaDiagnosis Sindrom Nefrotik ditegakkan apabila

terdapat gejala edema, proteinuria masif,hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan kadang disertalipiduria. Diagnosis Sindrom Nefrotik ResistenSteroid ditegakkan bila pasien tidak mengalamiremisi pasca terapi steroid dosis penuh dan dosisalternatif. Remisi dapat ditetapkan denganpemeriksaan urinalisis atau pemeriksaan proteinkuantitatif di urin dengan kriteria: (1) pemeriksaanprotein urin metode carik celup hasil negatif atautrace selama tiga kali pemeriksaan dalam satuminggu, atau (2) rasio protein/kreatinin urin ≤0.2mg/mg, atau (3) kadar protein urin kuantitatif kurangdari 4 mg/m2LPB/jam (Alatas, Tambunan, Trihono,Pardede, 2005, Projosudjadi, 2006;558­6 Singh,Tejani Tejani. 1999;26­32).

Biopsi ginjal penting untuk mengetahuigambaran histopatologi glomerulus. Biopsi ginjalbiasanya disarankan sebelum memulai terapi.Gambaran patologi anatomi dapat memprediksirespon pasien terhadap steroid. Jika pasien diprediksimengalami resisten steroid, biopsi ginjal harusdilakukan. Kebanyakan SNRS (80­85%) akanmemberikan gambaran histopatologi glomerulo­

Page 6: SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Erida Manalu,1­8

Sindrom NefrotikResisten Steroid

Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 20196

sklerosis fokal segmental, sedangkan lesi minimaljarang sekali menjadi resisten terhadap steroid(Alatas, Tambunan, Trihono, Pardede).

Terapi spesifik terhadap SNRS dilakukan denganpemberian golongan sitostatik. Tujuannya untukmengurangi permeabilitas membran glomerular danmeningkatkan kemampuan selektifitas membranterhadap albumin sehingga dapat mencegahterjadinya proteinuria. Sitostatik pilihan terhadapSNRS adalah Siklofosfamid (CPA) yang diberikansecara oral atau puls. Siklofosfamid oral diberikandengan dosis tunggal 2­3 mg/kgBB/hari selama 3­6bulan ditambah dengan terapi prednison 40mg/m2LPB/hari dosis alternatif mengikuti lamanyasiklofosfamid. Selanjutnya dilakukan tapering offprednison selama 2 bulan yaitu dosis 1 mg/kgBB/hariselama 1 bulan dilanjutkan dengan dosis 0.5mg/kgBB/hari selama 1 bulan. Siklofosfamid pulsdiberikan dengan dosis 500­750 mg/m2 LPB melaluiinfus sekali sebulan selama 6 bulan, ditambah denganprednison 40 mg/m2LPB/hari sebagai dosisalternating dan tappering off setelah 6 bulan.Tappering off prednison dilakukan selama dua bulanyaitu dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan,dilanjutkan dengan dosis 0.5 mg/kgBB/hari selama 1bulan. Siklofosfamid puls dilaporkan memberi hasilyang lebih baik dibandingkan dengan oral. PemberianSiklofosfamid bersama dengan prednison dilaporkanmemberikan remisi sebesar 60%. Terapi sitostatiklain adalah Siklosporin (CyA) yang dapatmemberikan remisi total sebesar 20%. Metilprednisolon puls dan obat imunosupresif lain sepertivinkristin, takrolimus, dan mikrofenolat mofetil jugadapat diberikan. Terapi non spesifik pada SNRSbertujuan untuk mengontrol hipertensi dan edemaserta mengatasi komplikasi (Alatas, Tambunan,Trihono, Pardede, 2005, Rachmadi, 2013,Projosudjadi, 2006;558­6, Singh, Tejani, Tejani,1999;26­32).

Evaluasi Laboratorium pada Sindrom NefrotikEvaluasi laboratorium pada pasien SN dilakukan

dengan menilai protein dalam urin. Ada tiga metodeuntuk menilai proteiunuria yaitu metodesemikuantitatif dengan carik­celup dan metodekuantitatif dengan urin 24 jam atau urin sewaktu.Pemeriksaan protein urin dengan metode carik­celupsangat sensitif terhadap albumin. Hasil carik­celup≥+2 harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan

proteinuria kuantitatif. Pemeriksaan proteinuriakuantitatif dengan urin 24 jam adalah baku emasuntuk menentukan kadar protein (albumin) di urin.Kesulitan metode ini adalah dalam mengumpulkanurin 24 jam terutama pada pasien anak. Alternatifpemeriksaan protein kuantitatif yang dianjurkanadalah menghitung ratio protein atau albumin perkreatinin urin dengan menggunakan urin sewaktu.Selain mudah, metode ini tidak dipengaruhi olehintake cairan atau diuresis pasien. Hasil penelitianmendapatkan terdapat korelasi kuat antara hasil rasioprotein/kreatinin menggunakan urin sewaktu denganhasil protein kuantitatif menggunakan urin 24 jam(Floege, Feehally).

DiskusiDasar diagnosis Sindrom Nefrotik (SN) pada

pasien ini adalah adanya gejala edema anasarka,proteinuria masif, hipoalbuminemia, danhiperlipidemia yang sudah dialami sejak usia satutahun. Edema anasarka ditandai dengan anamnesisbengkak pada seluruh tubuh dan pemeriksaan jasmaniditemukan edema palpebra dan wajah, adanyashifting dulness, dan pitting edema. Proteinuria masifditunjukkan dengan hasil urinalisis berupa proteinuria≥+2. Proteinuria masif menyebabkan pasienmengalami hipoalbuminemia (kadar albumin serum1,12 mg/dl). Hiperlipidemia ditandai dengan kadarkolesterol yang meningkat yaitu 494 mg/dl.

Tekanan darah pasien adalah 110/70 mmHg.Untuk usia 2 tahun masuk dalam Hipertensi Grade 2.Pasien Sindrom Nefrotik dapat ditemukan hipertensi.Oleh karena itu pasien diberikan terapi hipertensiyaitu Lisinopril dan Losartan oral.

Pasien SN mengalami kerusakan pada membranglomerulus sehingga albumin keluar bersama urinditandai dengan hasil urinalisis yaitu protein +3.Selain albumin, eritrosit juga ikut keluar di urinsehingga terjadi hematuria (urinalisis ditemukandarah +3 dan sedimen eritrosit yang banyak).

Hipoalbuminemia pada pasien selanjutnyamemicu hati untuk mengkompensasi hilangnyaalbumin dengan cara meningkatkan sintesis albumindan protein jenis lain. Walaupun sintesis proteinmeningkat namun kecepatan hilangnya protein ataualbumin melalui urin tidak sebanding dengankecepatan sintesisnya sehingga hipoalbuminemiatetap terjadi (kadar albumin serum 1,12 mg/dl).

Page 7: SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Erida Manalu,1­8

Sindrom NefrotikResisten Steroid

Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 20197

Dampak lain dari kerusakan membranglomerulus adalah hilangnya berbagai zat dalamdarah ke dalam urin. Transferin merupakan proteinpengangkut besi yang penting untuk sintesishemoglobin turut hilang melalui urin. Hal ini dapatmemicu terjadinya anemia selain hematuria yangterjadi pada pasien ini sehingga kadar hemoglobin8,44 g/dl. Pada keadaan anemia, perlu evaluasilaboratorium untuk menentukan jenis dan terapianemia. Jenis anemia dapat ditentukan denganpemeriksaan gambaran darah tepi.

Immunoglobulin dan komplemen merupakanprotein yang juga sering hilang melalui urin sehinggamenimbulkan komplikasi berupa infeksi. Pada pasienditemukan tanda infeksi berupa demam tinggi (suhu390 C) dan batuk pilek dengan hasil laboratoriumneutrofilia dan trombositosis reaktif. Anjuranpemeriksaan laboratorium selanjutnya adalahmemeriksa kadar C­Reaktive Protein (CRP) sertakultur darah dan resistensi. Pasien Sindrom Nefrotikdengan kecurigaan infeksi, dapat langsung diberikanantibiotik profilaksis tanpa menunggu hasil kutur.Pasien ini diberikan antibiotik golongan sefalosporingenerasi ketiga yaitu Cefotaksim 3x250 mg secaraintravena.

Pada urinalisis ditemukan silinderuria (silindergranula kasar 0­2/LPK) yang merupakan tandakerusakan tubulus ginjal. Selain silinder granulakasar, pada urin pasien Sindrom Nefrotik dapatditemukan lipiduria yaitu oval fat bodies atau silinderlemak. Untuk dapat membuktikan adanya oval fatbodies di urin dianjurkan untuk melakukanpewarnaan Sudan III.

Kadar ureum pada pasien ini meningkat namunkreatinin serum rendah. Kadar kreatinin yang rendahkemungkinan akibat meningkatnya katabolismeprotein yang berasal dari otot sebagai kompensasidari proteinuria masif. Keadaan ini dikenal denganbalans nitrogen negatif. Peningkatan kadar ureumpada pasien ini kemungkinan akibat meningkatnyapembentukan ureum di hati atau akibat intakemakanan. Walaupun kadar kreatinin serum pasien initidak tinggi, namun volume urin sedikit sehinggatetap diperlukan pemeriksaan Laju Filtrasi Ginjal(LFG) untuk melihat progresifitas penyakit inimenjadi gagal ginjal terminal.

Pada pemeriksaan elektrolit serum terlihat kadarnatrium serum rendah. Hal ini kemungkinan

berkaitan dengan dilusi akibat hipoalbuminemia.Penyebab lain adalah akibat penggunaan diuretikseperti furosemid yang dikonsumsi pasien ini. Pasiendidiagnosis Sindrom Nefrotik sejak usia 1 tahun.Pasien sudah mendapat terapi prednison denganpemberian secara tidak teratur. Berdasarkananamnesis, pasien sudah mendapat terapi prednisondosis penuh dan alternatif. Namun dalam beberapakali pemeriksaan urinalisis didapatkan protein urin≥+2. Hal ini menjadi dasar pasien dinyatakanmengalami Sindrom Nefrotik Resisten Steroid(SNRS).

Pengobatan SN Resisten Steroid pada pasien iniberupa Siklofosfamid (CPA) puls dan prednison dosisalternatif dosis 1x15 mg yang diberikan 3x semingguyaitu Senin, Rabu, Jumat. Evaluasi proteinuria setelahpemberian Siklofosfamid (CPA) puls pertamamenunjukkan masih terjadi kebocoran melaluimembran glomerulus yang ditandai dengan proteinurin +3 dan hematuria. Oleh karena itu pasiendirencanakan untuk diberikan Siklofosfamid (CPA)puls kedua. Pasien juga diberikan infus albumin danlasix untuk membantu mengatasi keadaanhipoalbuminemia dan edema anasarka.

Evaluasi proteinuria pada pasien ini sudah tepatdilakukan dengan metode carik celup. Namunsebaiknya hasil proteinuria ≥+2 dikonfirmasi denganpemeriksaan protein secara kuantitatif. Pasien SNRSdapat berakhir dengan gagal ginjal terminal apabilaterdapat proteinuria persisten dan hipertensi tidakterkontrol. Perlu pemantauan tekanan darah, hasilproteinuria, dan laju filtrasi glomerulus (LFG) yangketat. Pasien ini perlu melakukan biopsi ginjal untukmencari diagnosis pasti Sindrom Nefrotik ResistenSteroid. Hasil biopsi SNRS dapat membantu klinisidan orangtua dalam memantau pengobatan SNRSselanjutnya dan mencegah komplikasi.

PENUTUP

KesimpulanPasien anak laki­laki, 2 tahun dengan diagnosis

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. Diagnosisresisten steroid ditetapkan atas dasar tidaktercapainya remisi setelah terapi kortikosteroid(prednison) dosis penuh dan alternatif. Penetapanremisi pada pasien berdasarkan adanya proteinuriapersisten pada beberapa kali pemeriksaan urinalisis.

Page 8: SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Erida Manalu,1­8

Sindrom NefrotikResisten Steroid

Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 20198

Pemeriksaan protein urin dengan metode carik­celupsudah tepat, namun tetap perlu dikonfirmasi denganpemeriksaan protein urin kuantitatif. Masalah yangterjadi pada pasien ini adalah adanya proteinuria yangpersisten dan hipertensi sehingga perlu terapi yangbaik dan kontrol teratur untuk mencegah komplikasi.

Saran­SaranTujuan pengobatan pasien SN adalah mencapai

remisi dan mencegah komplikasi. Oleh karena ituperlu kerjasama klinisi dan keluarga pasien. Sangatpenting edukasi yang baik dan benar untuk pasien SNdan keluarganya sehingga kesadaran pasien untukberobat tetap tinggi. Terapi terbaik untuk SNRS saatini adalah sitostatik Siklofosfamis puls. Perlu peranserta pemerintah dalam menjamin ketersediaan obatini sehingga pasien bisa mendapatkan terapi denganmudah dan terjangkau.

DAFTAR PUSTAKAAlatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede SO. Dalam:

Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik padaAnak; Jakarta; Indonesia; 2005.

Brady HR, O’meara YM, Benner BM. Glomerular disease. In:Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Brauwald, Hauser SL,Jameson JL. Harrison’s principles of internal medicine. 16th

ed. New York: McGraw Hill Company; 2005Floege J, Feehally J. Introduction to glomerular disease: clinical

presentation. In : comprehensive clinical nephrology. 2007

Gordillo R, Spitzer A. In: The Nephrotic Syndrome. Pediatric inriview. American Acadey of Pediatrics. 2009

Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Glome­rulonephritis Work Group. KDIGO. Clinical PracticeGuideline for Glomerulonephritis. Kidney Inter Suppl 2012

Kliegman. Nephrotic Syndrome. In: Behrman K eds. NelsonTextbook of Pediatrics, 18th ed. Philadelphia: WB. Sounderscompany; 2007

Mundt LA, Shanahan K. Chemical analysis of urine. Graff’stextbook of urinalysis & body fluids. 2nd ed. Philadelphia:Lipincott Williams & Wilkins; 2011

Projosudjadi W. Sindrom nefrotik. Dalam: Sudoyo AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, setati S. Buku ajarilmu penyakit dalam. Edisi ke­4. Jakarta: Pusat penerbitandepartemen ilmu penyakit dalam FKUI; 2006

Rachmadi R. Diagnosis dan Tata Laksana Sindrom NefrotikResisten Steroid (Simposium Tata Laksana Terkini penyakitginjal pada anak). Bandung: Departemen Ilmu KesehatanAnak Fakultas Kedokteran Uviversitas Padjajaran, Juni2013. Didapat dari http://www.ugm.ac.id/index.php.page=rilis&artikel=1141.

Schwartz GJ, Haycock GB, Edelmann CM Jr, Spitzer A. A simpleestimate of glomerular filtration rate in children derivedfrom body length and plasma creatinine. Pediatrics1976;58:259­63. PMID: 951142.

Singh A, Tejani C, Tejani A. One­center experience with cyclos­porine in refractory nephrotic syndrome in children. PediatrNephrol 1999;13:26­32. PMID: 10100285.

Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Chemical examination of urine.Urinalysis & body fluids. 5th ed. Philadelphia: F. A. DavisCompany; 2008