indonesian pharmacy student journal

77
ISSN: 2302-7851 Volume 2 No. 1 Juni - Desember 2013 BERKALA ILMIAH MAHASISWA FARMASI INDONESIA BIMFI BIMFI INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

ISSN: 2302-7851

Volume 2 No. 1

Juni - Desember 2013

BERKALAILMIAH

MAHASISWAFARMASI

INDONESIABIMFI

BIMFI

INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

Page 2: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

Volume 2 No. 1Juni - Desember 2013

BERKALAILMIAH

MAHASISWAFARMASI

INDONESIA BIMFIINDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

ISSN: 2302-7851

Page 3: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

ii

BOARD OF TRUSTEE

Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia

Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS, Apt Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia

BOARD OF DIRECTOR

Rahmi Khamsita, S.Farm., Apt

PENANGGUNG JAWAB

ISMAFARSI

PIMPINAN UMUM

M. Khairuman Universitas Padjadjaran

WAKIL PIMPINAN UMUM

Restri Akhsanitami Universitas Padjadjaran

SEKRETARIS

Anggita Sekarsari Universitas Padjadjaran

Fitri Arum Sari Universitas Indonesia

BENDAHARA

Adiba Hasna Ramadhani Universitas Padjadjaran

Sulistiyaningsih Universitas Indonesia

PIMPINAN REDAKSI

Nita Kristiani Universitas Gadjah Mada

DEWAN REDAKSI

Agus Al Imam B. Universitas Indonesia

Sujatmoko Universitas Padjadjaran

Oktavia Rahayu A. Universitas Brawijaya

Dina Aruni S. Universitas Jenderal Soedirman

Yonika Arum Larasati Universitas Gadjah Mada

Dewi Purwaningsih Universitas Hasanuddin

Nur Idiani Islami Universitas Andalas

PUBLIKASI

Retno Rela Mahanani S. Universitas Indonesia

Ade Putri Yulianti Universitas Tanjungpura

Jihan Shasika Rani Universitas Andalas

Nia Anzini Universitas Tanjungpura

Aris Setiyo Universitas Airlangga

Prima Ramadhani Universitas Andalas

Muliawati Universitas Hasanuddin

HUMAS DAN PROMOSI

Rhesa Ramadhan UIN Syarif Hidayatullah

Citra Utami Universitas Hasanuddin

Fitri Wulandari Universitas Indonesia

Hartika Guspayane Universitas Indonesia

Adlina Arsi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

TATA LETAK DAN LAYOUT

Mutiara Annisa M. Institut Teknologi Bandung

Septian Anggadibya Universitas Padjadjaran

Hesti Lestari Universitas Padjadjaran

Khalidazia Universitas Andalas

Diah Lestari Universitas Indonesia

SUSUNAN PENGURUS

Page 4: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

iii

Susunan Pengurus............................................................................................................................. ...... ii

Daftar Isi...................................................................................................................................................... iii

Petunjuk Penulisan............................................................................................................................. ... iv

Setitik Ilmu................................................................................................................................................. ix

Sambutan Pimpinan Umum............................................................................................................... x

PENELITIAN

Uji Efektivitas Crustashellac Nanopartikel Sebagai Bio-Termitisida Pembasmi Rayap

Alami yang Aman Murah dan Ramah Lingkungan

Ronny Martien, Halida Rahmania, Yogi S. Laksono, Uli Rianiari, Wistiani T. Wardani

........................................................................................................................................................................... ....................................................... 1

Kajian Aktivitas Infusa Daun Mimba (Azadirachta indicajuss.) sebagai Obat Herbal Pereda

Osteoarthritis

R Arindra Hanuraga, Nadya Agustina, Agung Utan NS, Nurul Hidayati

.................................................................................................................................................................................................................................. 6

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol 70% Daun Gambir (Uncaria gambir (huntes) roxb.)

Terhadap Aktivitas Listrik Jantung pada Tikus Hipertensi

Tika Nurhasanah dan Santi Purna Sari

.................................................................................................................................................................................................................................. 13

Modifikasi Struktur dan Penambatan Molekular Obat Antimikroba Golongan Inhibitor

Dihydrofolate Reductase (DHFR)

Agus Al Imam Bahaudin, Dessy Dian Septysari, dan Nazulanita Rahma

.................................................................................................................................................................................................................................. 21

Uji Aktivitas Sediaan Tonik Penumbuh Rambut Ekstrak Metanol dari Bonggol Pisang

Kepok (Musa Balbisiana) pada Tikus Putih Jantan

Nazulanita Rahma, Noorviana Farmawati, Agung Ismal Saleh

.................................................................................................................................................................................................................................. 33

ADVERTORIAL

IAN LC: Inhalation Aerosol Nebulizer For Lung Cancer, A New Treatment Alternative For

Lung Cancer Bases On Nanoparticles Of Soursop Leaf Isolates

Andika Dewi Ramadhani, Kun Rasyida, Siti Zulaikha, Dian Ayu Eka Pitaloka, Farichatul Izzah, Endah

Puspitasari

.................................................................................................................................................................................................................................. 38 SMEDDS EKJP: Self-Micro Emulsifying Drug Delivery System Ekstrak Kulit Jeruk Purut

sebagai Inovasi Ko-Kemoterapi Doxorubicin Berbasis Fitofarmaka

Prisnu Tirtanirmala, Nindi Wulandari, Rahmawaty Rachmady

.................................................................................................................................................................................................................................. 47

Sirup Ekstrak Air Sirih Merah (Piper crocatum) : Inovasi Baru Obat Diabetes Berbasis

Herbal

Fera Amelia, Ellsya Angeline R., Erni Wijayanti

.................................................................................................................................................................................................................................. 58

DAFTAR ISI ISSN: 2302-7851

Page 5: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

iv

Pedoman Penulisan Artikel

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI)

Indonesian Pharmacy Student Journal

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang

menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi

validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMFI menerima artikel

penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu farmakologi, farmasetika,teknologi

sediaan farmasi, farmakognosi, fitokimia, kimia farmasi, bioteknologi farmasi, artikel tinjauan pustaka,

laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta

editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa

farmasi.

Kriteria Artikel

1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu farmasi, kesehatan masyarakat, dan ilmu dasar

farmasi. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks

(pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran).

2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu

dalam dunia farmasi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca.

3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini

ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi farmasi. Format

terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan.

4. Artikel penyegar ilmu farmasi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik

yang sangat menarik dalam dunia farmasi atau kesehatan, memberikan human interest karena

sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada

hal-hal dasar atau farmasi yang perlu diketahui oleh pembaca.

5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia farmasi dan kesehatan, mulai dari

ilmu dasar farmasi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang

farmasi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia farmasi. Artikel ditulis sesuai kompetensi

mahasiswa farmasi.

6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam,

bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa farmasi).

7. Advertorial: artikel singkat mengenai obat atau kombinasi obat terbaru, beserta penelitian, dan

kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka.

PETUNJUK PENULISAN

Page 6: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

v

Petunjuk Bagi Penulis

1. BIMFI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas, serta

ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi.

Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman

judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm. Naskah terdiri dari maksimal

15 halaman.

3. Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word. Naskah

dikirim melalui email ke alamat [email protected] dengan menyertakan identitas penulis beserta

alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai

berikut:

1. Judul karangan (Title)

2. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution)

3. Abstrak (Abstract)

4. Naskah (Text), yang terdiri atas:

- Pendahuluan (Introduction)

- Metode (Methods)

- Hasil (Results)

- Pembahasan (Discussion)

- Kesimpulan

- Saran

5. Daftar Rujukan (Reference)

5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti sistematika

sebagai berikut:

1. Judul

2. Nama penulis dan lembaga pengarang

3. Abstrak

4. Naskah (Text), yang terdiri atas:

- Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)

- Pembahasan

- Kesimpulan

- Saran

5. Daftar Rujukan (Reference)

6. Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskah yang

telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan kaki.

7. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan

kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat

korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.

8. Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak melebihi

200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis.

Page 7: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

vi

9. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan

merupakan pengulangan kata-kata dalam judul.

10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic).

11. Tabel

12. Gambar

13. Metode statistik

14. Ucapan terima kasih

15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam

keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat

1. Artikel dalam jurnal

i. Artikel standar

Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for

pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3.

atau

Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for

pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3.

Penulis lebih dari enam orang

Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in

Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12.

ii. Suatu organisasi sebagai penulis

The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety

and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4.

iii. Tanpa nama penulis

Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15.

iv. Artikel tidak dalam bahasa Inggris

Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk

kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2.

v. Volum dengan suplemen

Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer.

Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82.

vi. Edisi dengan suplemen

Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin

Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97.

Page 8: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

vii

vii. Volum dengan bagian

Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent

diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6.

viii. Edisi dengan bagian

Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing

patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8.

ix. Edisi tanpa volum

Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid

arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4.

x. Tanpa edisi atau volum

Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood

transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33.

xi. Nomor halaman dalam angka Romawi

Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction.

Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii.

2. Buku dan monograf lain

i. Penulis perseorangan

Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):

Delmar Publishers; 1996.

ii. Editor, sebagai penulis

Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York: Churchill

Livingstone; 1996.

iii. Organisasi dengan penulis

Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid program. Washington: The

Institute; 1992.

iv. Bab dalam buku

Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors.

Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press;

1995.p.465-78.

v. Prosiding konferensi

Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings of

the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19;

Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996.

Page 9: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

viii

vi. Makalah dalam konferensi

Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical

information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors. MEDINFO 92.

Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva,

Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5.

vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis

1. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor :

Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled

nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human Services

(US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860.

2. Diterbitkan oleh unit pelaksana :

Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work force and

education issues. Washington: National Academy Press; 1995. Contract no.:

AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and research.

viii. Disertasi

Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation].

St. Louis (MO): Washington univ.; 1995.

ix. Artikel dalam Koran

Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually.

The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5).

x. Materi audiovisual

HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year book; 1995.

3. Materi elektronik

i. Artikel journal dalam format elektronik

Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online]

1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK

http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm

ii. Monograf dalam format elektronik

CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H.

CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995.

iii. Arsip computer

Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2.

Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.

Page 10: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

ix

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI)

Indonesian Pharmacy Student Journal

Satu-satunya jurnal mahasiswa farmasi Indonesia

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) atau Indonesian Pharmacy Student Journal

merupakan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia

(ISMAFARSI) setiap enam bulan sekali.

Berkala ilmiah ini merupakan langkah awal ISMAFARSI dalam memenuhi kebutuhan mahasiswa

farmasi akan berkala ilmiah dan upaya pemetaan penelitian terkait ilmu kefarmasian di Indonesia.

Maka dari itu, BIMFI berazaskan dari, oleh, dan untuk mahasiwa. Kriteria jenis tulisan yang tercantum

dalam BIMFI adalah penelitian asli, tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar, editorial,

petunjuk praktis, dan advertorial yang dibuat oleh mahasiswa farmasi Indonesia. Karya ilmiah yang

dipublikasikan merupakan artikel terbaik yang sudah menjalani tahap penyaringan dan penilaian. Hal

tersebut didukung oleh sistem redaksional yang digunakan, yaitu seleksi oleh editor dan redaktur, serta

penilaian oleh mitra bestari, yang ahli di bidangnya masing-masing.

Karya ilmiah yang dimuat dalam BIMFI terbagi dalam kelompok bidang ilmu, seperti

Farmakologi, Farmakoterapi, Farmasetika, Teknologi Sediaan Farmasi, Farmakognosi, Fitokimia, Kimia

Farmasi, Analisis Farmasi, Mikrobiologi Farmasi, dan Bioteknologi Farmasi. Karya yang dipublikasikan

adalah tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa farmasi.

Sebagai tahap awal penyebaran, BIMFI dalam bentuk cetak akan dibagikan ke beberapa

Fakultas atau Prodi Farmasi di Indonesia. Pada tahap selanjutnya, BIMFI akan dibagikan ke seluruh

Fakultas atau Prodi Farmasi, Asosiasi Institusi Farmasi, Organisasi Profesi Farmasi, dan beberapa

perpustakaan di Indonesia untuk menjamin penyampaian informasi kepada para mahasiswa farmasi

Indonesia. Selain itu, BIMFI juga tersedia dalam bentuk electronic journal yang bisa diakses di website.

Dengan demikian, BIMFI diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa farmasi akan informasi

ilmu kefarmasian.

SETITIK ILMU

Page 11: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

x

Salam dari Pimpinan Umum,

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan

kesempatan sehingga BIMFI ini bisa kembali hadir di dunia kefarmasian Indonesia. Salawat selalu

tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia hingga akhir zaman.

Terima kasih tak lupa diucapkan kepada seluruh pihak yang telah terlibat dalam proses perjalanan

hingga terbitnya BIMFI ini.

Menulis sebuah artikel ilmiah bagi sebagian besar mahasiswa farmasi mungkin bukan menjadi

hal baru. Namun, untuk mempublikasikan karya yang telah dibuat, masih kurang membudaya bagi

mahasiswa. Sebagai wadah jurnal mahasiswa farmasi pertama dan satu-satunya di Indonesia, BIMFI

telah berhasil menjadi konsumsi yang produktif untuk perkembangan ilmu kefarmasian bagi

mahasiswa dan akademisi farmasi. BIMFI dapat dijadikan acuan referensi jurnal bagi mahasiswa sesuai

kebutuhannya. Melalui BIMFI, ISMAFARSI telah menunjukkan kesungguhannya dalam mendukung

Dirjen Dikti Kemendikbud Republik Indonesia, mengenai Wajib Publikasi Ilmiah bagi S1, sehingga dapat

memberikan manfaat bagi perkembangan jumlah publikasi ilmiah di Indonesia.

Pada tahun pertama, BIMFI telah tersebar luas di beberapa kampus farmasi dari Aceh hingga

Manado. Walaupun telah memasuki tahun kedua, BIMFI diharapkan dapat terus menjadi salah satu

wadah mahasiswa melatih budaya mempublikasikan tulisan ilmianya. Dengan adanya berkala ilmiah

ini, kami juga berharap dapat melakukan pemetaan terhadap penelitian terkait ilmu kefarmasian di

Indonesia.

Dengan mengingat bahwa ilmu kefarmasian terbagi dalam banyak bidang ilmu, artikel-artikel

yang dipublikasikan dalam BIMFI diklasifikasikan menjadi beberapa jenis tulisan. Sebanyak 5 artikel

penelitian dan 3 artikel advertorial dimuat pada edisi ini. Hanya artikel yang berkualitas dan terbaik

yang bisa dimuat di BIMFI karena artikel-artikel yang masuk telah melalui proses seleksi yang panjang

dan proses revisi dari dewan redaksi bersama mitra bestari.

Terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf apabila ada kesalahan yang telah penyusun

lakukan. Sampai berjumpa pada edisi berikutnya. Partisipasi teman-teman mahasiswa farmasi akan

selalu kami nantikan. Semoga berkala ilmiah ini dapat terus membawa manfaat bagi kita semua.

Hidup Mahasiswa Farmasi Indonesia!

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

M. Khairuman

SAMBUTAN PIMPINAN UMUM

Page 12: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

1 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Penelitian ABSTRAK

Penggunaan kayu sudah sangat essensial dalam kehidupan masyarakat. sehingga, berbagai hal yang mungkin dapat menurunkan kualitas serta harga jual kayu menjadi perhatian utama. Di antara masalah paling merugikan bagi masyarakat yang memanfaatkan nilai jual kayu adalah keberadaan rayap. Kitosan diketahui memiliki aktivitas bio-termitisida (pembasmi rayap alami) sehingga peneliti berupaya untuk menghasilkan inovasi berupa bahan anti rayap baru yang memanfaatkan kemampuan potensial kitosan dalam penghambatan rayap.

Crustashellac adalah inovasi baru anti rayap berbahan aktif kitosan yang dicampurkan ke dalam plitur. Alasan penggunaan tekhnologi nano adalah untuk memaksimalkan kelarutan kitosan dalam pelarut plitur. Pengujian efek biotermitisida dilakukan selama satu minggu dengan variable tergantung adalah jumlah kematian rayap per kelompok perhari. Kemudian data yang yang didapat diolah menggunakan statistika model ANOVA Secara keseluruhan dari setiap variable memiliki sigifikansi 0,036. Dari hasil tersebut disimpulkan hasil variabel memiliki perbedaan yang signifikan. Variabel yang berpotensi sebagai biotermitisida terbaik ada pada kitosan industri dalam dalam larutan asam tanpa adanya pelitur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapat hasil data bahwa, crustashellac yang terbentuk memiliki pemerian berwarna cokelat bening. Encer. dan masih dapat melapisi kayu. Kata kunci: kitosan, biotermitisida, nanopartikel, crustashellac ABSTRACT

The usage of woods and their product had already influence people’s life. Thus, protection of

woods became main problems, many things that may treathen woods has to begun being reduced. One of them is the presence of white ant (Termites). That’s why this research aims to make the new innovative product of biotermiticide with chitosan as its active ingredient.

Crustashellac is a new innovation of anti-termite with active material chitosan that mixed into plitur. Crustashellac name consists of two words, namely crustacea representing the family of crustaceans as the source of chitosan and shellac that is raw materials of plitur.Biotermiticide test run for a week. And being observed everyday to count the dead termits. Then data is proceed with ANOVA test.

Study shown that overall, for each variable has a significance 0,036. Based on that test, the best variable as biotermiticide is the high-deacetylation degree chitosan that soluted in acid pH 4. Crustashellac had appearance as a liquid, clear, and still can made a layer. Keywords: chitosan, biotermiticide, nanoparticle, crustashellac

UJI EFEKTIVITAS CRUSTASHELLAC NANOPARTIKEL SEBAGAI BIO-TERMITISIDA PEMBASMI RAYAP ALAMI YANG AMAN MURAH DAN RAMAH LINGKUNGAN Ronny Martien1*, Halida Rahmania2, Yogi S. Laksono2, Uli Rianiari2, Wistiani T. Wardani2 1Dosen Bagian Farmasetika, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada 2Mahasiswa program S1 Farmasi, Universitas Gadjah Mada *Corresponding author’s Email : [email protected]

Page 13: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

2

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

1. PENDAHULUAN

Salah satu masalah paling merugikan

bagi masyarakat yang memanfaatkan nilai jual

kayu di kehidupan sehari-harinya adalah

keberadaan rayap. Rayap adalah bahan

pengurai alami. Namun, akibat pembangunan

pemukiman masyarakat yang terlalu pesat, rayap

terpaksa memangsa bangunan berbahan kayu,

kertas, arsip, buku, dan tanaman. Di Indonesia,

kerugian akibat serangan rayap mencapai 224-

238 milyar rupiah per tahun (1).

Limbah kulit udang memiliki kandungan

yang dapat beraktivitas sebagai bio-termitisida

atau pembasmi rayap alami(2). tetapi

pemanfaatannya pada kayu masih belum terlalu

optimal. Untuk memudahkan masyarakat

mengakses kitosan, penyisipan atau

panggabungan kitosan pada bahan yang sudah

dikenal masyarakat dan biasa diaplikasikan pada

kayu. Cara tersebut dapat dilakukan sebagai

sarana memperkenalkan kitosan sebagai anti

rayap pada masyarakat. Chrushtashellac merupakan inovasi

terbaru pembuatan plitur bio-termitisida.

Penamaan bahan pelitur termitisida siap pakai

tersebut didasari oleh dua kata, yaitu Crustacea

sebagai nama genus dari udang dan shellac

yaitu bahan dasar pembuatan pelitur.

Nanopartikel merupakan suatu partikel yang

berukuran nano (3). Satu nanometer adalah 10-

9meter. Kitosan yang tadinya tidak larut pada

alkohol dibuat menjadi nanokitosan yang

kelarutannya akan lebih besar pada alkohol(4).

2. METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium

Teknologi Farmasi UGM Unit III Fakultas

Farmasi, Jl Sekip Utara, Sleman, Yogyakarta.

Penelitian dilakukan mulai bulan Februari 2012

hingga bulan Juni 2012. Bahan yang digunakan

adalah LImbah kulit udang, Kitosan Industri.

Shellac, HCl. NaOCl 0,315%, methanol,

aquadest, NH3 37%. Asam Asetat 1%, NAOH

1M.

2.1. Pembuatan Kitosan

Kitin yang telah dihasilkan setelah

melalui proses deproteinasi dimasukkan dalam

larutan NaOH dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50,

dan 60% (berat) pada suhu 90-100 C sambil

diaduk selama 60 menit. Hasilnya berupa slurry

disaring, endapan dicuci dengan menggunakan

aquadest lalu ditambah HCl encer agar pH netral

kemudian dikeringkan.

2.2. Perhitungan Derajat Deasetilasi

Perhitungan Derajat Deasetilasi(2).

(1)

Dilakukan pembacaan dengan FTIR

untuk melihat perbedaan kitosan industri dengan

kitosan hasil.

2.3. Pembuatan Nanokitosan

Ada beberapa metode yang digunakan

dalam membuat nanokitosan :

Metode Z.G. Hu, et al, 2007(5)

Siapkan 1 mg/ml larutan kitosan dengan

melarutkan kitosan dalam asam asetat 1% v/v,

vortex campuran. Larutkan TPP dalam aquadest

dengan konsentrasi 1 mg/ml. Tambahkan 1 ml

dari larutan TPP 1 mg/ml ke dalam 5 ml larutan

kitosan 0,5% b/v sambil diaduk dengan magnetic

stirrer pada suhu kamar selama 30 menit.

Nanopartikel secara spontan akan terbentuk

setelah penambahan TPP ke dalam larutan

kitosan.

Page 14: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

3 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Metode penambahan NH3

0,2 gram kitosan dilarutkan dala 500 ml

Asam Asetat 1%, diaduk menggunakan jartest

sampai terbentuk larutan kitosan. Kemudian

larutan kitosan ditetesi 20 tetes NH3 (p) 37%

sampai terbentuk gel kitosan putih.

Setiap dari nanokitosan yang terbentuk

dibuktikan oleh hasil dari pembacaan TEM, atau

Transmition Electron Microscop sebab, nano

pertikel yang dihasilkan akan memiliki ukuran

yang sangat kecil.

2.4. Uji Politer Biotermitisida

Pengujian dilakukan dengan cara

pelapisan kayu dengan politur yang telah

tercampur dengan nanokitosan. Uji pengaruh

nanokitosan pada politur kayu terhadap

biotermitisida kitosan menggunakan rayap tanah

Macrotermes gilvus. Pengumpanan kepada

rayap dilakukan dengan mengelem pipa pralon

diatasnya.Kemudian, diberi plastisin agar padat

dan mampat, sehingga semua lubang kecil dapat

tertutupi sehingga rayap tidak kabur.

Pengamatan dilakukan setiap 24 jam sekali

pada jam 5 sore sebab rayap tidak tahan

terhadap cahaya(6).

2.5. Analisa Data

Untuk melihat perbedaan, data yang

diperoleh diubah dalam bentuk persentase.

Persen perubahan kadar dianalisis dengan

Kolmogorov-Smirnovuntuk melihat apakah data

terdistribusi normal atau tidak. Jika hasil analisis

Kolmogorov-Smirnov data terdistribusi normal,

maka analisis dilanjutkan dengan ANOVA satu

arah, namun bila data tidak terdistribusi normal

maka metode analisis statistik yang digunakan

adalah Mann-Whitney dengan taraf kepercayaan

95%.

3. HASIL 3.1 Pembuatan Kitosan

Karakterisasi derajat deasetilasi untuk

kitosan industri adalah 98 %. Sedangkan untuk

kitosan hasil produksi sendiri adalah DD 30%=

24, 58%. DD 40%= 30,01%, DD 50%= 30,83%.

Perbedaan derajat deasetilasi yang terjadi

mengakibatkan kitosan hasil produksi sendiri sulit

larut, sehingga tidak bias diproses dalam bentuk

nano. Pembuatan Nanokitosan dilanjutkan

menggunakan kitosan industri.

3.2. Pembuatan Nanokitosan

Kriteria dari nanokitosan yang kami

hasilkan Pengujian TEM dilakukan di

Laboratorium TEM MIPA UGM. Didapat 8 sampel

nanokitosan untuk karakterisasi nanokitosan,

didapat hasil pengukuran penampang

nanokitosan sebagai berikut : 1= 62,8282 ; 2=

62,8282; 3=66,6 4= 58,33; 5= 54,1176; 6=

42,825; 7= 43,75; 8= 55,83. Sehingga, secara

keseluruhan rerata ukuran partikel nanokitosan

yang berhasil dikarakterisasi adalah 55,838 nm,

dengan SD 6,808%, LE= 2,8997. Kisaran dari

ukuran partikel nanokitosan adalah

52,938<55,838<58,7377 . Hal ini menunjukkan

karakter nano kitosan yang dibentuk memenuhi

kriteria sebagai nanopartikel.

Gambar 1. Nanokitosan

3.3. Uji Politur Biotermitisida

Pengujian Biotermitisa dilakukan dengan

membuat 8 formula berbeda.

Page 15: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

4

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Tabel 1. Tabel Formulasi Parameter

Dari setiap kelompok kemudian diamati

efek biotermitisidanya dengan cara menghitung

jumlah rayap yang mati dalam tiap parameter.

Kemudian data diplotkan ke dalam grafik untuk

mengetahui parameter yang memiliki nilai

pembasmian rayap tertinggi diantara kelompok

yang diujikan.

Gambar 2. Grafik Jumlah Kematian Rayap Tiap Parameter

4. PEMBAHASAN

Hasil efek biotermitisida yang diplotkan

dalam grafik dapat dilihat parameter kitosan

industri dalam larutan asam tanpa pencampuran

pelitur memiliki efek biotermitisida yang lebih baik

dibanding dengan parameter lainnya. Dari

keseluruhan parameter dalam tes ANOVA dan

didapat signifikansi sebesar 0,036. Dari hasil

tersebut memiliki arti bahwa data yang didapat

memiliki perbedaan secara signifikan. Disebut

signifikan apabila uji anova menunjukkan hasil

kurang dari 0,05%. Dari hasil ini bisa disimpulkan

pencampuran kitosan industri dalam larutan

asam lebih efektif sebagai agen biotermitisida.

Kemampuan larutan kitosan dalam

membasmi rayap tidak dapat dipisahkan dari

keberadaan asam. Asam juga dapat menjadi

racun bagi rayap. Akan tetapi, asam juga

berbahaya manusia(7). Dari segi ketahanan,

asam sangat mudah tercuci dan rusak.

Sehingga, secara ketahanan, produk

crustashellac lebih unggul, karena pelitur akan

membentuk lapisan yang dapat meningkatkan

keterikatan kitosan pada kayu, sehingga tidak

mudah tercuci. Dari hasil juga dapat dilihat

bahwa ternyata peningkatan derajat deasetilasi

yang kurang signifikan tidak mempengaruhi efek

biotermitisida. Namun, peningkatan derajat

deasetilasi mempengaruhi kelarutannya dalam

asam. Apabila dilihat dari uji ANOVA yang

dilakukan signifikansi yang didapat 0,490 ;

apabila diacukan pada studi literatur, signifikansi

tidak menunjukkan nilai yang diinginkan, atau

hasil pengaruh derajat deasetilasi tidak memiliki

perbedaan secara signifikan.

5. SIMPULAN

Kitosan yang merupakan limbah rumah

tangga ternyata memiliki khasiat dalam hal

termitisida. Penerepan tekhnologi nano terbukti

berhasil membuat kitosan yang lebih memiliki

ukuran nao, sehingga, dispersinya dalam alcohol

menjadi lebih baik. Pengujian efek biotermitisida

menunjukkan efek terbaik penghambatan adalah

larutan kitosan industri dalam asam.

6. SARAN

Untuk dapat membuat produk siap jual

perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, mengenai,

ketahanan crustashellac dan optimalisasi

konsentrasi bahan baku.

Page 16: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

5 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

7. UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didanai oleh Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia melalui

Program Kreativitas Mahasiswa tahun 2011.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

Dr.rer.nat.Ronny Martien, M.Si selaku dosen

pembimbing penelitian atas dukungan dan

bimbingannya

DAFTAR PUSTAKA

[1] Tarumingkeng, R. C. Biologi dan Perilaku

Rayap [serial online] 2005.

http:/tumotou.net/biologi dan prolaku

rayap.htm, diakses tanggal 28 juni 2012

[2] Radihtya, Zulfahmi. Pemanfaatan Limbah

Kulit Udang sebagai Bahan Anti Rayap (Bio-

termitisida) pada Bangunan Berbahan Kayu

[Skripsi]. Jurusan Teknik Kimia : Universitas

Diponegoro Semarang.; 2010

[3] Setiowati, Nurani. Determination of Optimum

Conditions for Nanoparticle Formation from

Caesalpinia sappan Wood as An Antiacne

Agent [Thesis]. Faculty of Mathematic and

Natural Sience : Bogor Agricultural

University.; 2011.

[4] Musthaba MS, Sanjula B, Sayeed A, Alka

A,Javed A. Status of Novel DrugDelivery

Technology for Phytotherapeutics. June

2009;6. doi:10.1517/17425240902980154.

625-637.v6.

[5] Szeto Yau-shan, Zhingan Hu. ATA Journal

for Asia on Textile & Apparel Article

Exploring Nanochitosan. Cina . 2007

[6] Prasetyo Kurniawan Wiji, , S.Hut. & DR.

Sulaeman Yusuf. Mencegah & Membasmi

Rayap secara Ramah Lingkungan &

Kimiawi. Jakarta (Indonesia): Agromedia

pustaka; ISBN: 979-3702-23-0

[7] Tabbu, C.R. dan B . Hariono. 1991 .

Pencemaran lingkungan oleh limbah

peternakan dan pengolahannya . Bull . FKH

UGM 10(2):71-83.

Page 17: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

6

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Penelitian ABSTRAK

Efek anti-osteoartritis daun mimba (Azadirachta indica) diteliti menggunakan tikus terinduksi

adjuvant dan mencit yang terinduksi nyeri. Daun mimba dibuat menjadi infusa, diberikan secara oral kepada mencit untuk menguji efek analgesik, kepada mencit untuk diuji efek analgesiknya dan kepada tikus untuk diuji aktivitas antiinflamasi dan indeks artritisnya sebagai parameter efek pereda osteoartritis. Hewan uji dibagi atas kelompok kontrol normal, kontrol negatif, kontrol positif, dan kelompok perlakuan dengan infusa daun mimba (dosis 0,36, 0,73, dan 1,46 mg/20 g berat badan untuk uji analgesik; dosis 2,52, 5,04, dan 1,01 mg/200 g berat badan untuk uji antiinflamasi). Indeks Artritis ditentukan pada hari ke-17 dan 31, udem volum ditentukan setiap hari selama 31 hari dan jumlah geliat dihitung setiap 5 menit selama 1 jam, kemudian data dianalisis dengan ANOVA dan uji t (p<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks artritis, udem volume dan jumlah geliat mengalami penurunan dengan pemberian infusa daun mimba. Selain itu, efek maksimum pereda osteoarthritis dicapai dosis III daun mimba. Infusa daun mimba efektif dalam mengurangi gejala Osteoartritis, dan hasil konversi dosis III ke dosis manusia, menunjukkan dosis 0.565 gr / kgBB atau setara dengan 14 lembar daun. Kata kunci: Azadirachta indica Juss., tikus terinduksi adjuvant, analgesik, anti-inflamasi, indeks artritis. ABSTRACT

Anti-osteoarthritic effect of Azadiracta indica were investigated using rats induced adjuvant

and mice induced pain. Neem leaf are made into infusion , administered orally to mice to test the analgesic effect, the rats to test the anti-inflammatory and arthritis index as a parameter reliever effects of osteoarthritic. The models were divided into normal control group , negative control , positive control , and the group treated with neem leaf infusion ( doses of 0.36 , 0.73 , and 1.46 mg/20 g body weight to test analgesics ; doses of 2.52 , 5.04 , and 1.01 mg/200 g body weight to test anti-inflammatory ). Arthritis Index is determined on days 17 and 31, edema volume is determined every day for 31 days and the number of writhing was calculated every 5 minutes for 1 hour , then the data were analyzed by ANOVA and t-test ( p < 0.05 ) . The results showed that the index of arthritis, edema volume and the amount of stretching was clearly decreased with administration of Neem leaf infusion. Moreover, the maximum effect is achieved at dose III. In conclusion, infusion of neem leaves is effective in reducing symptoms of osteoarthritis, and the conversion the third dose to human dose, in the amount of 0.565 g/kg, equivalent to 14 sheets of leaves Keywords: Azadirachta indica Juss., adjuvant-induced rat arthritic, analgesic, anti-inflamatory, arthritic index.

KAJIAN AKTIVITAS INFUSA DAUN MIMBA (Azadirachta indicaJUSS.) SEBAGAI OBAT HERBAL PEREDA OSTEOARTHRITIS R Arindra Hanuraga*, Nadya Agustina, Agung Utan NS, Nurul Hidayati Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, *Corresponding author’s email : [email protected]

Page 18: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

7 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

1. PENDAHULUAN Di Indonesia, rematik adalah penyakit

kronis yang sering kita jumpai di masyarakat,

salah satu jenis rematik yang sering diderita

adalah osteoartritis (OA). Osteoarthritis adalah

gangguan yang mempengaruhi bantalan sendi

diarthrodial dari kerangka perifer dan aksial. Hal

ini ditandai dengan penurunan dan hilangnya

kartigo articular, sehingga terjadi pembentukan

osteofit, nyeri, keterbatasan gerak, deformitas

dan kecacatan(1).

Pengobatan osteoartritis yang sering

dilakukan secara konvensional adalah dengan

pemberian DMARD’s (Disease Modifiying Anti

Rheumatic Drugs). Obat-obat ini berkhasiat anti

radang kuat dan dapat menghentikan atau

memperlambat kerusakan tulang rawan. Obat ini

kadang juga dikombinasikan dengan NSAID’s

(Non-Streoid Anti Inflammation Drugs) untuk

memperkuat efeknya. Tetapi, DMARD’s bersifat

toksik bagi darah dan ginjal(2) dan NSAID’s dapat

mengakibatkan pendarahan pada

gastrointestinal(2). Oleh karena itu, sampai

sekarang terus dicari bahan obat yang

mempunyai aktifitas anti-rematik yang tidak

toksik.

Pohon Mimba (Azadirachta indica Juss.)

adalah salah satu flora yang ada di Indonesia.

Secara turun temurun, terdapat bukti-bukti

empiris di beberapa daerah di Indonesia yang

masyarakatnya percaya bahwa menggunakan

rebusan daun mimba (Azadirachta indica Juss.)

dapat digunakan sebagai penghilang pegal-pegal

atau anti rematik. Ini harus dibuktikan sehingga

tidak menjadi racun yang akan merugikan bagi

manusia. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa

daun pohon ini berefek sebagai anti-viral(3), anti-

bakteri(4), anti-paralitik(5), antioksidan(6,7).

Kandungan-kandungan yang sudah diketahui

dari pohon ini merupakan triterpenoid golongan

limonoid, contohnya azadirachtin, nimbin,

salanin, azadirachtol dan 30%-50% minyak(8).

Zat-zat tadi diduga berefek anti feedant dan

insektisida,(8) yang artinya dapat berefek racun

pada manusia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

adanya efek pereda Osteoartritis, dengan

parameter efek analgesik, anti-inflamasi, dan

anti-artritis pada ekstrak daun pohon mimba

(Azadirachta indica Juss.) pada tikus artritis yang

diinduksi menggunakan complete freund’s

adjuvant (CFA) dan mencit galur Balb/C yang

diinduksi asam asetat glasial.

2. METODE PENELITIAN 2.1. Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah daun mimba, complete

freund’s adjuvant (Sigma) yang mengandung

Mycobacterium butyricum, asam asetat glasial

(Merck) sebagai penginduksi nyeri, natrium

diklofenak (Novartis) sebagai reference drug anti-

radang (kontrol positif), parasetamol (Sigma)

sebagai reference drug analgesik (kontrol positif).

Alat-alat yang digunakan adalah neraca, lemari

pendingin, alat gelas, kompor listrik,

plestismometer, dan panci infusa. Hewan uji

yang dipergunakan adalah tikus betina galur

Sprageue Dawley (SD), umur 2 bulan, berat

badan 150-250 g dan mencit betina galur Balb/C

umur 1 bulan diberi pakan BR2-F dan minum ad-

libitum.

2.2. Prosedur Penelitian 2.2.1. Preparasi Bahan Uji

Determinasi tumbuhan mengacu pada

buku flora of Java(9). Pengumpulandaun

Page 19: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

8

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Azadirachta IndicaA. Juss. yang diambil dari

daerah Kentungan Yogyakarta, dicuci dibawah

air mengalir, ditiriskan. Dikeringkan tanpa

pemanasan tambahan.Pembuatan Infusa daun

mimba 0,5%. Daun mimba sebanyak 0,5 gram

dimasukkan ke dalam panci infusa, ditambah air

sebanyak 100 mL. Panci dipanaskan selama 15

menit dihitung mulai suhu di dalam panci

mencapai 900C. Kemudian diserkai selagi panas,

kekurangan volume ditambahkan melalui ampas

dengan aquadest panas.

2.2.2. Uji Aktivitas Anti-Artritis dan Anti- Inflamasi

Model uji in vivo yang digunakan adalah

tikus yang diberi complete freund’s

adjuvant(CFA), yang akan menginduksi artritis

dan inflamasi kronis. Menggunakan tikus galur

Sprague Dawley(SD) jantan, yang dibagi menjadi

lima kelompok:

Tabel 1. Perlakuan Uji pada Tikus galur SD

Kelompok (n=5) Perlakuan Daun Mimba

I (kontrol normal) Tanpa perlakuan

II (Kontrol negatif) Hari 1 diberi CFA, hari 17-

30 diberi aquadest

III (Kontrol positif) Hari 1 diberi CFA, hari 17-

30 diberi Na-diklofenak

IV (Perlakuan I) Hari 1 diberi CFA, hari 17-

30 diberi 2,52 mg/200gr

BB infusa daun mimba

V (Perlakuan II) Hari 1 diberi CFA, hari 17-

30 diberi 5.04 mg/200gr

BB infusa daun mimba

VI (Perlakuan III) Hari 1 diberi CFA, hari 17-

30 diberi 10.08 mg/200gr

BB infusa daun mimba

Tikus disuntik pada paha kanannya

sebanyak 0.1 mL(10). Ditunggu 16 hari, sehingga

efek artritis terlihat. Pada hari 17 dan 31

ditetapkan indeks artritis(11) dan volume udem.

Hasil pengamatan dari persentase indeks artritis

dan volume udem dianalisis menggunakan

analisa statistika one way-ANOVA (p<0,05).

2.2.3. Uji Efek Analgesik Pada uji analgesik, penginduksi rasa

nyeri adalah asam asetat 0,1%. Mencit jantan

galur Balb/C dibagi menjadi enam (VI) kelompok,

dengan perlakuan berikut:

Tabel 2. Perlakuan Uji pada Mencit galur Balb/C

Kelompok (n=5) Perlakuan Daun Mimba

I (kontrol normal) Tanpa perlakuan

II (Kontrol

negatif)

Diberi as. asetal glasial

0,1% sesuai dosis

III (Kontrol

positif)

Diberi as. asetat 0,1%,

diberi suspensi

Parasetamol 1.3

mg/kgBB(12)

IV (Perlakuan I) Diberi as. asetat 5%, lalu

0,364 mg/20gr BB infusa

daun mimba

V (Perlakuan II) Diberi as. asetat 5%, lalu

diberi 0,768 mg/20gr BB

infusa daun mimba

Page 20: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

9 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

VI (Perlakuan III) Diberi as. asetat 5%, lalu

diberi 1,456 mg/20gr BB

infusa daun mimba

Setelah diberikan asam asetat 0,1%(13),

maka mencit akan menggeliat. Jumlah geliat

inilah yang dihitung per lima menit selama 1 jam.

Data yang dikumpulkan berupa geliat

kumulatif mencit masing-masing kelompok

perlakuan. Lalu dihitung daya analgesiknya

menggunakan rumus sebagai berikut,

Daya analgesik = {100-(P/K x 100)}100%

dengan:

P = Jumlah geliat kumulatif kelompok percobaan

tiap individu

K = Jumlah geliat kumulatif kelompok kontrol

rata-rata(14)

Data daya analgesik yang diperoleh

dianalisis dengan uji statistik ANOVA satu arah

(p<0,05) dan uji t-LSD (p<0,05).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Daun mimba (Azadirachta indica Juss.)

yang digunakan dalam penelitian ini diberikan

dalam bentuk infusa agar menyerupai

penggunaan daun mimba ini di masyarakat, yaitu

dengan cara direbus dengan air. Ini untuk

membuktikan apakah rebusan ini berfungsi

sebagai pereda osteoarthritis. Infusa daun mimba

ini kemudianmenjadi tiga uji sebagai parameter

pereda osteoarthritis, yaitu uji analgesik, anti-

infalamasi, dan penentuan indeks atritis, karena

ketiganya dapat memberikan efek yang sinergis

dalam mengurangi osteoarthritis.

Pada uji analgesik digunakan metode

rangsang kimia. Metode ini dipilih, karena sesuai

untuk menguji bahan yang zat-zat aktif

analgesiknya belum diketahui dengan pasti

golongan zat tersebut. Metode yang lain,

contohnya adalah metode Hot-Plate cocok dan

sensitif untuk zat-zat golongan atau turunan

opiat. Pada metode rangsang kimia ini digunakan

asam asetat glasial karena bersifat iritator kuat

pada jaringan peritoneal. Rangsang nyeri ini juga

dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang

melepaskan mediator-mediator nyeri yang akan

dihantarkan sampai ke otak sebagai rasa nyeri.

Pada uji ini tidak terdapat kendala yang berarti,

tetapi ada beberapa percobaan yang harus

diulang karena mencit yang diuji mati karena

kesalahan penyuntikan, dengan hasil sebagai

berikut:

Grafik 1. Daya Analgesik Daun Mimba

Dapat dilihat pada grafik bahwa terdapat

daya anlgesik pada dosis I, II, dan III infusa daun

mimba, dan bahkan pada dosis III daya

analgesiknya hampir sebesar kontrol positifnya.

Hasil ini juga dibuktikan dengan uji statistik one

way-ANOVA, dimana terdapat perbedaan yang

Page 21: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

10

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

bermakna antara perlakuan dosis dan kontrol

negatif (p<0,05).

Selanjutnya dalah uji dari efek anti

inflamasi dan efek pereda artritis pada tikus galur

SD betina. Pada uji ini digunakan CFA (Complete

Freund’s Adjuvant) sebagai penginduksi artritis

dan inflamasi. Ini dikarenakan CFA dapat

memicu system imun untuk bekerja berlebihan

dengan manifestasi udem dan artritis. Kedua uji

ini dilakukan secara bersamaan untuk

menghemat waktu, biaya, serta kesalahan yang

mungkin terjadi. Pada uji anti-inflamasi, diukur

volume udemnya sebagai data dan pada arthritis

dilihat dari suatu skala. Skala yang digunakan

untuk mnegukur tingkat keparahan terjadinya

suatu artritis dilihat dari gejala-gejala yang timbul,

lalu dinyatakan sebagai indeks arthritis. Tikus

dapat dikatakan arthritis apabila indeks yang

terjadi ≥ 1 dan biasanya ditandai dengan

bengkak, kemerahan, serta perubahan bentuk

pada jari dan telapak kaki. Skalanya sebagi

berikut(12) :

Tabel 3. Indeks Artritis

No Gejala artritis pada tikus Skor

1 Bengkak dan merah pada 1 jari

kaki

0,25

2 Bengkak dan merah sedikitnya

2 jari kaki

0,5

3 Bengkak pada telapak kaki 0,75

4 Bengkak dan merah pada jari

kaki dan perubahan bentuk

pada telapak kaki

1,00

5 Bengkak dan merah pada jari

kaki dan telapak kaki

1,25

6 Bengkak dan merah pada jari

kaki dan sedikit bengkak pada

sebagian telapak dan

pergelangan kaki

1,50

7 Bengkak dan merah pada jari

kaki dan telapak kaki serta

bengkak pada seluruh telapak

dan pergelangan kaki

1,75

8 Bengkak dan merah pada jari

kaki, telapak dan pergelangan

kaki

2,00

Pada hari ke-1 sampai hari ke-16, tikus

diinduksi dengan CFA dan belum mendapat

perlakuan dengan tujuan membuat tikus menjadi

menderita artritis yang ditandai dengan indeks

arthritis ≥ 1. Persentase indeks artritis dihitung

pada hari ke-17 dan hari ke-31. Sementara untuk

pengukuran volume udem dilakukan dari hari

pertama sampai ke-31 untuk melihat respontikus

tiap harinya. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Grafik 2. Daya anti-inflamasi hari ke-31

Page 22: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

11 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Grafik 3. Daya anti-artritis hari ke-31

Grafik 4. Volume Udem Tikus

Pada hari ke-16, semua tikus telah

terkena artritis, yang ditunjukkan dari semua tikus

mempunyai indeks artritis sebesar 2. Dapat

dilihat dari hasil diatas, bahwa tikus yang

diberikan dosis daun mimba dan kontrol positif,

mulai menunjukkan hasilnya kira-kira pada hari

ke-20, yang mana paling tinggi memberikan efek,

dapat dilihat pada grafik adalah kontrol positif lalu

dosis III, II, dan I. Uji statistik juga menunjukkan

bahwa diantara kelompok-kelompok tersebut

terdapat perbedaan yang bermakna antara

kontrol negatif dan dosis I, II, III (p<0.05). Tetapi,

apabila dilihat dari definisi tikus yang mengalami

artritis, yaitu lebih besar dari atau sama dengan

satu, hanya kelompok dosis III daun mimba dan

kontrol positiflah yang meredakan osteoarthritis. Dari hasil percobaan ini, dapat

disimpulkan bahwa infusa daun mimba memiliki

efek meredakan penyakit osteoarthritis, karena

ketiga parameter yang diujikan memiliki hasil

yang positif. Yang perlu diperhatikan adalah

dosis III infusa daun mimba mempunyai efek

yang hampir sama dengan kontrol positif yang

diujikan yaitu parasetamol dan Na-Diklofenak.

Oleh karena itu, dosis 3 ini dapat menjadi pilihan

dalam terapi yang digunakan dalam masyarakat,

yang apabila dikonversikan dosisnya kepada

manusia, dosisnya menjadi sekitar 0,565

gr/70kgBB, atau sebanding dengan kira-kira 14

lembar daun mimba yang telah kering.

4. SIMPULAN Infusa daun mimba (Azadiracta indica

Juss.) dapat memberikan efek analgesik, anti-

inflamasi, menurunkan indeks artritis yang dapat

dijadikan parameter dalam meberikan efek

pereda osteoarthritis.

Dosis III infusa daun mimba (Azadiracta

indica Juss.) memiliki efek yang sama dengan

kontrol positif yang diberikan, yaitu parasetamol

untuk efek analgesik dan Na-diklofenak untu anti-

inflamasi dan penentuan indeks arthritis. Hasil konversi dosis III dari mencit/tikus

kepada manusia sebesar 0,565gr/70kgBB atau

kira-kira 14 lembar daun.

5. SARAN

Perlu dilakukan uji toksisitas dari infusa

daun mimba ini, agar pada akhirnya diharapkan

bahwa masyarakat dapat mengkonsumsi pereda

osteoarthritis yang berefek baik dan juga aman

atau tidak toksis, sehingga dapat menjadi

alternatif obat yang ada di pasaran.

Page 23: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

12

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

DAFTAR PUSTAKA [1] Sukandar EY, Retnosari A, Joseph S. ISO

Farmakoterapi. Jakarta: ISFI Penerbitan;

2008

[2] Mulyaningsih S, Darmawan E. Anti-arthitic

Effect of Musa paradisiaca sapientum L dan

Aloe vera L. in Adjuvant-induced Arthritic

Rats. Yogyakarta: Fakultas Farmasi

Universitas Islam Indonesia; 2006

[3] Gogati SS, Marathe AD. Anti-viral Effect of

Neem leaf (Azadirachta indica A. Juss.)

extract on Chinkugunga and Measles

viruses.J. Res. Edu. Ind. Med.1989 8: 1-5

[4] Singh N, Sastry MS. Antimicrobial activity of

Neem oil. Ind. J.Pharmaciol. 1997; 13: 102-

106

[5] Allan EJ, Stuchbury T, Mordue (Luntz) AJ.

Azadirachta indica A. Juss (Neem tree): In

vitro culture, micropropagation and the

production of azadirachtin and other

secondary metabolites. Didalam Bajaj YPS

(Ed) Biotechnology in Agriculture and

Forestry Science Series. Springer, Berlin

Heidelberg NY: Medical aromatic

plant.1999; 43: 11-41

[6] Bandyopadhyay U, Biswas K, Catterjee R,

Bandyopadhyay D, Chattopadhyay I,

Ganguly CK, Chakraborty T, Bhattacharya

K, Banerjee RK. Gastroprotective Effect of

Neem (Azadiracta indica) Bark Ekstrak:

Possible involvement of H+-K+-ATPase

Inhibition and Scavegening of Hidroxyl

Radical. Life sci. 2002; 71 : 2845-2865

[7] Sultana B, Anwar F, Przybylski R.

Antioxidant Activity of Phenolic Component

Present in Bark of Azadirachta indica,

Terminalia arjuna, Acacia nilotica, Eugenia

jambolana Lam. Trees J. Food Chem. 2007;

104: 1106-1114

[8] Carpinella MC, Defago MT, Valladares G,

Palacios SM. Anti-Feedant and Insecticide

Properties of a Limonoid from Melia

azedarch (Meliaceae) with Potential Use for

Pest Management. J. Agric. Food Chem.

2003; 51: 369-374

[9] Backer CA, van der Brink RCB. Flora of

Java vol II. Groningen: N.V.P. Noorfhoff;

1963

[10] Anderson AJ. Lysosomal Enzyme Activity in

Rats with Adjuvant Induced Arthritis. Annual

Rheumatics Disease. 1970; 29(2): 307-313

[11] Smit F. Picrorhiza scrophulariiflora from

Traditional Use to

Immunomodulatory.[Dissertation]. Utrecht :

Rijksuversiteit Utrech; 2000

[12] Donatus TA. Interaksi Kurkumin dengan

Parasetamol: Kajian Terhadap Efek

Farmakologi dan Toksikologi, Perubahan

Hayati Parasetamol.[Disertasi]. Yogyakarta:

Universitas Gajah Mada; 1994

[13] Hayuningtyas R. Efek Analgetik Etanol Daun

Mindi Hasil Soxhletasi pada Mencit Putih

Jantan.[Skripsi]. Surakarta: Universitas

Muhamadiyah Surakarta; 2006

[14] Turner RA. Screening Methods in

Pharmacology. New York: Academic Press,

100,101,113-114; 1965

Page 24: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

13 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Penelitian ABSTRAK

Daun gambir (Uncaria gambir) mengandung katekin yang secara empiris bersifat antihipertensi melalui mekanisme penghambatan Angiotensin Converting Enzyme (ACE) secara non-spesifik. Tekanan darah erat kaitannya dengan aktivitas jantung. Penggunaan daun gambir sebagai antihipertensi harus dipastikan keamanannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% daun gambir terhadap aktivitas listrik jantung pada tikus hipertensi. Tiga puluh enam tikus Sprague Dawley dibagi dalam enam kelompok yakni normal, negatif, atenolol dengan tiga kelompok dosis. Induksi larutan NaCl (3,65 g/kg bb) diberikan pada setiap kelompok perlakuan, kecuali kelompok normal, secara per oral selama 14 hari. Pada hari ke-15 dilanjutkan pemberian sediaan uji berupa larutan CMC 0,5% (kontrol normal dan negatif), atenolol 13,5 mg/200 g bb, dan ekstrak daun gambir dengan dosis 200; 400; dan 800 mg/bb hingga hari ke-28. Pengukuran aktivitas listrik jantung dilakukan pada hari ke-21 dan 28 dengan menggunakan elektrokardiogram CareWell®. Hasil analisis menunjukan bahwa pemberian ekstrak dosis 800 mg/bb selama 7 hari dapat menurunkan laju jantung, memperbesar tegangan T, memperpanjang interval PR dan memperpanjang interval QT. Sedangkan, pemberian dosis 800 mg/bb selama 14 hari hanya menurunkan laju jantung dan memperpanjang interval PR. Penggunaan ekstrak daun gambir pada dosis 800 mg/bb dapat mempengaruhi aktivitas listrik jantung. Kata kunci: aktivitas listrik jantung, Uncaria gambir (Huntes) Roxb. elektrokardiogram , hipertensi ABSTRACT

Gambir leaves (Uncaria gambir) contain catechin which empirically can be used as

antihypertensive through its mechanism as non spesicific Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor. Blood pressure is closely related to the heart activity. It is necessary to test the safety of gambir leaves as antihypertensive against cardiovascular system. This research aimed to know the effect of 70% ethanol extract of gambir leaves against heart electrical activity in hypertensive rats. Thirty six male rats strain Sprague-Dawley were divided into six groups consist of normal control, negative control, atenolol, with three dose groups. All groups except normal group was administered orally with NaCl solution for 14 days.On 15th day continued by giving CMC 0,5% (normal and negative groups), atenolol 13,5 mg/bw and the gambir leaves extract (200; 400; and 800 mg/bw). Heart electrical activity was measured on the day 21st and 28th using electrocardiogam CareWell®. Result from analysis showed that giving extract dose 800 mg/bw for 7 days could decrease heart rate, increase T voltage, prolong PR and QT interval. While giving extract dose 800 mg/bw for 14 days only decrease heart rate and prolong PR interval. The usage of gambir leaves extract dose 800 mg/bw effected the heart electrical activity. Keywords : heart electrical activity, Uncaria gambir (Huntes) Roxb, electrocardiogram, hypertension.

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 70% DAUN GAMBIR (Uncaria gambir (Huntes) Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS LISTRIK JANTUNG PADA TIKUS HIPERTENSI Tika Nurhasanah1* dan Santi Purna Sari.1 1Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia *Corresponding author’s email : [email protected]

Page 25: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

14

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

1. PENDAHULUAN

Penggunaan obat herbal di Indonesia

semakin meningkat. Selama kurun waktu tahun

2000-2006 tercatat jumlah pengguna obat herbal

di Indonesia meningkat dari 15,2% menjadi

38,30%.[1]Meningkatnya penggunaan obat herbal

dikarenakan terdapat anggapan dimasyarakat

bahwa obat herbal lebih aman dibandingkan obat

konvensional.[2] Meskipun begitu tidak semua

obat herbal aman dikosumsi. Uji keamanan dan

efek samping pada obat herbal perlu dilakukan

terutama obat herbal yang digunakan untuk

mengobati penyakit kardiovaskuler.

Salah satu penyakit kardiovaskuler

dengan prevelansi tertinggi di Indonesia adalah

hipertensi dengan persentase 31,7% pada tahun

2007.[3]Hipertensi adalah peningkatan persisten

tekanan darah hingga ≥ 140/90

mmHg.[4]Keterbatasan dan efek samping dari

obat-obatan konvensional mendorong

penggunaan herbal sebagai alternatif terapi

hipertensi.[5]Salah satunya adalah gambir

(Uncaria gambirI (H.) Roxb). Gambir merupakan

tanaman asli Indonesia yang banyak tumbuh di

Sumatera Barat.Bagian tanaman gambir yang

sering dimanfaatkan adalah daunnya.[6] Berikut

gambar tanaman gambir.

Gambar 1. Tanaman Gambir

Berdasarkan penelitian terdahulu gambir

dapat bermanfaat sebagai antihiperlipidemia,

menormalkan kadar glukosa, dan menormalkan

tekanan darah.[7] Gambir juga banyak

dimanfaatkan sebagai zat penyamak, antidiare,

astrigen, antiinflamasi, dan antioksidan.[8]

Kandungan kimia pada daun gambir adalah

katekin (7-33%), asam kateku tanat (20-55%),

pirokatekol (20-30%), gambir flouresen (1-3%),

kateku merah (3-5%), kuersetin (2-4%), dan

sedikit alkaloid.[9]Kandungan katekin yang tinggi

pada daun gambir diduga memberikan efek

penurunan tekanan darah. Berdasarkan

penelitian sebelumnya, katekin dapat

menurunkan tekanan darah melalui

penghambatan ACE (Angiotensin Converting

Enzyme) secara non spesifik.[10][11]

Penghambatan terhadap ACE akan menurunkan

stroke volume sehingga curah jantung berkurang

dan tekanan darah menurun.[12]

Sampai saat ini belum ada uji keamanan

penggunaan ekstrak daun gambir sebagai

antihipertensi. Salah satu uji keamaan yang

dapat dilakukan adalah melihat efek ekstrak

terhadap aktivitas listrik jantung. Mekanisme

penurunan tekanan darah erat kaitannya dengan

kerja jantung. Tekanan darah dipengaruhi oleh

resistensi perifer dan curah jantung. Peningkatan

curah jantung dapat terjadi karena peningkatan

denyut jantung dan/atau stroke volume, begitu

juga sebaliknya.[13]Aktivitas listrik jantung dapat

diketahui melalui perekaman elektrokardiogram

(EKG). Apabila terjadi gangguan terhadap

jantung dapat dilihat melalui EKG karena

perubahan pada otot dan segala aktivitas jantung

umumnya berhubungan dengan perubahan

aktivitas listrik.[14]

Penelitian ini bertujuan untuk melihat

pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% daun

gambir (Uncaria gambrir (H.) Roxb) terhadap

Page 26: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

15 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

aktivitas listrik jantung tikus yang diinduksi

hipertensi oleh NaCl. Hasil penelitian ini

diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah

mengenai pengaruh ekstrak daun gambir

terhadap aktivitas listrik jantung sehingga dapat

diketahui keamanan penggunaan ekstrak daun

gambir sebagai antihipertensi.

2. METODE 2.1 Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan adalah

simplisia daun gambir dari sentra pertanian

gambir, Sumatera Barat. Simplisia diekstraksi

dengan metode soxhletasi pada suhu 68ºC

dengan pelarut etanol 70% oleh Laboratorium

Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI), Serpong. Sebagai pembanding

digunakanpenyekat β kardioselektif yakni,

atenolol yang diperoleh dari PT. Pratapa Nirmala

(Farenheit) Indonesia.

2.2 Hewan Uji Hewan yang digunakan adalah tikus

putih galur Sprague Dawley yang diperoleh dari

Balai Pengawasan Obat-obatan dan Makanan

(BPOM). Jumlah tikus yang digunakan 36 ekor,

usia 3 bulan dengan berat 150-200 gram.

Perlakuan kepada hewan uji pada penelitian ini

telah mendapat ethics approval dari Komite Etik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2.3 Standardisasi Ekstrak

Standardisasi ekstrak etanol 70% daun

gambir terbagi menjadi parameter non spesifik

dan spesifik. Parameter non spesifik terdiri dari:

penetapan susut pengeringan, penetapan kadar

abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut

asam. Parameter spesifik terdiri dari organoleptis

dan penetapan kadar katekin.[15]

2.3.1 Penetapan Kadar Katekin Penetapan kadar katekin menggunakan

spektrofotometer ultraviolet pada panjang

gelombang 279 nm dan 300 nm. Pelarut yang

digunakan adalah etil asetat.Absorban sampel

pada 300 nm tidak lebih dari 0,03.[15] Perhitungan

dilakukan dengan rumus:

% Katekin = As 279 x Ws x 100% (1)

Ap 279 W

dengan:

As 279 = Absorban sampel pada λ 279 nm

Ap 279 = Absorban katekin standar pada λ 279

nm

Ws = Berat katekin standar

W = Berat ekstrak gambir

2.4 Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan dalam dua tahap

yakni tahap induksi hipertensi dan perekaman

aktivitas listrik jantung. Rancangan penelitian

menggunakan rancangan acak sederhana dengan

cara pengundian.Kelompok perlakuan terbagi

dalam 6 kelompok yakni, normal, negatif, dosis 1,

dosis 2, dosis 3, dan atenolol. Masing-masing

kelompok terdiri dari 6 tikus.

2.5 Perlakuan pada Kelompok Percobaan Perlakuan pada tiap kelompok diberikan

secara oral. Selama 14 hari setiap kelompok

kecuali kelompok normal diberikan larutan NaCl

3,65 g/kg untuk menginduksi tikus menjadi

hipertensi. Sedangkan kelompok normal hanya

diberikan larutan CMC 0,5%. Pada hari ke-15

hingga ke-28 masing-masing kelompok diberikan

perlakuan yang berbeda. Kelompok normal dan

negatif diberikan larutan CMC 0,5%. Kelompok

pembanding diberikan atenolol 13,5 mg/bb, dosis

1 diberikan ekstrak daun gambir 200mg/bb, dosis

2 diberikan ekstrak daun gambir 400mg/bb, dan

dosis 3 diberikan ekstrak daun gambir 800

Page 27: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

16

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

mg/bb. Pada hari ke-21 dan ke-28 dilakukan

perekaman elektrokardiogram pada masing-

masing tikus.

2.5.1 Perekaman Elektrokardiogram (EKG) Perekaman EKG menggunakan alat

elektrokardiograf CareWell® dilakukan pada

hantaran II standar Einthoven. Sebelum

dilakukan perekaman tikus dianestesi dengan

uretan 950 mg/kg secara intraperitoneal. Dalam

penelitian ini terdapat 5 parameter EKG yang

dibahas yakni, frekuensi denyut jantung, interval

PR, kompleks QRS, interval Q-T, dan tegangan

gelombang T.

Frekuensi denyut jantung dihitung

dengan menghitung jumlah kotak kecil antara

dua puncak gelombang R. Frekuensi denyut

jantung per menitdihitung dengan cara:

Denyut/menit = 60 (2)

Jumlah kotak kecil x 0,04 detik

Analisa waktu interval PR diperoleh

dengan mengukur jarak dari awal gelombang P

hingga awal gelombang R. Waktukompleks QRS

diperoleh dengan pengukuran jarak dari akhir

gelombang P sampai keakhir gelombang S,

sedangkan interval QT diukur dari akhir

gelombang P hingga akhir gelombang T. Lama

interval PR, QRS, dan QT dengan satuan detik

diukur dengan cara:

Interval = Jarakpengukuran (mm) x 1000 (3)

Kecepatankertas (25 mm/detik)

Besar tegangan gelombang T (milivolt)

diperoleh dengan mengukur tinggi masing-

masing gelombang dar ibase line (milimeter)

kemudian dikalikan dengan 0,1 sehingga

diperoleh besar tegangan dalam satuan milivolt.

3. HASIL& PEMBAHASAN 3.1 Standardisasi Ekstrak

Ekstrak etanol 70% daun gambir

(Uncaria gambir (H.) Roxb.) berbentuk pasta

semipadat, berwarna cokelat hitam dengan bau

yang khas serta rasa kelat Hasil standarisasi

menunjukan bahwa ekstrak daun gambir memiliki

rata-rata persen susut pengeringan sebesar

7,8% ± 0,32%; kadar abu total sebesar 0,8% ±

0,04%; dan kadar abu tidak larut asam sebesar

0,33% ± 0,023%.Kadar rata-rata katekin pada

ekstrak etanol 70% daun gambir sebesar 49,86%

± 2,3%.

3.2 Elektrokardiogram Tikus Normal

Gambar 2. Elektrokardiogram Tikus Normal

Hasil EKG tikus normal pada penelitian

ini menunjukan bahwa gelombang P, gelombang

R serta gelombang T mengarah positif,

sedangkan gelombang Q sering tidak muncul.

Gelombang T berujung lancip, berbentuk

asimetris, dan terbentuk langsung dari

gelombang S tanpa berhenti pada base-line.

Namun, gelombang T akan menurun dengan

perlahan bahkan hingga awal gelombang P.

Hasil elektrokardiogram tikuspada penelitian ini

sesuai dengan penelitian sebelumnya.[16][17]

Pada gambar 2 dapat terlihat bahwa laju

jantung kelompok negatif tidak ada perbedaan

dengan kelompok normal. Hal ini membuktikan

bahwa induksi hipertensi NaCl meningkatkan

tekanan darah melalui peningkatan stroke

volume bukan peningkatan laju jantung.[18]

Page 28: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

17 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

3.3 Laju Jantung

Gambar 3. Grafik laju jantung rata-rata hari ke-

21 dan 28. * P<0,05 terhadap kelompok normal

Dari gambar 2 juga terlihat bahwa pemberian

dosis 3 selama 7 dan 14 hari dapat menurunkan

denyut jantung secara bermakna. Efek

penurunan laju jantung oleh dosis 3 diduga

akibat mekanisme katekin sebagai penghambat

ACE (Angiotensin Converting Enzyme) non-

spesifik.[10][11]ACE inhibitor dapat meningkatkan

aktivitas parasimpatis sehingga mempengaruhi

denyut jantung.[19]

3.4. Interval PR

Gambar 4. Grafik interval PR rata-rata hari ke-21

dan 28. * P<0,05 terhadap kelompok normal

Pada gambar 3 terlihat bahwa pemberian

dosis 3 ekstrak daun gambir 800 mg/BB selama

7 dan 14 hari dapat memperpanjang interval PR

secara bermakna. Interval PR dipengaruhi oleh

laju denyut jantung, apabila denyut jantung

melambat maka interval PR akan lebih

panjang.[20][21]. Hasil perpanjangan interval PR ini

sejalan dengan efek penurunan laju jantung yang

ditunjukan oleh dosis 3.

3.5 Interval QRS

Gambar 5. Grafik interval QRS rata-rata hari ke-

21 dan 28. * P<0,05 terhadap kelompok normal

Interval QRS memiliki arti penting pada

aktivitas listrik jantung karena menggambarkan

penyebaran impuls di seluruh ventrikel.[20] Pada

gambar 4 terlihat bahwa pemberian perlakuan

selama 7 dan 14 hari tidak mempengaruhi

interval QRS.

3.6 Interval QT

Gambar 6. Grafik interval QT rata-rata hari ke-21

dan 28. * P<0,05 terhadap kelompok normal

Interval QT menggambarkan lamanya

aktivitas depolarisasi dan repolarisasi

ventrikel.Interval QT dipengaruhi oleh laju denyut

jantung, apabila denyut jantung melambat maka

interval QT akan lebih panjang.[20] Pada gambar

5 terlihat bahwa pemberian dosis 3 ekstrak

Page 29: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

18

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

800mg/BB selama 7 hari dapat memperpanjang

interval QT. Hasil perpanjangan interval QT ini

sejalan dengan efek penurunan laju jantung yang

ditunjukan oleh dosis 3.

3.7 Tegangan T

Gambar 6. Grafik tegangan T rata-rata hari ke-21

dan 28. * P<0,05 terhadap kelompok normal

Pada gambar 6 terlihat bahwa pemberian

dosis 3 selama 7 hari dapat meningkatkan

tegangan T. Peningkatnya tegangan T

mengindikasi adanya hiperkalemia.[20][21]Hal ini

dapat disebabkan karena efek dari katekin

sebagai penghambat ACE (Angiotensin

Converting Enzyme) non-spesifik yang terdapat

pada ekstrak daun gambir. Penghambat ACE

diketahui dapat menyebabkan hiperkalemia.[22]

4. SIMPULAN Pemberian ekstrak etanol 70% daun

gambir (Uncaria gambir (H.) Roxb) dosis 800

mg/BB pada tikus hipertensi secara oral selama

7 hari dapat menurunkan laju jantung,

meningkatan tegangan T, memperpanjang

interval PR, dan interval QT. Sedangkan,

pemberian ekstrak dosis 800 mg/BB selama 14

hari dapat menurunkan laju jantung dan

memperpanjang interval PR.Penggunaan ekstrak

daun gambir pada dosis 800 mg/BB sebagai

antihipertensi perlu pengawasan karena dapat

mempengaruhi aktivitas listrik jantung.

5. SARAN Perlu penelitian lebih lanjut mengenai

senyawa spesifik ekstrak etanol 70% daun

gambir (Uncaria gambir (H.) Roxb) yang

mempengaruhi aktivitas listrik jantung dan

mekanismenya.

DAFTAR PUSTAKA [1]. Supardi, S., Nurhadiyanto, F., WittoEng, S.

Penggunaanobat tradisional buatan pabrik

dalam pengobatan sendiri di

Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia

2003; 2(4).

[2]. Sari, L. O. R. Pemanfaatan obat tradisional

dengan pertimbangan manfaat dan

keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian

2006; (1): 7-1.

[3]. Departemen Kesehatan Republik Indonesi.

Pedoman pengendalian penyakit jantung

dan pembuluh darah. Depkes RI 2009; 19-

15.

[4]. Brunton, Laurence., Parker, Keith.,

Blumenthal, Donald.,Buxton, Ian. Goodman

&Gilman’s: manual of pharmacology and

therapeutics. United States: The McGraw-

Hill Companies; 2008.p. 562-546.

[5]. Talha, Jawaid., Priyanka, Maddheshiya.,

Akanksha, Awasthi. Hypertension and

herbal plants. International Research

Journal of Pharmacy 2011; 2(8): 30-26.

[6]. Badan Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia. Monografi ekstrak

tumbuhan obat indonesia. Vol.2. BPOM RI

2006;61-56.

[7]. Sugiyama, S. Pharmacological action of

gambir. Yakugaku Zasshi Journal of

Japanesse History of Pharmacy2005;(40):

33-29.

[8]. Anggraini, T., Tai, A., Yoshino, T., Itani, T.

Antioxidative activity and catechin content of

Page 30: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

19 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

four kinds of Uncariagambir extracts from

West Sumatra, Indonesia. African Journal of

Biochemistry Research 2011; 5(1); 38-33.

[9]. Dhalimi, Azmi. Permasalahan gambir

(Uncaria gambir) di Sumatera Barat dan

alternatif pemecahannya. Vol 5. Perspektif

2006; 59-46.

[10]. Liu, J. C., et al. Antihypertensive effects of

tannins isolated from traditional Chinese

herbs as non-specific inhibitors of

angiontensin converting enzyme. Life

sciences 2003; 73(12); 1555-1543.

[11]. Black, H. R., et al. A comparison of the

treatment of hypertension with Chinese

herbal and Western medication. Journal of

clinical hypertension 1986; 2(4); 371.

[12]. Nafrialdi. (2009). Antihipertensi. dalam

Farmakologi dan Terapi. Vol 5. Jakarta:

Penerbit Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.

360-341.

[13]. Corwin, E. J. Buku Saku Patofisiologi(E.

Pakaryaningsih, Penerjemah). Jakarta:

Buku Kedokteran EGC 2001.p. 359-339.

[14]. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari

Selke Sistem (Brahm U, Penerjemah).

Ed.2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

2001,p. 265-258.

[15]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Farmakope Herbal Indonesia. Vol 1.

Jakarta: Depkes RI 2009, 29-24.

[16]. Ho, D., et al. Heart rate and

electrocardiography monitoring in

mice. Current protocols in mouse biology

2011; 139-123.

[17]. Tampubolon, Sari, Agustina. Pengaruh

penyuntikan perasan buah

Averrhoacarambola Terhadap

elektrokardiogram tikus putih

(Rattusnorvegicus). [Skripsi] Program

StudiBiologi: Universitas Indonesia; 1994.

[18]. Martha, R. Frinda, Ayu. Pengembangan

model tikus hipertensi yang diinduksi

dengan propilthiourasil, NaCl, dan adrenalin

(seri online). [Skripsi] Sekolah Farmasi:

Institut Teknologi Bandung (diunduh pada

22 Februari 2013). Tersedia di

http://digilib.itb.ac.id.

[19]. MacFadyen, R. J.,Craig. S.,Allan, D.

Aldosterone blockade reduces vascular

collagen turnover, improves heart rate

variability and reduces early morning rise in

heart rate in heart failure

patients. Cardiovascular Research

1997: 35(1); 34-30.

[20]. Widjaja, Soetopo. EKG praktis. Jakarta:

Binarupa Aksara 2009. 32-17.

[21]. Bekken, N.J. et al. ECG interpretation

madeincredibly easy .Ed.2. Pennsylvania:

Springhouse Corporation 2001.p. 45-51.

[22]. Reardon, L. C., Macpherson, D. S.

Hyperkalemia in outpatients using

angiotensin-converting enzyme inhibitors:

how much should we worry?.Archives of

Internal Medicine 1998: 158(1); 26.

Page 31: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

20

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Penelitian

ABSTRAK

Infeksi bakteri adalah salah satu penyakit yang paling banyak menyerang manusia yang ditangani dengan pemberian antimikroba. Namun permasalahan dalam agen antimikroba adalah timbulnya resistensi bakteri terhadap antimikroba sehingga dapat membatasi penggunaan antimikroba serta mengurangi potensinya. Salah satu agen antimikroba yang luas digunakan adalah kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol yang bekerja melalui penghambatan metabolisme folat dalam biosintesis asam nukleat melalui penghambatan enzim dihydrofolate reductase (DHFR) dan dihydropteroate synthase (DHPS). Meskipun telah dikombinasi, resistensi bakteri akan trimetoprim dan sulfametoksazol terus meningkat sehingga perlu dilakukan modifikasi terhadap salah satunya untuk menurunkan resistensi maupun meningkatkan potensinya. Dalam karya tulis ini dijelaskan modifikasi struktur terhadap trimetoprim menggunakan tiga ligan standar, yaitu trimetoprim, ligan 53R, dan ligan N22. Ligan standar dan ligan modifikasi selanjutnya ditambatkan pada enzim DHFR terkompleks NADPH bakteri Staphylococcus aureus yang diperoleh dari bank data protein dengan kode 3FRB menggunakan software Autodock Tools 4.2 terintegrasi dalam PyRx Virtual Screening Tools. Hasil penambatan (docking) divisualisasi menggunakan program PyMOL dan LIGPLOT+ Version v.1.4.4. Setelah itu,pada ligan modifikasi dilakukan overlay terhadap ligan standar masing-masing. Dari hasil docking diperoleh energi ikatan antara ligan dengan enzim DHFR terkompleks NADPH. Afinitas terbaik ditunjukkan oleh ligan dengan energi ikatan terendah yaitu modifikasi terhadap ligan N22 berupa 6-ethyl-5-(3-(5-ethyl-2-iodophenyl)prop-1-ynyl)pyrimidine-2,4-diamine dengan energi ikatan sebesar -10,36 kkal/mol. Kata kunci: afinitas, docking, energi ikatan, enzim DHFR, trimetoprim ABSTRACT

Bacterial infections are one of the most commondiseases which can be cured by antimicrobial therapy. However, antimicrobial therapy can cause bacterial resistance that can lead to limitation of its use and reduction of its potency. A combination of trimethoprim and sulfamethoxazole (co-trimoxazole) is one of the antimicrobial agents commonly used worldwide. It works by blocking folate metabolism through inhibition of dihydrofolate reductase (DHFR) and dihydropteroate synthase (DHPS). Eventhough the combination had shown synergistic effects, bacterial resistance of the drug has continued to increase. Hence, structural modification need to be performed to reduce bacterial resistance and increase its potency. Structural modification of trimethoprim were performed by using three standard ligands, those were trimethoprim, 53R ligand, and N22 ligand. Standard ligands and modification ligands were docked into DHFR – NADPH complex enzyme from Staphylococcus aureus obtained from protein data bank encoded 3FRB by using Autodock Tools 4.2 integrated in PyRx Virtual Screening Tools. Docking results were visualized using PyMOL and LIGPLOT+ Version v.1.4.4. Overlay towards the standard ligand was performed to each modification ligand using the same program. Binding energy between ligand and DHFR – NADPH complex enzyme was obtained. The best affinity was shown by the lowest binding energy, which was the modification of N22 ligand, 6-ethyl-5-(3-(5-ethyl-2-iodophenyl)prop-1-ynyl)pyrimidine-2,4-diamine with a binding energy of -10,36 kcal/mol.

Keywords: affinity, docking, binding energy, DHFR, trimethoprim

MODIFIKASI STRUKTUR DAN PENAMBATAN MOLEKULAR OBAT ANTIMIKROBA GOLONGAN INHIBITOR DIHYDROFOLATE REDUCTASE (DHFR)

Agus Al Imam Bahaudin*, Dessy Dian Septysari, dan Nazulanita Rahma

Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, 16425 *Corresponding author’s email : [email protected]

Page 32: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

21 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

1. PENDAHULUAN Dewasa ini, penyakit yang disebabkan

infeksi bakteri semakin meluas. Infeksi bakteri ini

menyerang di banyak sistem dalam tubuh

manusia, termasuk saluran pencernaan, saluran

pernafasan, saluran kemih, dan lain-lain. Lini

pertama pengobatan infeksi ini adalah

penghambatan terhadap mikroba penyebab

infeksi tersebut menggunakan obat antibiotik,

antimikroba, dan sejenisnya. Contoh bakteri

patogen yang dapat menimbulkan infeksi pada

manusia adalah golongan Streptococci,

Staphylococci, E. coli, dan lain-lain. (8)

Salah satu obat antimikroba yang selama

ini banyak digunakan adalah trimethorim yang

dikombinasikan dengan sulfametoksazol

(kotrimoksazol). Efek sinergis kedua obat

tersebut dalam penghambatan metabolisme folat

sebagai bagian dari biosintesis asam nukleat dan

protein dikombinasikan untuk meningkatkan

potensi antimikroba serta menghindari resistensi.

Namun saat ini, resistensi bakteri terhadap kedua

golongan tersebut telah banyak dilaporkan

sehingga membatasi penggunaan keduanya.

Meski begitu, kotrimoksazol tetap disukai sebagai

lini pertama agen antimikroba (10).

Resistensi terhadap bentuk kombinasi

telah dilaporkan dalam bentuk in vivo. Prevalensi

resistensi E. coli dan S. aureus terhadap

kotrimoksazol meningkat pada pasien yang diberi

pengobatan dengan sediaan kombinasi tersebut.

Selama lima tahun penggunaan, resistensi S.

aureus meningkat dari 0,4% menjadi 12,6%(6).

Dilaporkan pula terjadinya resistensi pada

beberapa jenis mikroba Gram negatif.

Sekelompok peneliti Antimicrobial Resistance in

Indonesia (AMRIN) dalam penelitian di RS Dr.

Soetomo Surabaya juga mendapatkan tingkat

resistensi antibiotik E. coli dan S. aureus pada

penyakit infeksi lini pertama mencapai 90% dan

pada penyakit infeksi lini kedua mencapai 50%(5).

Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk

mendapatkan model modifikasi dari inhibitor

enzim dihydrofolate reductase dengan afinitas

terbaik melalui penambatan molekular obat

(docking).

2. METODE PENELITIAN Metode yang dilakukan untuk mencari

ligan terbaik sebagai inhibitor enzim dihydrofolate

reductase adalah dengan menggunakan 3

pembanding yaitu trimetoprim sebagai ligan

standar 1 (A), ligan 53R sebagai ligan standar 2

(B) dan ligan N22 sebagai ligan standar 3 (C).

Dari masing-masing ligan standar tersebut

dilakukan modifikasi untuk mencari modifikasi

terbaik dengan cara membandingkan energi

ikatan antara senyawa modifikasi dengan

senyawa aslinya (ligan standar).

Ligan standar A(1) (Trimetoprim) diperoleh

dengan cara visualisasi 3D dengan

menggunakan software Marvin Beans,

sedangkan ligan standar B dan C diperoleh dari

bank data protein dengan kode ligan 53R(13)

(ligan standar B) dan N22 (12)(ligan standar C).

Ligan standar B dan C pada dasarnya juga

merupakan modifikasi lanjutan dari trimetoprim

yang telah diteliti. Enzim DHFR yang digunakan

diperoleh dari sumber yang sama dengan kode

protein 3FRB. Kode protein tersebut merupakan

enzim DHFR yang telah terkompleks NADPH

dan Trimetoprim. Oleh karena itu sebelum

ditambatkan strukturnya, enzim tersebut

dihilangkan trimetoprimnya terlebih dahulu

dengan Autodock Vina.

Dalam desain modifikasi struktur,

dilakukan subtitusi pada rantai samping masing-

masing ligan standar (Tabel 1). Subtitusi

Page 33: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

22

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

dimaksudkan untuk menambah hidrofobisitas

karena loka aksi dari enzim DHFR berupa pocket

hidrofobik. Peningkatan hidrofobisitas diharapkan

dapat menambah interaksi antara ligan dengan

enzim DHFR sehingga afinitasnya pun semakin

meningkat.

Validasi terhadap enzim DHFR dan

metode yang digunakan dilakukan dengan

melihat nilai RMSD masing-masing ligan standar.

Nilai RMSD terendah yang diperoleh pada

masing-masing standar adalah < 2 Å, yaitu

sebesar 1.097 Å pada ligan A, 1.043 Å pada

ligan B, dan 1.289 Å pada ligan C.Software

docking yang digunakan adalah Autodock Tools

4.2 dan PyRx-Virtual Screening Tool. Sedangkan

software visualisasi yang digunakan adalah

PyMOL dan LigPlot+ Version v.1.4.4.Koordinat

docking (grid center) yang digunakan yaitu

koordinat x = 24,7389, koordinat y = 12,0330,

dan koordinat z = 38,9155. Sedangkan

parameter dockingyang digunakan adalah

Lamarckian Genetic Algorithm (GA) dengan

number of GA runs sebanyak 100 kali, number of

individuals in population sebanyak 100,

maximum number of energy evaluationsyaitu

250000 (short), rate crossover sebesar 0,8, rate

of gene mutation 0,02, dan subparameter lainnya

disesuaikan dengan default.

Ligan yang diperoleh dipreparasi dengan

mengubah format file .pdb menjadi format file

.pdbqt. Masing-masing ligan ditambatkan

terhadap enzim DHFR dengan menggunakan

software Autodock Tools 4.2 yang terintegrasi

dalam PyRx-Virtual Screening Tool dengan

menggunakan Autogrid Dimensions (koordinat

grid center) dan parameter Lamarckian Genetic

Algorithm seperti yang telah

disebutkan.Kemudian dilakukan autogrid dengan

parameter grid center diatas yang dilanjutkan

dengan autodock dengan parameter Lamarckian

GA seperti diatas.Akan diperoleh nilai energi

ikatan (binding energy) dengan satuan kkal/mol

yang merupakan energi ikatan hasil penambatan

antara ligan obat dengan enzim DHFR

(penjumlahan dari intermol energy, internal

energy, torsional energy, dan unbound energy).

Selanjutnya dilakukan visualisasi terhadap ligan

hasil modifikasi menggunakan software PyMOL

dan LigPlot.

Parameter hidrofobisitas pada ligan dilihat

dari nilai Log P. Log P dihitung dengan

menggunakan software Marvin Beans. Semakin

tinggi nilai Log P, maka ligan tersebut semakin

lipofil.

Tabel 1.Desain modifikasi struktur ligan A, B, dan C Ligan Substituen Rumus Bangun

A R3 R4 R5

Ligan A OCH3 OCH3 OCH3

Ligan A1 (C6H5)(CH3)2I - OCH3

Ligan A2 I CH2CH3 CH2CH3

Page 34: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

23 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

B R1 R2 R3 R4 R5

Ligan B - - - - -

Ligan B1 CH3 - - - CH3

Ligan B2 - CH3 - - CH3

C R1 R2

Ligan C OCH3 OCH3

Ligan C1 I CH2CH3

Ligan C2 OCH3 I

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Visualisasi Enzim Dihydofolat reductase (DHFR)

Enzim Dihydrofolat reductase (DHFR)

berperan mereduksi dihidrofolat menjadi

tetrahidrofolat. Enzim DHFR yang digunakan

adalah enzim DHFR yang telah dikompleks

dengan kofaktor NADPH. Berikut visualisasi

enzim DHFR dan lokasi site active dari enzim

DHFR.

Gambar 1. Visualisasi Enzim DHFR yang

dikompleks dengan NADPH dengan menggunakan software PyMOL

Selama percobaan, visualisasi NADPH

dihilangkan untuk mempermudah dalam hal

melihat interaksi antara ligan hasil modifikasi

dengan reseptor enzimnya serta melihat

kemiripan loka aksi dan posisi antara ligan hasil

modifikasi dengan ligan standarnya.

Untuk menentukan apakah ligan

modifikasi memiliki afinitas tinggi terhadap

reseptor yaitu enzim DHFR atau tidak, digunakan

nilai energi ikatan yang diperoleh dari

penambatan struktur. Semakin rendah energi

ikatan antara ligan dengan reseptor, maka

semakin mudah pula ligan berikatan dengan

reseptor sehingga afinitasnya makin tinggi. Nilai

energi ikatan masing-masing ligan modifikasi

dibandingkan dengan ligan standarnya.

Perbandingan Hasil Docking Ligan Standar A (Trimetoprim) dengan Ligan Modifikasi dari Ligan A

Trimetoprim yang telah disetujui

penggunaannya sebagai antimikroba golongan

inhibitor DHFR digunakan sebagai ligan standar

1.

Page 35: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

24

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Gambar 2. Hasil docking ligan A menggunakan Software Pymol (kiri) dan Software Ligplot

(kanan)

Gambar 3. Hasil Docking ligan A2 menggunakan Software PyMOL (kiri) dan Software LigPlot

(kanan)

Tabel 2. Nilai energi ikatan pada modifikasi Ligan A

Ligan Substituen Energi Ikatan (kkal/mol)

R3 R4 R5 Ligan A OCH3 OCH3 OCH3 -9,03 Ligan A1 (C6H2)(CH3)2F - OCH3 -9,83 Ligan A2 I CH2CH3 CH2CH3 -9,95

Page 36: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

25 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Gambar 4. Overlay Ligan A2 terhadap Ligan A dengan Software PyMOL (Kiri/Trimetoprim-Biru, Ligan

A2-Merah) dan Software LigPlot (Kanan)

Substitusi R4 (para) akan menghasilkan

terbentuknya ikatan hidrofobik sehingga mampu

meningkatkan kecenderungan interaksi antara

ligan dengan enzim DHFR. Adanya susbtitusi

halogen pada posisi ini akan meningkatkan

afinitas ikatan antara ligan dengan enzim

sehingga ligan A1 dan A2 memiliki nilai energi

ikatan lebih rendah dari ligan A (standar).Meski

begitu, lipofilisitas juga ditentukan oleh substituen

lain yang terletak pada posisi R3 dan R5.

Parameter hidrofobisitas ini dilihat dari Log P di

mana Log P dari ligan A adalah sebesar 1,05;

ligan A1 sebesar 4,31; dan ligan A2 sebesar

4,52. Dapat dilihat bahwa substitusi gugus

halogen dan alkil yang terdapat di gugus metoksi

pada trimetoprim akan meningkatkan

hidrofobisitas, terutama jika ketiga gugus

metoksinya diganti dengan gugus lain yang

meningkatkan lipofilisitas seperti halogen atau

alkil.

Sedangkan substitusi pada R3 dan R5

(meta) terbatas dalam hal ukuran karena adanya

protein dan kofaktor. Substitusi pada gugus ini

akan memberikan pengaruh sterik pada ligan.

Hal ini terlihat pada perbedaan antara ligan A1

dan A2 di mana pada ligan A1 terdapat substitusi

gugus bulky yaitu (C6H3)(CH3)2F pada posisi

meta yang menyebabkan ketidaksesuaian

dimensi molekular dengan loka aksi sehingga

nilai ikatan energi ligan A1 lebih rendah

dibandingkan ligan A2.

Perbandingan Hasil Docking Ligan Standar B (53R) dengan Ligan Modifikasi dari Ligan B

Ligan Standar 2 diambil dari Protein Data

Bankdengan kode ligand 53R yang memiliki

rumus kimia C22H22N4O. Ligand 53R, selanjutnya

disebut ligand B, diambil sebagai salah satu

standar karena memberikan hasil energi ikatan

yang tergolong rendah setelah ditambatkan pada

makromolekul DHFR-NADPH yang digunakan.

Karena itu, ligand ini diambil sebagai salah satu

standar untuk dimodifikasi. Dari hasil

penambatan molekul, diperoleh dua ligan

modifikasi terbaik dari ligan standar B. Keduanya

memiliki energi ikatan yang lebih rendah

dibandingkan energi ikatan pada ligan B.

Page 37: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

26

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Gambar 5. Hasil docking Ligan B menggunakan Software PyMOL (kiri) dan Software LigPlot (kanan)

Gambar 6. Hasil docking Ligan B1 menggunakan Software PyMOL (Kiri) dan Software LigPlot

(Kanan)

Tabel 3. Nilai energi ikatan pada modifikasi Ligan B Nama Ligan Substituen Energi Ikatan

(kkal/mol)

Ligan B R1-R5 = -H -9,6 Ligan B1 R1 dan R5 = -CH3

R2-R4 = -H -10

Ligan B2 R2 dan R5 = -CH3

R1, R3, R4 = -H -9,88

Page 38: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

27 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Gambar 7. Overlay Ligan B1 terhadap Ligan B dengan Software PyMOL (Kiri/ Ligan B Standar-Ungu,

Ligan B1-Biru) dan Software LigPlot (Kanan)

Adanya propargyl linker (jembatan

propargil) antara cincin 2,4-diaminopiridin dengan

cincin bifenil memaksa cincin bifenil untuk masuk

lebih dalam ke bagian loka aksi hidrofobik

sehingga meningkatkan hidrofobisitas(7). Adanya

cincin bifenil subtitusi meta dengan jembatan

propargil memiliki selektivitas tinggi terhadap

enzim DHFR. Cincin fenil distal (fenil yang tidak

terikat langsung dengan propargyl linker) akan

masuk lebih dalam ke bagian loka aksi hidrofobik

sehingga menghasilkan interaksi hidrofobik yang

sesuai(7).

Peningkatan nilai energi ikatan antara

ligan standar dengan ligan modifikasi salah

satunya dipengaruhi oleh peningkatan

hidrofobisitasnya. Namun perbedaan nilai energi

ikatan antara ligan B1 dan ligan B2 tidak

dipengaruhi oleh hidrofobisitas. Hal ini dilihat dari

perhitungan Log P. Log P dari ligan B adalah

5,09; ligan B1 6,03; dan ligan B2 6,03. Dari sini

dapat dilihat bahwa substitusi dimetil pada posisi

orto maupun meta pada ligan B akan

meningkatkan hidrofobisitas dengan nilai yang

setara.

Perbedaan pada nilai energi ikatan

antara dua ligan modifikasi terletak pada

pengaruh sterik, yaitu pada posisi substitusi

metil. Ligan B1 tersubstitusi metil pada dua posisi

orto sedangkan ligan B2 tersubstitusi metil pada

posisi orto dan meta. Modifikasi pada ligan B1

menghasilkan nilai energi yang lebih rendah

dibanding ligan B2. Sehingga dapat dikatakan

bahwa substitusi dimetil pada posisi R1 dan R5

lebih memberikan kesesuaian dimensi molekuler

dibanding substitusi dimetil pada posisi R2 dan

R5.

Perbandingan Hasil Docking Ligan Standar C (N22) dengan Ligan Modifikasi dari Ligan C

Ligand Standar 3 diambil dari Protein

Data Bank dengan kode ligand N22 yang

memiliki rumus kimia C17H20N4O2. Ligand N22,

selanjutnya disebut ligand C, diambil sebagai

salah satu standar karena memberikan hasil

energi ikatan yang tergolong rendah setelah

ditambatkan pada makromolekul DHFR

terkompleks NADPH. Karena itu, ligand ini

diambil sebagai salah satu standar untuk

dimodifikasi. Dari hasil penambatan molekul,

Page 39: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

28

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

diperoleh dua ligan modifikasi terbaik dari ligan

standar C. Keduanya memiliki energi ikatan yang

lebih rendah dibandingkan energi ikatan pada

ligan C.

Gambar 8. Hasil Docking Ligan C menggunakan Software PyMOL (Kiri) dan Software LigPlot (Kanan)

Gambar 9. Hasil Docking Ligan C1 menggunakan Software PyMOL (Kiri) dan Software LigPlot

(Kanan)

Tabel 4. Nilai energi ikatan pada modifikasi pada Ligan C Nama Ligan Substituen Energi Ikatan

(kkal/mol)

Ligan C R1&R2 = -OCH3 -9,76 Ligan C1 R1 = -I

R2 = -CH2-CH3 -10,36

Ligan C2 R1 = -OCH3 R2 = -I

-10,3

Page 40: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

29 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Gambar 10. Overlay Ligan C1 terhadap Ligan C dengan Software PyMOL (Kiri/Ligan Standar C-

Orange, Ligan C1-Biru) dan Software LigPlot (Kanan)

Adanya propargyl linker (jembatan

propargil) antara cincin 2,4-diaminopiridin

dengan cincin fenil memaksa cincin fenil untuk

masuk lebih dalam ke bagian hidrofobik active

site sehingga meningkatkan hidrofobisitas(7).

Subtitusi halogen akan menghasilkan

elektronegativitas tinggi dan terbentuk ikatan

hidrogen sehingga meningkatkan aktivitas

inhibisi. Lalu, subtitusi etil lebih baik daripada

metoksi karena mampu meningkatkan interaksi

hidrofobik. Interaksi hidrofobik dinilai dari

parameter Log P. Ligan C menghasilkan nilai

Log P sebesar 2,40; ligan C1 sebesar 4,76;

dan ligan C2 sebesar 3,65. Dari sini dapat

dilihat bahwa ligan C1 memang diperkirakan

memiliki nilai hidrofobisitas yang paling besar

sehingga ligan C2 memiliki nilai energi ikatan

paling baik dibandingkan ligan C lainnya.

4. SIMPULAN Dari masing-masing ligan standar

diambil salah satu hasil modifikasi yang

menghasilkan energi ikatan paling baik (paling

negatif) yaitu ligan A2, B1 dan C1 (lihat tabel

8). Namun, dari ketiga ligan terbaik tersebut

diambil kembali ligan dengan energi ikatan

yang paling rendah di antara semua ligan dan

di antara ligan yang terbaik yang menunjukkan

kecenderungan ikatan dengan reseptor paling

baik yaitu ditunjukkan oleh ligan C1 dengan

rumus struktur dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Ligan C1 (6-ethyl-5-(3-(5-ethyl-2-

iodophenyl)prop-1-ynyl)pyrimidine-2,4-diamine)

Adanya substitusi halogen sebagai

pengganti gugus metoksi pada cincin benzena

yang terikat pada inti pyrimidine mampu

meningkatkan afinitas terhadap enzim DHFR

yang dibuktikan dengan semakin rendahnya

energi ikatan. Semakin elektronegatif suatu

substituen halogen maka energi ikatannya

semakin rendah sehingga di antara substituen

halogen yang energi ikatannya paling rendah

adalah substituen Iodo. Selain itu, adanya

ikatan C rangkap 3 yang menjembatani antara

inti pirimidin dengan benzena akan

Page 41: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

30

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

meningkatkan kecenderungan ikatan antara ligan dengan reseptor semakin baik.

Tabel 5.Perbandingan Energi Ikatan antara Ligan Standar dengan Ligan Modifikasi

No Nama Ligan Nama IUPAC Energi Ikatan

1 Ligan A (Trimetoprim-

standar)

5-[(3,4,5-trimethoxyphenyl)

methyl]pyrimidine-2,4-diamine

-9,03

2 Ligan A1 (modifikasi 1

dari ligan A)

5-{[3-(4-flouro-2,6-dimethylphenyl0-5-

methoxyphenyl]methyl}

pyrimidine-2,4-diamine

-9,83

3 Ligan A2 (modifikasi 2

dari ligan A)

5-[(3,4-diethyl-5-iodophenyl)methyl]

pyrimidine-2,4-diamine

-9,95

4 Ligan B (53R-standar) 5-[(3R)-3-(5-methoxybiphenyl-3-yl)but-1-yn-1-yl]-

6-methylpyrimidine-2,4-diamine

-9.60

5 Ligan B1 (modifikasi 1

dari ligan B)

5-[(3R)-3-(5-methoxybiphenyl-3-yl)but-1-yn-1-yl]-

6-methylpyrimidine-2,4-diamine

-10.00

6 Ligan B2 (modifikasi 2

dari ligan B)

5-[(3R)-3-(5-methoxybiphenyl-3-yl)but-1-yn-1-yl]-

6-methylpyrimidine-2,4-diamine

-9.88

7 Ligan C (N22-standar) 5-(3-(2,5-dimethoxyphenyl)prop-1-ynyl)-6-

ethylpyrimidine-2,4-diamine

-9.67

8 Ligan C1 (modifikasi 1

dari ligan C)

6-ethyl-5-(3-(5-ethyl-2-iodophenyl)prop-1-

ynyl)pyrimidine-2,4-diamine

-10.36

9 Ligan C2 (modifikasi 2

dari ligan C)

5-(3-(3-iodo-6-methoxyphenyl)prop-1-ynyl)-6-

ethylpyrimidine-2,4-diamine

-10.3

DAFTAR PUSTAKA [1] C. Oefner, et al. 2009. S. aureus F98Y

DHFR Complexed with TMP.

http://rcsb.org/pdb/explore/explore.do?struct

ureId=3FRB diakses pada 9 Januari 2013

pukul 17.15

[2] Czekster, Clarissa M.; Vandemeulebroucke,

An ; dan Blanchard, John S. 2011. Kinetic

and Chemical Mechanism of the

Dihydrofolate Reductase from

Mycobacterium tuberculosis. Biochemistry,

2011, 50 (3), pp 367–375

[3] Drug Bank, Open Data Drug & Drug Target

Database. 2013.

http://www.drugbank.ca/drugs/DB00440

diakses pada 10 Januari 2013 pukul 14.20

WIB

[4] Harris, Rodney M. 2009. Using AutoLigand

with AutoDockTools: A Tutorial. California

USA: The Scripps Research Institute

Molecular Graphics Laboratory 10550N

Torrey Pines Rd.

[5] Husada, Dominicus., et al. 2012. Akurasi

Diagnostik Prokalsitonin Sebagai Petanda

Serologis untuk Membedakan Infeksi Bakteri

dan Infeksi Virus pada Anak. Sari Pediatri,

Vol. 13, No. 5, Februari 2012.

[6] Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg.,

G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N. Ornston.

Page 42: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

31 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

[7] J.L., Paulsen., Bendel S.D., Anderson A.C.

2011. Crystal structures of Candida albicans

dihydrofolate reductase bound to propargyl-

linked antifolates reveal the flexibility of

active site loop residues critical for ligand

potency and selectivity. Journal

Chem.Biol.Drug Des. 78: 505-512

[8] Kepro.

http://www.kepro.nl/catalogus/product-

102.html diakses pada 9 Januari 2013 pukul

16.35 WIB

[9] King, Ross D.; Muggletont, Stephen; Lewis,

Richard A.; Sternberg, Michael J. E. 1992.

Drug design by machine learning: The use

of inductive logic programming to model the

structure-activity relationships of

trimethoprim analogues binding to

dihydrofolate reductase. Proc. Natd. Acad.

Sci. USA Vol. 89, pp. 11322-11326,

Biophysics.

[10] P., Huovinen. 2001. Resistance to

trimethoprim-sulfamethoxazole. 2001 Jun

1;32(11):1608-14. Epub 2001 May

4.National Center for Biotechnology

Information, U.S. National Library of

Medicine.

[11] Polshakov, V.I. 2001. Dihydrofolate

reductase: structural aspect of mechanism

of enzyme catalysis and inhibition. Russia

Chemical Bulletin, International Edition, Vol.

50, No. 10, pp. 1733 – 1751.

[12] Protein Data Bank. 5-[3-(2,5-

dimethoxyphenyl)prop-1-yn-1-yl]-6-

ethylpyrimidine-2,4-diamine.

http://rcsb.org/pdb/ligand/ligandsummary.do

?hetId=N22 diakses pada 9 Januari 2013

pukul 17.10

[13] Protein Data Bank. 5-[(3R)-3-(5-

methoxybiphenyl-3-yl)but-1-yn-1-yl]-6-

methylpyrimidine-2,4-diamine.

http://rcsb.org/pdb/ligand/ligandsummary.do

?hetId=53R diakses pada 9 Januari 2013

pukul 17.05

[14] Ryan, K.J., Champoux, J.J. S. Falkow, J.J.

Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt, dan

C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology An

Introduction to InfectiousDiseases. 3rd ed.

Connecticut: Appleton&Lange.

[15] Todar, Kenneth. Staphylococcus (page 2).

http://textbookofbacteriology.net/staph_2.ht

ml diakses pada 9 Januari 2013 pukul 17.30

WIB

[16] U.S. Food and Drug Administration. 2012.

BBB - Staphylococcus

aureushttp://www.fda.gov/food/foodsafety/fo

odborneillness/foodborneillnessfoodbornepa

thogensnaturaltoxins/badbugbook/ucm0700

15.htm diakses pada 10 Januari 2013 pukul

15.15 WIB

Page 43: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

32

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Penelitian

ABSTRAK

Bonggol pisang kepok telah diketahui khasiatnya sebagai penumbuh rambut secara empiris. Dalam penelitian ini, dilakukan ekstraksi terhadap bonggol pisang dengan pelarut metanol. Ekstrak pekat metanol yang dihasilkan lalu diformulasikan dalam sediaan tonik penumbuh rambut. Sediaan kemudian diujicobakan ke tikus putih jantan galur Sprague Dawley dengan membandingkan dengan kontrol negatif, kontrol positif, dan kontrol normal. Data panjang rambut diukur pada hari ke 7, 14, dan 21. Hasil pengamatan pada masing-masing minggu menunjukkan bahwa metanol memiliki khasiat sebagai penumbuh rambut. Uji statistika dilakukan dengan Uji Kruskal-Wallis dan diperoleh bahwa terdapat perbedaan bermakna dalam aktivitas menumbuhkan rambut antar kelompok (p<0.05). Pada hari ke-21, rambut dicukur dan ditimbang untuk melihat aktivitas ekstrak dalam melebatkan rambut. Dari hasil uji statistika menggunakan ANOVA ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antar kelompok dalam hal aktivitas melebatkan rambut tikus uji (p>0.05). Kata kunci: bonggol pisang kepok, ekstrak, uji aktivitas, tonik penumbuh rambut

ABSTRACT

Banana’s weevil had empirically well known as hair growth promotor. The aim of this study is to determine hair growth promotor activity of banana’s weevil from methanol extract. Banana’s weevil extract was formulated into hair tonic and its pharmacological effect was tested in Sprague Dawley male rats by comparing the results with negative control, positive control, and normal control. Hair length was measured in day 7, day 14, and day 21. According to the result, methanol extract of banana’s weevil had pharmacological effect in stimulating hair growth. Statistically, the extract had significant difference in enhancing hair growth between groups using Kruskal-Wallis test (p<0.05). The hair was shaved and measured to determine extract’s activity in promoting hair growth in day 21. Meanwhile, statistic test using ANOVA showed that there was no significant difference between groups in promoting hair growth of rats (p>0.05). Keywords: banana’s weevil, extract, activity test, hair tonic

UJI AKTIVITAS SEDIAAN TONIK PENUMBUH RAMBUT EKSTRAK METANOL DARI BONGGOL PISANG KEPOK (Musa balbisiana) PADA TIKUS PUTIH JANTAN Nazulanita Rahma*, Noorviana Farmawati, Agung Ismal Saleh Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Depok, 16424 *Corresponding author’s email: [email protected]

Page 44: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

33 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

1. PENDAHULUAN Alopesia atau kebotakan merupakan

permasalahan yang umum dialami masyarakat.

Beberapa cara tradisional dapat digunakan untuk

memecahkan masalah ini. Namun, seiring

dengan perkembangan zaman, aktivitas manusia

yang semakin padat dan mobilitasnya pun

semakin tinggi. Tentunya cara tradisional kurang

aplikatif. Oleh karena itu, dibutuhkan metode lain

yang efektif, praktis, serta tidak dibutuhkan waktu

yang lama dalam aplikasinya.

Berdasarkan penelitian Vany Priskila

(2012)5 diketahui bahwa ekstrak air bonggol

pisang dapat digunakan sebagai penumbuh

rambut. Penelitian dilakukan menggunakan 5

formula yang diuji cobakan pada tikus galur

Spraque Dawley yaitu kontrol normal, placebo,

ekstrak 2%, 4%, 8%, dan pemberian minoxidil.

Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa

panjang pertumbuhan rambut pada pemberian

ekstrak sebanyak 4% hampir menyamai hasil

pertumbuhan rambut dengan pemberian

minoxidil, yaitu penumbuh rambut konvensional

yang telah banyak digunakan masyarakat,

sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa

penggunaan ekstrak bonggol pisang memiliki

efektivitas hampir sama seperti pada

penggunaan obat penumbuh rambut.

Sementara itu, pada tahun 2009, Suraj

R. et al.8 menguji ekstrak pada Prunus dulcis

dalam aktivitasnya sebagai penumbuh rambut.

Ekstraksi dibuat dalam beberapa pelarut

berdasarkan kepolarannya, yaitu petroleum eter,

kloroform, metanol, dan air. Hasilnya adalah

ekstrak petroleum eter Prunus dulcis

menunjukkan aktivitas farmakologi tertinggi

sebagai penumbuh rambut. Dengan dasar bahwa

aktivitas farmakologi sebagai penumbuh rambut

berasal dari kandungan kimia yang sama atau

setidaknya berasal dari golongan senyawa yang

sama yang memiliki sifat yang sama, maka

penyusun bermaksud meneliti aktivitas

farmakologi sebagai penumbuh rambut dari

ekstrak metanol bonggol pisang Musa balbisiana

dalam sediaan tonik untuk memudahkan dalam

penggunaan sehari-hari.

2. METODE 2.1. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian

ini antara lain bonggol pisang, metanol, etanol 96

%, propilenglikol, natrium metabisulfit, metil

paraben, propil paraben, menthol, aquadest.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini

antara lain penguap putar, alat refuks, dan alat-

alat gelas.

2.2. PROSEDUR PENELITIAN 2.2.1. Prosedur Pembuatan Ekstrak Metanol

dari Bonggol Pisang Kepok Sebanyak 300 g bonggol pisang kepok

yang telah dipotong dimasukkan ke dalam labu

Erlenmeyer 2000 ml pada alat refluks kemudian

ditambahkan 1200 ml metanol. Ekstraksi

dilakukan 3 kali. Ekstrak yang diperoleh

dicampur, kemudian diuapkan hingga diperoleh

ekstrak pekat.

2.2.2. Prosedur Formulasi Sediaan Tonik Penumbuh Rambut

Komposisi bahan dalam formulasi

sediaan tonik penumbuh rambut tertera pada

tabel 1.

Page 45: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

34

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Tabel 1. Komposisi Sediaan Tonik Penumbuh Rambut No. Nama Bahan Presentase Bahan

(%) 1. Ekstrak bonggol pisang kapok 4 2. Etanol 96% 30 3. Propilen glikol 15 4. Na metabisulfit 0,01 5. Metil paraben 0,1 6. Propil paraben 0,01 7. Air 50,58

Natrium metabisulfit dilarutkan dalam 5

ml aquadest kemudian ditambahkan ekstrak

pekat bonggol pisang yang telah diperoleh. Metil

paraben dan propil paraben masing – masing

dilarutkan dalam etanol sebanyak 5 ml, kemudian

kedua larutan dicampur. Menthol dilarutkan

dalam larutan sebelumnya lalu ditambahkan

propilenglikol sedikit demi sedikit. Larutan ekstrak

bonggol pisang dicampur dengan larutan berisi

propil paraben dan metil paraben hingga semua

bahan tercampur homogen. Saring jika perlu.

2.2.3. Prosedur Uji Aktivitas Sediaan Tonik

pada Hewan Coba Tikus putih jantan yang akan digunakan

diaklimatisasi terlebih dahulu selama 2 minggu,

kemudian tikus tersebut dibagi menjadi 4

kelompok perlakuan antara lain kontrol normal,

kontrol positif, kontrol negatif, kelompok yang

diberikan sediaan tonik rambut. Pada kelompok

kontrol normal tikus tidak dioleskan bahan yang

diujikan, pada kelompok kontrol positif tikus

dioleskan minoksidil 2%, pada kontrol negatif

tikus dioleskan sediaan tonik yang tidak

mengandung bahan aktif. Pada setiap

kelompoknya terdiri dari 4 ekor tikus.

Rambut pada bagian punggung masing-

masing tikus dicukur dengan alat pencukur

rambut dengan luas 2x2 cm2. Setelah diperoleh

rambut yang pendek, lalu dioleskan krim

depilatori selama 3-5 menit pada bagian yang

dicukur. Kemudian rambut tikus yang masih

tersisa dibersihkan dengan menggunakan

aquadest. Tikus didiamkan selama 24 jam

kemudian dioleskan bahan yang akan diujikan

sebanyak 1 ml. Pengamatan terhadap panjang

rambut dilakukan pada hari ke-7, ke 14, dan ke-

21. Pengamatan terhadap ketebalan rambut

dilakukan dengan menghitung bobot rambut rata-

rata.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil formulasi sediaan

tonik penumbuh rambut dengan bahan aktif

ekstrak bonggol pisang diperoleh sediaan tonik

yang berwarna kecoklatan yang jernih. Pada uji

aktivitas penumbuh tambut yang diujicobakan

pada tikus putih jantan selama tiga minggu,

ekstrak metanol bonggol memiliki khasiat

penumbuh rambut. Berikut grafik pertumbuhan

rambut pada tikus putih jantan sebagai hewan

coba :

Page 46: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

35 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Gambar 1. Grafik rata-rata panjang rambut tikus pada hari ke-7, 14, dan 21

Pada minggu pertama, rambut tikus

yang diolesi ekstrak metanol lebih panjang

dibandingkan kontrol positif. Pada minggu

kedua, perbedaan panjang tersebut makin

jelas terlihat, walau pada minggu ketiga rata-

rata panjang rambut antara ekstrak metanol

dan kontrol positif hampir sama. Berdasarkan

grafik rata-rata pertumbuhan rambut dapat

dilihat bahwa ekstrak metanol memiliki

aktivitas penumbuh rambut.

Pada masing-masing waktu

pengamatan, data yang diperoleh diuji secara

statisitik, namun pada tiga kali pengamatan

tersebut data yang diperoleh tidak terdistribusi

normal dan/atau tidak homogen sehingga

tidak dapat diuji dengan Uji ANOVA. Uji

kemudian dilakukan dengan uji Kruskal-Wallis

dan diperoleh bahwa terdapat perbedaan

secara bermakna dalam aktivitas

menumbuhkan rambut pada tikus putih jantan

dari semua zat uji yang dicobakan (p<0.05).

Uji terhadap kelebatan rambut juga

dilakukan dengan cara mencukur rambut tikus

pada bagian uji pada hari ke-21 dan

menimbang beratnya. Berikut grafik yang

diperoleh dari hasil penimbangan.

Gambar 2. Grafik rata-rata bobot rambut tikus

Dari grafik terlihat bahwa bobot rambut

tikus pada kelompok metanol lebih berat

dibanding kelompok lainnya. Namun setelah diuji

secara statistik, di mana data terdistribusi normal

dan homogen sehingga dilakukan uji ANOVA,

diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan

Page 47: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

36

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

bermakna antar kelompok dalam hal kelebatan

rambut (p>0.05).

4. SIMPULAN Ekstrak bonggol pisang kepok dapat

diformulasikan sebagai tonik penumbuh rambut.

Sediaan tonik ekstrak metanol bonggol pisang

kepok memiliki aktivitas penumbuh rambut

terhadap tikus putih jantan galur Sprague

Dawley.

DAFTAR PUSTAKA [1] Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

2000. Parameter Standar Umum Ekstrak

Tanaman Obat. Jakarta: Direktorat Jendral

Pengawasan Obat dan Makanan.

[2] Departemen Kesehatan Republik Indonesia

& Direktorat Jenderal Pengawasan Obat

dan Makanan. 1985. Formularium

Kosmetika Indonesia. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI.

[3] Gunawan, Sulistia Gan; Setiabudy, Rianto;

Nafrialdi (Ed) . 2007. Farmakologi dan

Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi

dan Terapeutik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

[4] Pratisto, A. 2009. Statistik Menjadi Mudah

dengan SPSS 17. Jakarta: Pt. Elex Media

Komputindo.

[5] Priskila, Vany. 2012. Uji Stabilitas Fisik dan

Uji Aktivitas Pertumbuhan Rambut Tikus

Putih Jantan dari Sediaan Hair Tonic yang

Mengandung Ekstrak Air Bonggol Pisang

Kepok (Musa balbisiana). Depok: Fakultas

Farmasi Universitas Indonesia.

[6] Rieger, M. 2000. Harry’s Cosmeticology 8th

Edition. New York: Chemical Publishing Co.,

Inc.

[7] Rowe, R. C.; Sheskey, P. J.; Owen , S. C.

(Ed). 2009. Handbook of Pharmaceutical

Exipient sixth edition. London: American

Pharmaceutical Association.

[8] Suraj, R.; Rejitha, G; Sunilson, J. Anbu

Jeba, Anandarajagopal, K; Promwichit, P.

2009. In vivo hair growth activity of Prunus

dulcis seed in rats. Biology and Medicine, I

(4): 34 – 38, 2009.

[9] Tjitrasoepomo, Gembong. 1999. Taksonomi

Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

[10] Wade, Ainley, Weller, Paul J. 1994.

Handbook of Pharmaceutical Excipients.

UK: The Pharmaceutical Press, London

Page 48: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

37 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Advertorial ABSTRACT

Cancer is the major cause of death worldwide; one of the kinds is caused by lung cancer. The current treatment is only extending patients’ lives, but not curing. Nowadays, chemotherapy becomes the alternative which has been used on lung cancer treatment, whereas chemotherapy is not so cancerous cell-selective that may attack the normal cells. The herbal chemopreventive agent is a better alternative than chemotherapy. The substance of acetogenins in soursop leaf has been examined selectively cytotoxic kills the cancerous cells, yet acetogenins insulator has a bad solubility in the water, and thus needs another alternative dosage form that is inhalation aerosol nebulizer for lung cancer. The innovation of nanoparticles technology is able to diminish the size of soursop insulator to be as small as DNA so it will increase the cellular uptake of medicine ingredients into cancerous cells better than micro particles. The production of slow inhalation aerosol nebulizer for lung cancer is the solution of lung cancer treatment that increases acetogenin solubility and efficiency as well as the medicine absorption and bioavaibility. Thus, this inhalation aerosol nebulizer for lung cancer is able to directly attack the cancer cell, and is also able to selectively kill the lung cancer cell. Keywords: lung cancer, chemopreventive, soursop, nanoparticles, aerosol ABSTRAK

Kanker adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia. Salah satu jenisnya adalah kanker paru-paru. Pengobatan yang ada saat ini hanya bersifat memperpanjang usia pasien, tapi tidak menyembuhkan. Kemoterapi merupakan solusi yang digunakan untuk kanker paru-paru namun kemoterapi tidak bersifat selektif membunuh sel kanker, melainkan dapat menyerang sel normal. Agen herbal kemopreventif merupakan solusi yang lebih baik dari kemoterapi, salah satunya pada daun sirsak. Kandungan zat aktif dari daun sirsak yang bernama acetogenin dapat berperan dalam membunuh sel kanker serta mampu mendeteksi dan membedakan antara sel kanker dan normal. Pembuatan sediaan aerosol nebulizer inhalasi berbasis nanopartikel merupakan solusi dalam pengobatan kanker paru-paru yang selektif menyerang sel kanker secara langsung pada paru-paru tanpa harus mengalami metabolisme dalam tubuh. Kata kunci: kanker paru-paru, kemopreventif, sirsak, nanopartikel, aerosol

IAN LC: Inhalation Aerosol Nebulizer For Lung Cancer, A New Treatment Alternative For Lung Cancer Bases On Nanoparticles Of Soursop Leaf Isolates* Andika Dewi Ramadhani1, Kun Rasyida*1, Siti Zulaikha1, Dian Ayu Eka Pitaloka1, Farichatul Izzah1, Endah Puspitasari2

1Student of Faculty of Pharmacy, University of Jember 2Department of Biology, Faculty of Pharmacy, University of Jember *Presented in International (Bio) Medical Student Congress 2013, Jakarta, Indonesia *Corresponding author’s email : [email protected]

Page 49: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

38

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

1. INTRODUCTION Cancer is the main cause of death

worldwide and brings about 7.6 million deaths

(around 13% of all deaths) in 20081. According to

the American Cancer Society (2007) in 2012 lung

cancer incidence rate is 226,160 thousand

deaths per year amounted to 160,340 thousand

people. It is estimated that approximately 1.2

million new cases of lung cancer and 1.1 million

deaths from lung cancer occurred in 2000, with

the ratio of men: women around 2:7. In

Indonesia, lung cancer cases are diagnosed

when the disease was at an advanced stage.

With the increased of public awareness about the

disease, knowledge of physicians and diagnostic

tools, early detection should be done2.

Chemotherapy is commonly be the last

option done by the practitioners for cancer

patients (besides surgery)6. The body healthy

cells are often being the victim of chemotherapy

drugs attack since the cells are infected by those

chemistry substances. Therefore the

chemotherapy side effect is unavoidable and

even becomes further problem as well as death

for the patients7. The drugs used have not yet

selectively stray certain specific cell or organ in

the body8.

Another cancer medication is

chemopreventive. Chemopreventive is more

advantageous than chemotherapy. One of the

prospective chemopreventive agent candidates is

soursop leaf. Soursop leaf contains compounds

which can kill cancerous cells, like acetogenin.

Acetogenin attacks cells selectively. Acetogenin

is able to detect and differ between cancerous

cells and normal cells. But acetogenin insulator is

difficult to dissolve in the water so it has bad

dispersion in the preparation9. Nanoparticles

technology is needed to reduce the size of

acetogenin insulator8.

Acetogenin sized nanoparticles need to

be packaged in a suitable pharmaceutical dosage

forms, which can lead to a better therapeutic

effect. Pharmaceutical preparations which can be

used is in the form of aerosol inhalation

nebulizer. Preparations in the form of aerosol

inhalation nebulizer can reach his workplace in

the lungs - pulmonary directly with a faster onset,

due directly to the respiratory tract. Its use is

more convenient, less contact with the hands, the

required dosage and side effects are smaller.

2. REVIEW OF LITERATURE 2.1 Lung Cancer Lung cancer is all malignancies of the

lung disease, including lung malignancy which

comes from itself or from outside the lung

malignancy (tumor metastasis in the lung).

Cancer is a disease of genes. A normal cell

become a cancer cell occurs when the various

causes of imbalance between oncogene function

of genes suppresor tumor grows in the process of

a cell. Genes which have mutations cause

hyperexcretion oncogenes and loss of tumor

suppressor gene function causes cells to grow

uncontrollably. This phases known as the

Multistep carcinogenesis. Chromosome changes

such as loss of chromosome or LOH

heterogeneity is also suspected as a mechanism

of abnormal cell growth in cancer cells. From

various studies have been known that a few

oncogenes that play a role in the process of lung

carcinogenesis, including gene myc, k-ras gene,

while the gene such as suppresor tumors, p53

gene, rb gene. Change in the location of

chromosomes 1p, 3p and 9p often found in cell

lung cancer 1.

There are two major types of lung

cancer, non-small cell lung cancer and small cell

lung cancer grows and spreads roomates each in

Page 50: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

39 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

different ways and is treated differently.

Approximately 173.770 new cases of lung cancer

will be diagnosed in 2004 and approximately

43.000 of these cases will be small cell lung

cancer (SCLC). The 3-year overall survival in

SCLC is only 5 to 10%3. SCLC accounts for

almost 10% of all cancer-related Deaths in men

and 5% in women4. Current medications used

are surgery, radiotherapy, and chemotherapy.

But those medications just extend the patients’

lives, not yet cure the patients1. In Western

countries, the curative medications have 40-65%

relapse rate with only 30% success rate of

perfectly living5.

Lungs are sponge-shaped organ located

in the chest. The right lung has three lobes and

the left lung has two lobes. Lungs have a work to

carry the air out of the body, take in oxygen and

get rid of carbon dioxide gas (substance residues

breathing). Lungs membrane called pleura,

protect the lungs and allows them to move during

breathing. Trachea brings air into the lung.

Trachea divides into tubes called bronchi which

divided into smaller branches called bronkiol. At

the end of these small branches are tiny air sacs

called alveoli. Under the lungs there is muscle

called the diaphragm that separates the chest

from the abdoment. When breathe, the

diaphragm moves up and down, forcing air in and

out of the lungs. Organs located below the ribs

have a daunting task, we breathe as well as a

variety of pests that roam freely in the air. These

can causes various diseases lung. In general

disruption in the airways may be a blockage

(obstruction) or lung disorders that cause

restrictive. For example, a large tumor in the

lungs can cause airway collapse where tumor

present in the airway causes obstruction of the

airways. Tumor pressing chest wall can cause

damage or destruction of bone chest wall and

cause pain. Fluid in the pleural space are often

found in lung cancer also disrupt lung function3.

2.2 Cancer Chemopreventive Agent The understanding of Carsinogenesis

process is a strategy development in cancer

medication. Cancer therapy approach uses

chemopreventive agent which is more promising

than conventional anti-cancer drugs.

Chemopreventive agent is defined as chemical

compound that is able to obstruct and compress

carcinogenesis process in human so that the

cancer growth can be prevented11. In cancer

curative therapy, chemopreventive agent

development is based on cell cycle regulation

including growth hormone receptors and protein

kinase, angiogenesis blocking, cyclooxygenase-2

(COX-2) enzyme blocking, and apoptosis

induction. Chemopreventive agent has specific

target action through its molecular mechanism.

Cells cycle and apoptosis regulation abnormality,

COX-2 enzyme increase, and and angiogenesis

process, only occur in cancerous cell, though in

some cases angiogenesis occurs in heart.

Therefore, chemopreventive agent is relatively

safe and has no influence on normal cells12.

Cancer therapy approach through

antiangiogenesis can be done with vasculostatin

agent that can obstruct new blood vessel forming

process13. Cancerous cells are died as it gets no

oxygen and nutrition supply. Angiogenesis

blocking becomes a vital point in cancer

medication. The lymphogenic and hematogenous

spread of cancerous cell is related to

angiogenesis. Tumor cells quickly penetrate

through endothelial cell and follow the blood flow

throughout the body and spread to other organs.

Initiation, invasion, and metastatic cancer

believed as an incident that depends a lot on

angiogenesis. Based on a practical observation,

Page 51: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

40

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

most angiogenesis inhibitors also have action as

antiinvasion and antimetastatic component.

Moreover, malignant tumor and cancer will

initiate COX-2 over expression. COX-2

expression increase is followed by prostaglandin

E production which takes part in proliferation and

spurs on cancerous cell angiogenesis process.

Some chemical compounds used for

chemopreventive agent have COX-2 blocking

activity so it can reduce malignant cells

transformation14.

One of the cancerous cell abnormal

phenotype is cell cycle dysregulation control, in

which there is a mechanism control trouble so the

cell will grow without mechanism control as

normal cells do15. Retinoblastoma (Rb) and

protein p53 as tumor pressuring agent are the

important protein in cell cycle adjustment as

either antiproliferation material or apoptosis

process controller because of DNA defect. P53

inactivation will cause an over proliferating on

cell. Antiproliferative effect from several chemical

compounds that has potential to be anticancer is

through its ability in delaying cell cycle by

obstructing either cyclin-CDK or other protein

kinase activity. Natural chemopreventive agent,

such as flavonoid, is able to induce G2 phase

arrest. Another chemopreventive agent like

curcumin can affect cell cycle on G1/G0 and G2/M

phases. Chemopreventive agent influence

through cell cycle blocking may cause the cell

stops splitting and stop cell proliferation16.

Apoptosis is a programmed cell death as

a response to particular stimulant. A protein

group that takes part in cell death is Bcl-2. Some

members of Bcl-2 protein family are

antiapoptosis, like Bcl-2, Bcl-XL (PGE, Mcl1, and

Bag) function as cell death deterrent, while

proapoptosis members of Bcl-2 protein family

such as Bak, Bax, and Bad induce apoptosis.

Besides drugs chemical compound disposal

through efflux P-gp (P-glycoprotein) pump, Bcl-

2/Bcl-XL over expression in cancer also

increases chemotherapy and radiotherapy

resistance. Therefore, the important target in

cancer medication is not only pressuring P-gp

expression but also antiapoptosis protein

expression15.

2.3 Soursop (Annona muricata L.) Soursop’s Latin name is Annona

muricata L17. Its active content which is able to

kill cancerous cell is acetogenin (Fig.4).

Acetogenin obstructs and kills cancerous cell in

two stages. First, acetogenin detects and differs

between cancerous cell and normal cell.

Acetogenin selectively attacks the cell. Only

those detected as cancerous cells attacked,

whereas the normal cells don’t. It is different from

chemotherapy drugs method that attacks not only

cancerous but also normal cell. Consequently,

normal cell is broken and died, and it will lead to

various side effects18.

Picture 1. Acetogenin common structure18.

Page 52: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

41 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

2.4 Acetogenin Mechanism Action Acetogenin differs between cancerous

cell and normal cell by the cell need of ATP. ATP

is cell energy source not only to grow and

develop but also run its function as cell. Since the

cancerous cell develops, grows, and duplicates

faster and more active than normal cell, it needs

more ATP energy. Acetogenin detects higher

ATP need on cancerous cell9. The second stage,

acetogenin goes into cancerous cell and sticks

on mitochondria inside wall. Mitochondria are

organelles inside the cell. Mitochondria function

as a place to produce ATP for cell. Food

carbohydrates ends in mitochondria, then it will

be changed to be energy. After that, acetogenin

will block ATP production in mitochondria

cancerous cell. Consequently, the energy supply

for cancerous cell will stop, so it is weak and

finally die19.

Annonacin acetogenin activity is related

to the ability in obstructing ATP production on

NAD+ forming process. Ubiquinone

oxidoreductase (complex I) is banded with NADH

oxidation on tumor cell plasma membrane in

mitochondria electron transport system. Inhibitor

is selective to cancerous cell which is related to

ATP production. Annonacin acetogenin obstructs

ATP production by disturbing mitochondria

complex 1. It disrupts membrane permeability

and obstructs cancerous cell growth, so the body

has a chance to do mechanism adjustment of cell

death through apoptosis triggered by TNF α20.

Picture 2. Acetogenin mechanism action20.

2.5 Nanoparticle Nanoparticle is a material sized between

1-100 nanometer (nm). This material is shown in

either crystal or non-crystal shape which its

atoms are arranged in order. The drug size

difference between nanoparticle and micro

particle in chemotherapy drugs will impact on

physical, chemical, and biological characteristic.

Because of the comparable size of the

components in the human cells, nanoparticles

are of great interest in drug delivery. It appears

that nature, in making the biological systems, has

extensively used nan-ometer scale.

This difference contributes a huge

advantage so it brings nanometer-sized material

as superior material in various fields, including

biology and pharmacy. Several nanoparticles

characteristics can be changed significantly

through size controlling in nanometer order,

chemical composition adjustment, surface

modification, and particles interaction controlling.

These size-based characteristics believed as the

result of wide surface high ratio to material

volume21.

In recent years, researches on

nanoparticles have been done intensively in

some countries. It is not only related to

Page 53: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

42

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

nanoparticles synthesis method, but also their

produced characteristic. In energy industry,

nanoparticles are entangled in producing more

efficient solar cell. In health industry, like

pharmacy and biology, nanoparticles technology

is proven able to increase cellular uptake so that

it can upgrade drug active ingredients

effectiveness8,22. According to its characteristic,

nanoparticle has been applied in several

technology researches, such as: cell labeling,

drug delivery, tumor cell destruction by heating

(hyperthermia), and magnetic resonance imaging

(MRI) visualization. Nanoparticles application and

development will keep growing concerning the

nanometers order of body cell parts as life unit.

Protein is about 5 nm, DNA which has helical

structure is about 2 nm, and there are some body

organ parts have nanometers sized. Nanoparticle

size is equal to all parts in body organ21.

Micrometer-sized drugs are difficult to

interact with protein and nanometer-sized cell

parts. Thus, many medications failed in curing.

Nanoparticle can be used to control biomolecules

interaction in the body so it has high sensitivity

with high control precision and can be done

selectively. Consequently, nanoparticle must be

designed to be able to interact with protein and

cell without disturbing their normal activity and it

must be biocompatible and poisonless8.

One of the leading causes of cancer

associated deaths in most men and women in the

Western world is lung cancer. There are various

types of treatments depending on the type and

the stage of the cancer. A recent type of therapy

is targeted gene therapy which aims to target

genes that cause lung cancer. However, this

therapy has some drawbacks including lack of

proper vectors for delivery. These drawbacks can

potentially be overcome by using various types of

nanoparticles. Researchers have attempted to

treat lung cancer with a variety of types of

nanoparticle matrices including lipid, polylactide-

co-glycolide, albumin, poly (ω-pentadecalactone-

co-butylene-co-succinate), cerium oxide, gold,

ultra-small superparamagnetic iron oxide

nanoparticles, super paramagnetic iron oxide,

lipid–polycation–DNA N-[1-(2,3- dioleoyloxyl)

propyl]-NNN-trimethylammoniummethylsulfate,,

silica-overcoated magnetic cores, and

polyethyleneglycol phosphatidylethanolamine.

There are various ways in which nanoparticles

enhance drug delivery, and these include

encapsulation against immune response, tissue

penetration, target selectivity and specificity,

delivery monitoring, promoting apoptosis, and

blocking pathways for cancer initiation and

progression. Nanoparticles can act as good

vectors for delivering drug to the target neoplastic

lesions within the lung, increase cellular uptake,

increase tissue penetration and help in tracking

the drug. In the future, combination therapies

may play a key role in the treatment of lung

cancer using the existing therapies24.

2.6 Inhalation Aerosol Nebulizer Inhalation Aerosol is a preparation that

contains one or more substances berkhaiat with

size less than 50 μm and containing propellant in

a pressurized container, administered through

nasal or oral airway for local or systemic effect.

Recent advances in technology have

also created renewed interest in the inhalation

delivery of drugs, Including those for the

treatment of lung cancer. Regional drug delivery

via inhalation offers many advantages in the

administration of pharmaceutical compounds for

the prevention and treatment of respiratory

diseases Because the drugs are delivered at

intensified dose levels directly to the site of

disease, limiting systemic exposure23.

Page 54: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

43 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

3. DISCUSSION

Lung cancer is a malignant tumor /

carcinoma that grows in the lungs. This cancer

causes more deaths. Treatment of lung cancer

began to switch from chemotherapy to

chemopreventive agents. Chemopreventive more

beneficial than chemotherapy as a

chemopreventive agent has inhibitory activity of

cancer progression and may increase the

possibility of healing and reduce the pain

experienced by cancer patients. One of the

plants that are known to act as a

chemopreventive agent is soursop leaves.

Soursop is an abundant plant in Indonesia.

Soursop leaf contains acetogenin that have anti-

cancer activity. Acetogenin works selectively

against cancer cells that attack only cancer cells

without damaging normal cells. These

compounds also cause apoptosis of cancer cells

due to the supply of energy (ATP) inhibited by

acetogenin. Acetogenin has poor solubility in

water so disolusinya too bad. Therefore, before it

is formulated in pharmaceutical preparations,

acetogenin made in the form of nanoparticles.

Acetogenin shaped nanoparticles

encapsulated in the form of inhalation aerosol

dosage nebulizer. Inhalation Aerosol is a

preparation that contains one or more

substances berkhaiat with size less than 50 μm

and containing propellant in a pressurized

container, administered through nasal or oral

airway for local or systemic effect. Aerosol

inhalation in a nebulizer is made with the

following formulation:

R / acetogenin 52.74 mg

Tween 80 2.51 mg

Liquid NaCl 0.9%

5 ml of ethanol ad

Formulating both the mixing and storage

in a temperature of 4 º C to keep the material -

the material is not contaminated, so that the

resulting product is sterile24.

Technological innovation can reduce the

size of nanoparticles isolates soursop leaf to

match the size of DNA that can increase the

cellular uptake of the drug substance into the

cancer cells than chemotherapy drugs are still

measuring microparticles and can lower the dose

of the drug. Preparation of nanoparticle-based

dosage nebulizer is a solution in the treatment of

lung cancer that can increase the solubility and

effectiveness and improve bioavaibilitas

acetogenin drug in the lungs so it can attack

cancer cells directly and may provide a

therapeutic effect longer in the lungs and can kill

lung cancer cells selectively25.

Picture 3. Inhalation Aerosol Nebulizer25.

4. CONCLUSION

Lung cancer is a malignant tumor/

carcinoma that grows in the lungs. This cancer

causes more deaths. This cancer causes many

deaths both to men and women. Lung cancer

medication turns to change into chemo

preventive agent from chemotherapy. Chemo

preventive is more beneficial than chemotherapy

since it has a cancer growth obstructing activity

and is able to increase the recovery possibility as

well as decreases the pain suffered by the

Page 55: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

44

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

patient. One of the plants that detected able to be

chemo preventive agent is soursop leaf. Soursop

is a kind of plant that commonly grows in

Indonesia. Soursop leaf contains acetogenin that

has anti-cancer activity. Acetogenin selectively

attacks the cancerous cell, without destroying

normal cell. This chemical compound also

causes cancerous cell apoptosis because the

energy supply (ATP) is obstructed by acetogenin.

Acetogenin has a bad solubility in the water and

also bad dissolution. Therefore, before

formulating into pharmacy dosage form,

acetogenin is made in nanoparticle.

The innovation of nanoparticles

technology is able to diminish the size of soursop

insulator to be as small as DNA so that after

being formed into nanoparticles, it will increase

the cellular uptake of medicine ingredients into

cancerous cells better than chemotherapy’s

micro particles medicine, and will decrease the

medicine dosage. Thus, this modification of

acetogenin is expected to attack the cancer cells

directly and can provide a longer therapeutic

effect in the lungs and can kill lung cancer cells

selectively. REFERENCES

[1] WHO. World Health Statistic [Internet].

Switzerland: WHO; 2012 [cited 2012 Nov

15]. Available from: URL : HYPERLINK

http:// www.who.int/ mediacentre/

factsheets/fs297/en/.

[2] Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Kanker Paru : Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia ; 2003.

[3] Nucleus Precise News Letter. Kanker Paru

(Lung Cancer). 2011.

[4] Haura, Eric B. Treatment of Advanced Non–

Small-Cell Lung Cancer: A Review of

Current Randomized Clinical Trials and an

Examination of Emerging Therapies. Cancer

Control. 2001; 8(4) 2009.

[5] Lascone C, Paliotta A, Fernia S. Surgery in

Multimodal Management of Solid Tumors:

Updates in Surgery. USA: Springer. 2009:

79-87.

[6] Wong LC, Ngan HYS, Cheung ANY, Cheng

TYN, Choy DTK.. Chemoradiation and

Adjuvant Chemoterapy In Cervical Cancer.

J Clin Oncol. 1999; 17 (7): 2055-2060.

[7] Mandie Aljo. Neoadjuvant Chemotherapy in

Treatment of Cervical Cancer-

Controversies. Arch Oncol. 2005; 13 (2): 89-

90.

[8] Wong C, Stylianopoulos T, Cui J, Martin J,

Chauhan VP, Jiang W, Popovic Z, Jain RK.,

Bawendi MG, Fukumura D. Multistage

Nanoparticle Delivery System for Deep

Penetration Into Tumor Tissue. Proc Natl

Acad Sci, USA. 2011; 108 (6): 2426-2431.

[9] Wu F, Wo G, Zeng L, Yan Z, Schwedler JT,

Jerry L, Ughlin. Additional Bioactive

Acetogenins, Annomutacin from The Leaves

Of Annona Muricata and (2,d-TRAN.S AND CIS)-l OR-Annonacin-A-Ones. J Nat P&s.

1995; 58 (9): 1430-1437.

[10] Wahyono Dwi. Ciri Nanopartikel Kitosan dan

Pengaruhnya Pengukuran Partikel dan

Efisiensi Penyalutan Ketoprofen. Bandung:

IPB. 2010; 1: 7-32.

[11] Kakizoe T. Chemoprevention of Cancer

Focusing on Cinical Trial, National Cancer

Center. Jpn J Clin Oncol. 2003; 33 (9): 421-

442.

[12] Chang LC, and Kinghorn AD. Flavonoid as

Chemopreventive Agent, Boiactive

Compound from Natural Sources, Isolation,

Characterization and Biological Properties.

New York: Tailor & Friends. 2001: 850-878.

Page 56: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

45 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

[13] Matter A. Tumor Angiogenesis as a

Theurapeutic Target. DDT. 2001; 6 (19):

1005-1020.

[14] Brem SMD. Angiogenesis and Cancer

Control: From Concept to Therapeutic Trial,

Moffitt Cancer Center & Research institute.

1999 [cited 2012 Nov 15]. Available from:

URL:HYPERLINKhttp://www.medscape.com

/cancercontrol/1999/v06.n02.brem/cc0605.0

2.brem-01.html.

[15] Gondhowiardjo S. Proliferasi Sel dan

Keganasan, Majalah Kedokteran Indonesia.

2004; 54 (7): 289-299.

[16] Pan MH, Chen WJ, Lin S, Ho CH, Lin JK.

Tangeretin Induces Cell Cycle Through

Inhibiting Cyclin Dependent Kinase 2 & 4

Activities As Well As Elevating Cdk Inhibitor

p21 in Human Colorectal Carcinoma Cells,

Carsinogenesis. Oxford: Oxford University

Press. 2002; 23: 1677-1684.

[17] ITIS. Integrated Taxonomic Information

System [Internet]. U.S. 2012 [cited 2012 Nov

5]. Available from: URL HYPERLINK : http://

www.itis.gov/ servlet/ SingleRpt/

SingleRpt?search_topic=TSN&search_value

=18098.

[18] Vares Lauri and Toom Lauri. Synthesis of

Acetogenin Analogues: Master Thesis in

Organic Chemistry. Piret Villo. 2012; 1: 4-12.

[19] Liaw CC, Chang FR, Lin CY, Chou CJ, Chiu

HF, Wu MJ, Wu YC. New Cytotoxic

Monotetrahydrofuran Annonaceous

Acetogenins from Annona Muricata. J Nat

Prod. 2002; 65: 470-475.

[20] Amelia F, Angeline E, Wibowo KW, Afnani

GN. Tablet Salut Enterik Ekstrak Etanol

Daun Sirsak (Annona muricata L.) sebagai

Anti Kanker Kolon yang Potensial. BIMFI.

2012; 1: 47-56.

[21] Kumar CSSR, Hormes J, Leuschner C.

Nanofabrication Towards Biomedical

Applications, Wilet-VCH Verlag GmbH & Co.

KgaA. Germany: Weinheim. 2005; 1: 245-

255.

[22] Sona PS. Nanoparticulate Drug Delivery

Systems for The Treatment of Diabetes.

Digest Journal of Nanopartikels and

Biostructures. 2010; 5 (2): 411-418.

[23] Z.Wang, farnesol for aerosol inhalation:

nebulization and Activity Against Human

Lung Cancer Cells. 2003. p.95-100,

[24] L Zhang, FX Gu, JM Chan, AZ Wang, RS

Langer and OC Farokhzad. Nanoparticles in

Medicine: Therapeutic Applications and

Developments. 2008. p. 761-769.

[25] Rajiv Dhand. Aerosol Delivery Durin g

Mechanical Ventilation: From Basic

Techniques to New Devices. 2008. p 45-60

Page 57: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

46

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Advertorial

ABSTRAK

Penggunaan doxorubicin sebagai agen kemoterapi pada dosis tinggi dan jangka waktu lama dapat menyebabkan kardiotoksisitas, hepatotoksisitas dan penurunan sistem imun. Efek samping doxorubicin dapat ditekan dengan penggunaan ko-kemoterapi. Pemilihan agen ko-kemoterapi dari alam sebagai kardioprotektor, hepatoprotektor dan imunomodulator merupakan peluang yang prospektif dalam pengembangan obat.

Salah satu tanaman yang berpotensi adalah jeruk purut (Citrus hystrix D.C.) yang mengandung flavonoid rutin, naringin dan hesperidin. Ekstrak kulit jeruk purut (EKJP) mempunyai aktivitas antioksidan dan dapat menangkal radikal bebas. EKJP diketahui dapat memperbaiki profil histopatologi jantung dan hepar serta meningkatkan aktivitas sistem imun pada tikus yang diinduksi doxorubicin. Perlu dilakukan optimasi formulasi EKJP menjadi sediaan yang praktis dan bermanfaat optimal bagi masyarakat.

SMEDDS (self-microemulsifying drug delivery system) merupakan sistem penghantaran obat yang modern secara self-microemulsifying. SMEDDS terbukti dapat memperbaiki oral bioavalability obat-obat hidrofobik. Senyawa flavonoid bersifat hidrofobik sehingga permeabilitas mukosa intestinalnya sangat rendah. Maka dari itu, EKJP dengan kandungan utama flavonoid cocok diformulasikan menjadi SMEDDS.

SMEDDS EKJP mempunyai potensi dan keuntungan yang menjanjikan karena bahan bakunya mudah diperoleh dengan harga terjangkau. Penelitian yang ada membuktikan khasiat EKJP sebagai agen ko-kemoterapi doxorubicin sehingga membuka peluang EKJP untuk dikembangkan menjadi fitofarmaka di Indonesia. Dengan begitu, perkembangan obat herbal di Indonesia dapat semakin maju dan beragam. Kata kunci: SMEDDS, Citrus hystrix D.C., ko-kemoterapi, doxorubicin, fitofarmaka ABSTRACT

Usage of doxorubicin as a chemotherapeutic agent in high doses and for long periods can cause cardiotoxicity, hepatotoxicity and decrease immune system. Side effects can be reduced using combination of doxorubicin and co-chemotherapy agent. Selection of co-chemotherapy agent from natural plant as cardioprotector, hepatoprotector and immunomodulator is a prospective opportunities in drug development.

One of the potential plants is kaffir lime (Citrus hystrix D.C.) that contains flavonoids naringin rutin and hesperidin. Kaffir lime peel extract (KLPE) has antioxidant activity and can counteract free radicals. Previous study reported that KLPE can repair heart and liver histopathology profile and increase activity of immune system in mice induced doxorubicin. Need to be optimized dosage formulations of KLPE so KLPE can be practical and useful.

SMEDDS (self-microemulsifying drug delivery system) is a modern drug delivery systems that can be through self-microemulsifying. SMEDDS shown to improve oral bioavalability hydrophobic drugs. Flavonoid compounds are hydrophobic so mucosal intestinal permeability is very low. Therefore, the flavonoids of KLPE can be formulated to be SMEDDS.

SMEDDS KLPE has potential and promising advantages because raw materials easily available at affordable prices. Previous study proven that efficacy KLPE as co-chemotherapy agent creating potential to be developed into fitofarmaka in Indonesia. Development of herbal medicine in Indonesia can be more advanced and diverse.

Keywords: SMEDDS, Citrus hystrix D.C., co-chemotherapy, doxorubicin, phytopharmaca

SMEDDS EKJP: SELF-MICRO EMULSIFYING DRUG DELIVERY SYSTEM EKSTRAK KULIT JERUK PURUT SEBAGAI INOVASI KO-KEMOTERAPI DOXORUBICIN BERBASIS FITOFARMAKA Prisnu Tirtanirmala*, Nindi Wulandari, Rahmawaty Rachmady Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada *Corresponding author’s email : [email protected]

Page 58: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

47 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

1. PENDAHULUAN Doxorubicin merupakan salah satu agen

kemoterapi antikanker yang dianggap efektif dan

banyak digunakan1. Namun, penggunaan

doxorubicin pada dosis yang tinggi dan pada

jangka waktu yang lama dapat menyebabkan

kardiotoksisitas yang juga mempunyai

manifestasi klinik pada hepatotoksisitas2. Agen

pendamping kemoterapi (ko-kemoterapi)

merupakan strategi terapi kanker dengan

mengkombinasikan suatu senyawa dengan

agen kemoterapi. Senyawa atau obat ini dapat

meningkatkan efikasi terapi sekaligus

menurunkan toksisitas agen kemoterapi

pasangannya terhadap jaringan normal3.

Pemilihan agen pendamping dari alam sebagai

kardio-hepatoprotektor merupakan sebuah

peluang yang prospektif dalam pengembangan

obat.

Salah satu tanaman yang berpotensi

untuk dikembangkan sebagai agen pendamping

adalah jeruk purut (Citrus hystrix D.C). Kulit

buah jeruk purut mengandung flavonoid rutin,

naringin dan hesperidin4. Ekstrak kulit jeruk

purut (EKJP) diketahui dapat memperbaiki profil

histopatologi jantung dan hepar tikus yang

diinduksi oleh doxorubicin5,6. Naringin dan

hesperidin mempunyai aktivitas antioksidan dan

dapat menangkal radikal bebas7,8. Dari data-

data tersebut terlihat bahwa ekstrak kulit jeruk

purut mempunyai potensi yang kuat untuk

dikembangkan menjadi agen pendamping

kemoterapi. Namun, masih perlu dilakukan

optimasi untuk memformulasikan ekstrak kulit

jeruk purut agar menjadi sediaan yang praktis

dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas

secara optimal.

SMEDDS (self-microemulsifying drug

delivery system) merupakan sistem

penghantaran obat yang modern dimana pada

sistem ini obat dihantarkan secara self-

microemulsifying. SMEDDS terbukti dapat

memperbaiki oral bioavalability obat-obat

hidrofobik dan lipofilik dengan membentuk

emulsi o/w secara spontan ketika kontak

dengan cairan tubuh yang terjadi di

gastrointestinal9. Disamping itu, senyawa

flavonoid dilaporkan mempunyai kelarutan di

air yang sangat rendah sehingga

permeabilitas terhadap mukosa intestinal juga

sangat rendah10. Maka dari itu, ekstrak kulit

jeruk purut yang mempunyai kandungan utama

flavonoid cocok untuk diformulasikan menjadi

sediaan dengan terobosan baru yang

menjanjikan, yaitu SMEDDS.

2. PEMBAHASAN 2.1 Kemoterapi dan Ko-kemoterapi

Kemoterapi adalah pengobatan dengan

menggunakan senyawa kimia. Saat ini

kemoterapi identik dengan pengobatan terhadap

penyakit kanker11. Agen kemoterapi membunuh

sel-sel yang membelah dengan cepat seperti sel

kanker. Namun, sel normal lain yang membelah

dengan cepat seperti sel epitel mulut, sel imun,

dan gastrointestinal juga mendapatkan efek

kemoterapi sehingga dapat menimbulkan

berbagai efek samping12. Ko-kemoterapi

merupakan strategi terapi dengan

mengkombinasikan suatu senyawa dengan

agen kemoterapi. Penggunaan agen tambahan

bersama dengan agen kemoterapi merupakan

usaha terapi kanker untuk meningkatkan

efektivitas agen kemoterapi sekaligus

menurunkan efek sampingnya. Selain itu, ko-

kemoterapi juga dapat menurunkan resiko

perkembangan kanker yang resisten terhadap

salah satu jenis obat. Salah satu pendekatan

yang dapat dilakukan adalah

mengkombinasikan senyawa fitokimia atau obat

Page 59: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

48

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

yang non-toksik namun efektif melawan sel

kanker dengan agen kemoterapi, yang mana

akan meningkatkan efikasinya dan menurunkan

toksisitasnya terhadap jaringan normal3.

2.2 Doxorubicin Doxorubicin merupakan antibiotik

golongan antrasiklin yang banyak digunakan

untuk terapi berbagai macam jenis kanker

seperti leukemia akut, kanker payudara, kanker

tulang dan ovarium13. Senyawa ini diisolasi dari

Streptomyces peucetius var caesius pada tahun

1960-an dan digunakan secara luas14. Berbagai

penelitian mengenai mekanisme kerja

doxorubicin telah dilakukan.

Gambar 1. Struktur Doxorubicin15

Penggunaan doxorubicin pada terapi

kanker ternyata memberikan beberapa efek

samping antara lain mempengaruhi sistem imun

dengan menurunkan ekspresi IL-2, produksi

interferon γ, sel natural killer (NK), proliferasi

limfosit, dan rasio CD4+/CD8+12. Selain itu,

Doxorubicin dapat menyebabkan

kardiotoksisitas pada penggunaan jangka

panjang. Efek samping pada pemakaian

kronisnya bersifat ireversibel, termasuk

terbentuknya cardiomyopathy dan congestive

heart failure16. Efek kardiotoksik dari doxorubicin

dapat terjadi terjadi karena adanya

pembentukan radikal bebas17 sehingga

menyebabkan cardiomyopathy. Cardiomyophaty

merupakan penurunan fungsi miokardium yang

disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya

adalah agen kemoterapi. Hal ini menyebabkan

penggunaan doxorubicin secara klinis menjadi

terbatas. Oleh karena itu diperlukan suatu agen

ko-kemoterapi yang mampu menurunkan efek

samping penggunaan doxorubicin serta

mengatasi masalah resistensi.

2.3 Fitofarmaka Indonesia memiliki sekitar 25.000 –

30.000 spesies tanaman yang merupakan 80%

dari jenis tanaman di dunia dan 90 % dari jenis

tanaman di Asia18. Sementara itu saat ini

diperkirakan lebih dari 50.000 spesies tumbuhan

tingkat tinggi di dunia digunakan untuk

keperluan obat. Berdasarkan keputusan Kepala

Badan POM RI No. HK.00.05.41.1384 tentang

kriteria dan tata laksana pendaftaran obat

tradisional, obat herbal terstandar dan

fitofarmaka Bab 1, obat tradisional

dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu, obat

herbal terstandar, dan fitofarmaka. Fitofarmaka

adalah sediaan obat bahan alam yang telah

dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara

ilmiah dengan uji praklinikdan uji klinik, bahan

baku dan produk jadinya telah di standarisasi19.

Untuk pengembangan obat tradisional

menjadi obat herbal terstandardisasi dan

fitofarmaka, simplisia harus memenuhi

persaratan mutu agar dapat menimbulkan efek

dan aman. Persaratan mutu simplisia sejumlah

tanaman tertera dalam buku Farmakope

Indonesia, Ekstra Farmakope Indo-nesia, atau

Materia Medika Indonesia. Materia Medika

Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat

Pengawasan Obat Tradisional memuat

persaratan baku mutu simplisia yang banyak

dipakai oleh perusahaan obat tradisional.

Tahapan pengembangan obat tradisional

menjadi fitofarmaka20 :

Page 60: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

49 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

a. Seleksi

b. Uji preklinik

c. Standarisasi sederhana

d. Uji klinik

2.4 Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C.) Kulit buah jeruk purut (Gambar 2)

mengandung berbagai macam flavonoid rutin,

naringin dan hesperidin4. Naringin dilaporkan

dapat menekan lipopolisakarida yang diinduksi

oleh pelepasan faktor tumor nekrosis dan

kerusakan hati tikus21. Hesperidin dapat

menurunkan jumlah ALT dan AST pada mencit

yang diinduksi dengan CCl422. Hal tersebut

menunjukkan bahwa hesperidin memiliki

aktivitas hepatoprotektif. Selain dapat dapat

mengurangi edema miokardium pada tikus yang

diinduksi dengan doxorubicin, hesperidin dapat

menurunkan jumlah nitrit oksida (NO) pada

serumtikus yang terinduksi doxorubicin23. Hal ini

menunjukkan hesperidin juga memiliki sifat

kardioprotektif.

a. jeruk purut (Citrus hystrix D.C.)

Gambar 2. Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C.) dan kandungan flavonoidnya24

Hasil penelitian Putri et al. Di tahun

20135 menunjukkan bahwa ekstrak etanolik kulit

jeruk purut (Citrus hystrix D.C.) memiliki efek

kardioprotektif dan hepatoprotektif pada tikus

Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin.

Ekstrak Etanolik kulit jeruk purut juga mampu

meningkatkan rasio CD4/CD8 tikus Sparague

Dawley yang dipejani doxorubicin6. Dari

penelitian-penelitian tersebut telah membuktikan

bahwa ekstrak kulit jeruk purut mempunyai

potensi yang beasar dalam mengurangi efek

samping doxorubicin sehingga dapat digunakan

sebagai pendamping kemoterapi dan

dikembangkan sebagai fitofarmaka.

2.5 SMEDDS (Self-Microemulsifying Drug Delivery Systems)

SEMDDS merupakan salah satu bagian

dari Formulasi Self-Dispersi Lipid. Metode ini

dapat menjadi solusi untuk obat-obat yang sulit

diformulasikan akibat sifatnya yang

hidrofobik/lipofilik sehingga dapat memperbaiki

bioavaibilitas untuk obat yang kemampuan

absorpsinya buruk25. Dalam SMEDDS, partikel

b. Hesperidin

c. Naringin

d. Rutin

Page 61: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

50

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

obat diperkecil terlebih dahulu kemudian

dicampurkan dalam fase minyak-surfaktan, yang

akan menjadi emulsi jika mereka bertemu

dengan air pada lingkungan. Proses self-emulsi

ini terjadi dengan perbandingan tertentu antara

minyak-surfaktan-kosurfaktan dan

temperature26. Setelah self-dispersi terjadi obat

secara cepat terdistribusi dalam gastrointestinal.

Dengan sistem ini SMEDDS dapat

meningatkan bioavaibilitas karena partikel obat

yang terdispersi halus dalam tetesan minyak,

dan permukaan area yang luas dapat

meningkatkan disolusi. Tetesan emulsi

selanjutnya dilarutkan dalam saluran

pencernaan melalui cairan empedu. Kehadiran

surfaktan dapat meningkatkan absorpsi pada

membran sehingga terjadi perubahan

permeabilitas (surfaktan yang digunakan bersifat

hidrofilik dengan nilai HLB > 12). Pengecilan

ukuran partikel obat menyebabkan perubahan

muatan menjadi positif atau negatif. Lapisan

mukosa bermuatan negative, sehingga muatan

positif pada droplet emulsi dapat menembus

kedalam ileum27. Emulsi yang bermuatan

positif/kation memiliki bioavaibilitas yang lebih

baik dibanding yang bermuatan negatif/anion28.

Maka dari itu, SMEDDS dapat menjadi solusi

formulasi ekstrak kulit jeruk purut yang

hidrofobik/lipofilik.

2.6 Kandungan Senyawa Flavonoid dalam Ekstrak Kulit Jeruk Purut (EKJP) dan Aktivitasnya sebagai Agen Ko-Kemoterapi

Berdasarkan hasil penelitian, kulit buah

jeruk mengandung flavonoid rutin, naringin dan

hesperidin4. Senyawa ini berpotensi sebagai

agen ko-kemoterapi yang berperan sebagai

kardioprotektor dan hepatoprotektor dengan cara

memperbaiki histopatologi jantung dan hepar

tikus yang diinduksi doxorubicin5. Mekanisme

kardio-hepatoprotektor ini diperantarai oleh

aktivitas flavonoid sebagai antioksidan yang

dapat menangkap radikal bebas dari hasil

metabolisme doxorubicin29,30.

Doxorubicin juga mempunyai efek

samping imunosupresi12. Imunosupresi ini

disebabkan karena doxorubicin memicu

apoptosis pada G0-G1 dan pada siklus limfosit

dengan pengurangan sel T dan sel B di limpa,

kelenjar getah benin dan timus31. EKJP terbukti

dapat meningkatkan jumlah sel leukosit, neutrofil,

limfosit dan rasio CD4+/CD8+ pada tikus yang

diinduksi doxorubicin6. Hal ini semakin

memperkuat potensi EKJP untuk dikembangkan

sebagai agen ko-kemoterapi pendamping

doxorubicin berbasis fitofarmaka.

2.7 Mekanisme SMEDDS (Self-Micro Emulsifying Drug Delivery System)

SMEDDS merupakan teknik

penghantaran obat yang modern dan terbukti

dapat meningkatkan bioavalabilitas oral pada

obat yang bersifat hidrofobik dan lipofilik.

Pembuatan SMEDDS meliputi pelarutan obat

dalam fase minyak dan kemudian

mencampurkannya menggunakan agen

solubilizer yang sesuai. Bentuk SMEDDS

konvensional adalah berupa cairan. SMEDDS

cairan ini mempunyai beberapa kekurangan,

antara lain biaya poduksi yang tingi, stabilitasnya

yang rendah, penggunaan yang kurang praktis,

presipitasi obat/eksipien yang irreversible dan

lamanya drug loading. Untuk mengatasi

kekurangan tersebut, terdapat bentuk SMEDDS

alternatif, yaitu S-SMEDDS (solid self-

microemulsifying drug delivery systefm). S-

SMEDDS membutuhkan pemadatan bahan-

bahan self-microemulsifying cair ke dalam bentuk

Page 62: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

51 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

powder/nanopartikel dan dapat dikonversikan ke

dalam bentuk tablet, pelet, kapsul, dan lain-lain.

Adapun mekanisme yang terjadi dari

self-microemulsi berdasarkan Reiss adalah

sebagai berikut: dalam proses pembentukan self-

microemusifying, dibutuhkan energi bebas.

Energi bebas ini merupakan persamaan

langsung energi esensial untuk membuat

permukaan baru antara fase minyak dan air.

DG = S N p r 2s

dimana DG = energi bebas; N =

banyaknya droplet pada radius r; s = energi

interfasial

Emulsi yang terbentuk distabilkan oleh

emulsifying agents (EA) setelah dua fase emulsi

terpisahkan sesuai dengan waktu untuk

menurunkan area interfasial. EA membentuk

droplet emulsi secara monolayer yang

menyebabkan penurunan energi interfaial dan

menghasilkan barrier untuk mencegah terjadinya

koalesensi. Pada sistem self-micro emulsifying

ini, energi bebas yang digunakan untuk

membentuk emulsi dapat berupa sangat

rendah/positif/negatif31.

Gambar 3. Mekanisme SMEDDS31

2.8 Desain SMEDDS EKJP sebagai Fitofarmaka Ko-kemoterapi

Secara garis besar preparasi produk ini

akan dibagi dalam beberapa tahap, yaitu

penyiapan ekstrak kulit jeruk purut sebagai

komponen zat aktif sediaan, preformulasi bentuk

sediaan, produksi, dan evaluasi. Bahan aktif

utama yang digunakan adalah ekstrak etanolik

kulit jeruk purut (Citrus hystrix D.C.).

a. Pembuatan Ekstrak Kering Kulit Jeruk

Purut sebagai Bahan Aktif Utama

Bahan baku berupa kulit jeruk

purut berkualitas yang telah didapatkan

kemudian dikurangi kadar airnya hingga

mencapai kurang dari 10%.

Pengurangan kadar air ini dilakukan

dengan cara mengeringkannya di dalam

oven atau microwave. Simplisia atau

serbuk kulit jeruk purut yang telah kering

Page 63: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

53 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

kemudian diserbuk dengan derajat halus

tertentu. Isolasi senyawa aktif yang

berfungsi sebagai kardioprotektor dan

hepatoprotektor pada simplisia kulit jeruk

purut ini

Pembuatan ekstrak kering dapat

dilakukan menggunakan penyari etanol

70%. Langkah pertama dalam

melakukan ekstraksi kulit jeruk purut

menggunakan etanol 70% dengan

perbandingan 1:10. Ekstraksi dilakukan

selama 5 hari dan disaring. Setelah itu

diremaserasi menggunakan etanol 70%

selama 2 hari dan disaring. Filtratnya

dicampur dengan hasil maserasi. Filtrat

yang diperoleh kemudian diuapkan

menggunakan rotary evaporatory

sehingga didapatkan ekstrak kental

etanolik kulit jeruk purut.

b. Tahap Preformulasi SMEDDS Ekstrak

Kulit Jeruk Purut (EKJP)

Tahapan preformulasi SMEDDS ini

menggunakan EKJP sebagai zat aktif.

Komponen yang dibutuhkan sebagai

pembawa yaitu minyak, surfaktan, ko-

surfaktan, ko-solven. Minyak berfungsi

sebagai basis pada SMEDDS. Minyak

yang dapat digunakan antara lain minyak

sayur, lanolin, asam lemak, mono-/di-/tri-

gliserida, dan lain-lain. Sedangkan

surfaktan yang dapat digunakan pada

formulasi SMEDDS adalah nonionik

surfaktan dengan Hidrofilik-Lipofilik

Balance (HLB) yang tinggi. Sebagai

contoh adalah Tween, Labrasol,

Cremophore, dan lain-lain. Dan ko-

solven yang dapat digunakan adalah

pelarut organik, seperti etanol, propilen

glikol dan polietilen glikol

Langkah awal preformulasi yaitu

uji kelarutan EKJP terhadap beberapa

jenis pembawa tersebut untuk

mengidentifikasi komposisi yang sesuai

dalam SMEDDS. Kemudian konsentrasi

rutin, naringin dan hesperidin

dikuantifikasi menggunakan HPLC32. Uji

yang dilakukan selanjutnya adalah uji

kompaktibilitas. Uji ini dilakukan untuk

menentukan kompaktibilitas antara

surfaktan dan minyak. Semakin banyak

volume minyak yang ditambahkan

menunjukkan kompaktibilitas yang

semakin baik dengan surfaktan yang

dipilih. Uji kompaktibilitas juga dilakukan

pada ko-solven terhadap campuran

surfaktan dan minyak yang telah terpilih

dengan cara yang sama33.

Diagram fase pseudo-ternary

dibuat menggunakan metode water

titration untuk mengidentifikasi daerah

self-emulsifying dan mengoptimasi

konsentrasi surfaktan, ko-solven dan

minyak. Rasio dari surfaktan dan ko-

solven divariasi. Rasio minyak, surfaktan

dan ko-solven yang memberikan formasi

paling stabil dan daerah self-emulsifying

palingbesar adalah yang membutuhkan

volume titran paling sedikit32.

Gambar 4. Diagram Fase Pseudo-ternary9

Page 64: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

54

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

c. Tahap Formulasi dan Kontrol Kualitas

SMEDDS EKJP

SMEDDS dipersiapkan untuk

masing-masing formula dengan

membuat variasi rasio minyak yang

terpilih dan campuran surfaktan dan ko-

solven dengan rasio tertentu. EKJP

ditimbang dalam vial dan dicampur

dengan diaduk serta divortex hingga

campuran yang terbentuk homogen.

Formula yang didapat kemudian

dianalisis ukuran droplet, self-

emulsification, dan pengendapannya.

2.9. Prospek dan Dampak Universal Pengembangan SMEDDS EKJP sebagai Fitofarmaka

Jeruk purut merupakan rempah-rempah

yang biasa digunakan sebagai pelengkap bumbu

dapur rumah tangga, bagian dari jeruk purut yang

umum digunakan adalah buah dan daunnya,

namun masih jarang dijumpai aplikasi terhadap

kulitnya, padahal kulit jeruk purut memiliki potensi

yang sangat besar. Melihat potensi dari kulit

jeruk purut, maka dapat dijadikan landasan

dalam pembuatan ekstrak kulit jeruk purut

sebagai agen ko-kemoterapi terhadap

penggunaan Doxorubicin. Diperlukan suatu

inovasi untuk mewujudkan gagasan tersebut

dengan pembuatan suatu sediaan yang dapat

mempermudah penggunaan agen ko-kemoterapi

pada pasien kanker.

Sediaan SMEDDS EKJP memodifikasi

pengecilan droplet emulsi ekstrak jeruk purut

sebagai komponen zat aktifnya dan membentuk

self-emulsi secara spontan di dalam

gastrointestinal dapat menjadi trobosan terbaru

dalam dunia kefarmasian. Hal ini dikarenakan

sistem penghantarannya secara sistemik, dan

absorbsi obat yang lebih baik karena ukuran

partikel lebih kecil. Oleh karena itu, efikasi yang

didapat lebih maksimal dan akseptabilitasnya

lebih tinggi karena dapat diaplikasikan oleh

penderita kanker secara mandiri, fleksibel, dan

tidak disertai rasa nyeri.

Zat aktif dapat terlarut lebih mudah,

absorsi dan efikasi meningkat, maka diharapkan

dengan kadar kecil dapat diperoleh khasiat yang

memenuhi. Dalam sekali ekstraksi dapat

diproduksi produk dengan jumlah yang banyak

sehingga obat ini dapat dijangkau oleh kalangan

menengah kebawah. Namun dalam hal ini tidak

luput peran dari pemerintah, petani, pengusaha

dan para akademis. Pihak-pihak tersebut

memiliki andil masing-masing. Petani akan

menghasilkan dan memperbanyak tanaman jeruk

purut yang berpotensi. Sedangkan akademisi

sebagai pihak peneliti dan pemberi kisaran nilai

awal terhadap produk jadi. Pemerintah dan

pengusaha berperan sebagai penyokong dana,

mengingat serangkaian riset produk berbasis

herbal untuk dapat di-release secara legal di

masyarakat membutuhkan dana dalam jumlah

besar. Namun timbal balik ekonomi yang

dijanjikan tidak sedikit. Produk ini mempunyai

potensi dan keuntungan yang menjanjikan.

Karena bahan baku yakni jeruk purut mudah

diperoleh dengan harga terjangkau. Adanya

penelitian yang telah membuktikan khasiat EKJP

sebagai agen ko-kemoterapi doxorubicin,

membuka peluang EKJP untuk dikembangkan

menjadi fitofarmaka di Indonesia. Dengan begitu,

perkembangan obat herbal di Indonesia dapat

semakin maju dan beragam. Produk ini pun

dapat mengangkat nilai ekonomi dan nilai

manfaat dari kulit jeruk purut.

Page 65: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

55 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

3. SIMPULAN Kulit jeruk purut berpotensi sebagai agen

ko-kemoterapi doxorubicin berbasis fitofarmaka

yang mengandung naringin dan hisperidin yang

berpotensi sebagai kardioprotektor,

hepatoprotektor dan imunomodulator. Teknologi

yang digunakan adalah SMEDDS dengan prinsip

terjadinya emulsi secara spontan ketika kontak

dnegan cairan gastrointestinal.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Frias M.A., Lang U., Gerber-Wicht C.,

James R.W., 2009, Native and reconstituted

HDL protect cardiomyocytes from

doxorubicin-induced apoptosis, Cardiovasc

Res, Aug 21. [2] Simůnek, T., Stérba, M., Popelová, O.,

Adamcová, M., Hrdina, R., 2009, Gersl V.

Anthracycline-induced cardiotoxicity:

overview of studies examining the roles of

oxidative stress and free cellular iron,

Pharmacol Rep, 61(1): 154-171. [3] Sharma, G., Tyagi, A.K., Singh, R.P., Chan,

D.C.F., and Agarwal, R., 2004, Synergistic

anti-cancer effect of grape seed extract and

conventional cytotoxic agent doxorubicin

against human breast carcinoma cells,

Breast Cancer Reasearch and Treatment,

85, 1-12.

[4] Bisset, N.G., 1994, Herbal Drug and

Phytopharmaseuticals, Medpharm Scientific

Publishers, Tokyo, 151-152. [5] Putri, H., Standie N., Yonika A.L., Nindi W.,

and Adam H., 2013, Cardioprotective and

Hepatoprotective Effects of Citrus hystrix

Peels Extract on Rats Models, Asian Pacific

Journal of Tropical Biomedicine, 3(5): 371–

375. [6] Putri, H., Standie, N., Saktiningtyas, I.A.,

2011, Potensi Kulit Jeruk Purut (Citrus

hystrix D.C.) Sebagai Agen Imunomodulator

yang Prospektif pada Penekanan Efek

Imunosupresi Kemoterapi, Jurnal Saintifika

Universitas Gadjah Mada, III(2): 2011). [7] Jayaraman J, Namasivayam N., Naringenin

modulates circulatory lipid peroxidation, anti-

oxidant status and hepatic alcohol

metabolizing enzymes in rats with ethanol

induced liver injury, Fundam Clin Pharmacol

2011, 25(6): 682-689. [8] Selvaraj P, Pugalendi KV, Hesperidin, a

flavanone glycoside, on lipid peroxidation

and antioxidant status in experimental

myocardial ischemic rats. Redox Rep 2010,

15(5): 217-223.

[9] Sudheer, P., Nishanth, K.M., Satish, P.,

Uma S.MS., & Thakur R.S., 2012,

Approaches to development of solid- self

micron emulsifying drug delivery system:

formulation techniques and dosage forms –

a review, Asian Journal of Pharmacy and

Life Science, Vol. 2 (2) ISSN 2231 – 4423.

[10] Solanki, S.S., Brajesh Sarkar, and Rakesh

Kumar Dhanwani, 2012, Microemulsion

Drug Delivery System: For Bioavailability

Enhancement of Ampelopsin, ISRN

Pharmaceutics, Volume 2012.

[11] Joensuu, H, 2008, Systemic Chemoterapy

for Cancer: From Weapon ti Treatment.

Lancet Oncol, 9 (3): 304.

[12] Zhang, Xiao-Yu, Li, Wen-Guang, Wu, Yong-

Jie, and Gao, Ming-Tang, 2005,

Amelioration of Doxorubicin-Induced

Myocardial Oxidative Stress and

Immuosuppression by Grape Seed

Proanthocyanidins in Tumour-bearing Mice,

Journal of Pharmacy and Pharmacology,

Pharmaceutical Press, Vol. 57, No. 8, 1043-

1051.

Page 66: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

56

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

[13] Childs, A.C., Phaneuf, S.L., Dirks, A.J.,

Phillips, T., and Leeuwenburgh, 2002,

Doxorubicin Treatment in Vivo Causes

Cytochrome c Release and Cardiomyocyte

Apoptosis, As Well As Increased

Mitochondrial Efficiency, Superoxide

Dismutase Activity, and Bcl-2:Bax Ratio,

Cancer Research, 62:4592-4598.

[14] Minotti, G., Menna, P., Salvatorelli, E.,

Cairo,G., and Gianni, L., 2004,

Anthracyclins: Molecular Advances and

Pharmacologic Developments in Antitumor

Activity and Cardiotoxicity. Pharmacol Rev.,

56:185-228.

[15] Chen, Yun., Poe, Bob., and Eder, Angie.,

2006, Doxorubicin Content in Acidic

Organelles, Mitochondria Harvesting

Doxorubicin Metabolism in Liposomal

Delivery Systems, Organelle Research

Group University of Minnesota.

[16] Han, X., Pan, J., Ren, D., Cheng, Y., Fan,

P., and Lou, H., 2008, Naringin-7-O-

glucoside protects against doxorubicin-

induced toxicity in H9c2 cardiomyocytes by

induction of endogenous antioxidant

enzymes, Food and Chemical Toxicology,

46:3140-3146.

[17] Chularojmontri, L, Wattanapitayakul, S.k.,

Herunsalee, A., Charuchongkolwongse, S.,

Niumsakul, S., Srichairat, S., 2005,

Antioxidative and cardioprotective effects of

Phyllanthus urinaria L, on doxorubicin-

induced cardiotoxicity, Biol Pharm Bull. 28

(7): 1165-71.

[18] Erdelen, W.R., Adimihardja, K.,

Moesdarsono, H., and Sidik, 1999,

Biodiversity, Traditional Medicine and the

Sustainable Use of Indigenous Medicinal

Plants in Indonesia. Indigenous knowledge

and development monitor, 7(3):3-6.

[19] Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan

Makanan Republik Indonesia, 2005, Kriteria

dan Tata Laksana Pendaftaran Obat

Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan

Fitofarmaka, No.HK 00.05.41.1384, Jakarta:

Departemen Kesehatan RI.

[20] Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan

Makanan Republik Indonesia, 2000,

Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat

Tradisional, Jakarta: Departemen

Kesehatan RI.

[21] Kawaguchi K, Kikuchi S, Hasegawa H, et

al,1999, Suppressionof lipopolysaccharide-

induced tumor necrosis factor-release and

liver injury in mice by naringin. Eur J Phar-

macol 1999;368:245–50.

[22] Tirkey, N., Pilkhwal, S., Kuhad, A., &

Chopra, K., 2005, Hesperidin, a citrus

bioflavonoid, decreases the oxidative stress

produced by carbon tetrachloride in rat liver

and kidney, BMC pharmacology, 5, 2. doi:

10.1186/1471-2210-5-2.

[23] Raheem, I.T., Abdel-Ghany, A.A., 2009,

Hesperidin alleviates doxorubicin-induced

cardiotoxicity in rats, J Egypt Natl Canc Inst,

21(2): 175-184.

[24] Choi, Soo-Youn, Hee-Chul Ko, Soo-Youn

Ko, Joon-Ho Hwang, Ji-Gweon Park, Shin-

Hae Kang, Sang-Hun Han, Su-Hyun Yun,

and Se-Jae Kim, 2007, Correlation between

Flavonoid Content and the NO Production

Inhibitory Activity of Peel Extracts from

Various Citrus Fruits, Biol. Pharm. Bull.,

30(4): 772—778.

[25] Kommuru T. R., Gurley B., Khan M. A., and

Reddy I. K., 2012, Selfemulsifying drug

delivery systems (SEDDS) of coenzyme

Q10: formulation development and

bioavailability assessment, Int. J. Pharm,

233.246.

Page 67: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

57 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

[26] Wakerly, M.G., et al., 1986,

Self‐emulsification of veg: oil‐non‐ionic

surfactant mixtures, ACS symp. Ser. 311,

242‐255.

[27] Groves MJ, Degalindez DA, 1976, The

self‐emulsifying action of mixed surfactants

in oil, Acta Pharm Suec, 13, 361‐ 372.

[28] McClintic JR, 1976, Physiology of the

Human Body, 2nd Edition, Wiley, New York,

189.

[29] Soucek, P., Kondrova, E., Hermanek, J.,

Stopka, P., Boumendjel, A., Ueng, Y.F.,

2011, New model system for testing effects

of flavonoids on doxorubicin-related

formation of hydroxyl radicals. Anticancer

Drugs, 22(2): 176-184.

[30] Arafa, H.M., Abd-Ellah, M.F., Hafez, H.F.,

2005, Abatement by naringenin of

doxorubicin-induced cardiac toxicity in rats.

J Egpt Cancer Inst, 17(4): 291-300.

[31] Prince L.M., 1974, Microemulsions, Marcel

Dekker, New York.

[32] Mejakrusul, C., Yang, Y., Leed, M. G. D.,

Sadgrove, M. P., Jay, M., Sripanidkulchai,

B., 2013, Novel formulation strategies for

enhancing oral delivery of methoxyflavones

in Kaempferia parviflora by SMEDDS or

complexation with 2-hydroxypropyl-β-

cyclodextrin, International Journal of

Pharmaceutics, 445 (2013), 1-11.

[33] Cui, J., Yu, B., Zhao, Y., Zhu, W., Lou, H.,

Zhai, G., 2009. Enhancement of oral

absorption of curcumin by self-

microemulsifying drug delivery systems. Int.

J. Pharm. 371, 148–155.

Page 68: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

58

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Advertorial

ABSTRAK

Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak akibat ketidakcukupan sekresi insulin atau resistensi insulin pada jaringan yang dituju. Terapi diabetes mellitus yang dilakukan selama ini menggunakan insulin atau obat hipoglikemik oral (OHO). Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendorong pengembangan bahan alam menjadi sumber bahan baku untuk terapi DM. Sirih merah telah digunakan secara empiris untuk pengobatan DM. Penelitian efek antidiabetes dari ekstrak sirih merah telah dilakukan secara in vivo terhadap tikus dan mencit. Uji toksisitas terhadap ekstrak air sirih merah telah dilakukan dan terbukti aman. Sirih merah mengandung flavonoid yang dapat menurunkan kadar gula darah dengan menghambat enzim aldose reduktase seperti α-amilase dan α–glukosidase, menghambat oksidasi asam lemak, dan menangkap radikal bebas sehingga mencegah terjadinya kerusakan sel dan jaringan yang memicu komplikasi diabetes. Untuk mengekstraksi flavonoid tersebut menggunakan metode ekstraksi air seperti infundansi. Ekstrak air yang dihasilkan distandarisasi sehingga dapat diolah lebih lanjut menjadi sirup. Sirup ekstrak air sirih merah ini dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka. Kata kunci: sirih merah, diabetes mellitus, ekstrak air, sirup, fitofarmaka ABSTRACT

Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disorder of carbohydrate , protein , and fat as a result of insufficient insulin secretion or insulin resistance in target tissues . Therapy for diabetes mellitus was done by using insulin or oral hypoglycemic agents (OHO) . World Health Organization (WHO) to encourage the development of natural material into a source of raw materials for the treatment of diabetes . Red betel has been used empirically for the treatment of diabetes . Research antidiabetic effect of the extract of red betel has been done in vivo on rats and mice . Toxicity tests on water extracts of red betel has been done and proven safe . Red betel contains flavonoids that can lower blood sugar levels by inhibiting the enzyme aldose reductase such as α - amylase and α - glucosidase , inhibiting fatty acid oxidation , and capturing free radicals thus preventing cell and tissue damage that triggers complications of diabetes . To extract the flavonoids extraction using water as infundansi . The resulting aqueous extract is standardized so that it can be further processed into syrup . Water extract of red betel syrup can be developed into fitofarmaka . Keywords: red betel, diabetes mellitus, water extract, phytopharmaca

SIRUP EKSTRAK AIR SIRIH MERAH (Piper crocatum) : INOVASI BARU OBAT DIABETES BERBASIS HERBAL Fera Amelia, Ellsya Angeline R.*, Erni Wijayanti Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada *Corresponding author’s email : [email protected]

Page 69: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

59 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

1. PENDAHULUAN Diabetes mellitus (DM) merupakan

gangguan metabolisme karbohidrat, protein,

lemak akibat ketidakcukupan sekresi insulin atau

resistensi insulin pada jaringan yang dituju

(Dorland, 2002). Pengobatan DM biasanya

dilakukan dengan pemberian Obat Hipoglikemik

Oral (OHO) dan insulin. OHO yang sering

digunakan masyarakat adalah glibenklamid dari

golongan sulfonilurea yang bekerja merangsang

insulin. Selain obat tersebut, penderita DM

menggunakan obat tradisional yang berasal dari

tanaman obat. Masyarakat menggunakan obat

tradisional karena dianggap mempunyai efek

samping yang lebih ringan. Komisi ahli diabetes

WHO menghimbau pengembangan obat

diabetes berbasis bahan alam.

Indonesia merupakan negara

megabiodiversity dengan hutan tropis yang

terbesar kedua di dunia. Namun, pemanfaatan

potensi biodiversitas di Indonesia masih kurang

dari 5% padahal tumbuhan merupakan sumber

kimia hayati (chemical resources) yang dapat

dikembangkan menjadi sumber bahan baku

senyawa aktif obat yang dapat diperbarui

(Achmad, 2011). Salah satu bahan alami yang

dapat digunakan sebagai obat tradisional DM

adalah daun sirih merah (Piper crocatum) yang

telah digunakan secara empiris di masyarakat.

Penelitian preklinis terhadap ekstrak air

daun sirih merah secara in vitro dan in vivo telah

dilakukan di Indonesia. Hasil uji preklinis

menunjukkan bahwa infusa sirih merah dapat

menurunkan kadar glukosa darah. Selain itu,

infusa sirih merah tidak bersifat toksik sehingga

aman bila dikonsumsi dalam jangka waktu yang

lama (Safitri dkk, 2012b). Senyawa aktif yang

memiliki efek hipoglikemik dalam daun sirih

merah yakni alkaloid, saponin, tanin dan

flavonoid (Sudewo, 2005). Flavonoid dapat

menangkap radikal bebas dan mengurangi stres

oksidatif sehingga dapat memperbaiki fungsi sel

beta (Safithri, 2005).

Flavonoid merupakan salah satu

senyawa bioaktif dari bahan alam yang sedang

dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan dunia

untuk menjadi obat diabetes. Dalam

menurunkan gula darah, flavonoid memiliki

banyak mekanisme aksi, antara lain

menghambat aktivitas enzim α-glukosidase,

menghambat oksidasi asam lemak, dan

menangkap radikal bebas. Oleh karena itu, sirih

merah memiliki potensi yang besar untuk

dikembangkan menjadi fitofarmaka apalagi di

Indonesia belum ada fitofarmaka untuk penyakit

diabetes.

Gagasan yang diajukan adalah

mengembangkan ekstrak air sirih merah menjadi

sediaan antidiabetes oral yang inovatif dalam

bentuk sirup dengan hidroksi metilselulosa

(CMC) sebagai pengental dan sorbitol sebagai

pemanis. Hidroksi metilselulosa merupakan

polisakarida sehingga rasanya manis namun

tidak dapat dihidrolisis menjadi glukosa sehingga

tidak akan meningkatkan kadar gula darah pada

penderita diabetes mellitus. Sediaan sirup dipilih

karena yang digunakan adalah ekstrak air.

Keunggulan sediaan sirup ini adalah

pembuatannya mudah dan biaya produksinya

rendah sehingga diharapkan sirup ekstrak air

sirih merah ini bisa diproduksi oleh industri

farmasi lokal dalam jumlah banyak dengan harga

terjangkau sehingga dapat dibeli oleh

masyarakat.

2. PEMBAHASAN 2.1. Mekanisme Aksi Flavonoid sebagai

Antidiabetes Sirih merah telah digunakan masyarakat

Indonesia sebagai obat tradisional yang secara

Page 70: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

60

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

empiris memiliki khasiat sebagai obat diabetes.

Senyawa aktif yang memiliki efek hipoglikemik

dalam daun sirih merah yakni alkaloid, saponin,

tanin dan flavonoid (Sudewo, 2005). Dalam

berbagai penelitian terkini, molekul kecil seperti

flavonoid mampu menghambat aktivitas enzim α-

glukosidase (Lo Piparo dkk., 2008). Enzim aldose

reduktase seperti α-glukosidase berfungsi untuk

mengkatalisis oksidasi β-D-glukosa menjadi

asam glukonat dengan menggunakan molekul

oksigen sebagai akseptor elektron, mengkatalisis

hidrolisis residu glukosa yang berikatan α-1,4

pada berbagai substrat untuk menghasilkan α-D-

glukosa, dan menghidrolisis ikatan α-glikosidik

pada oligosakarida dan α-D-glikosida (Agustanti,

2008; Hartika, 2009 cit Sou dkk, 2000).

Aktivitas flavonoid sebagai

antihiperglikemia telah diteliti banyak orang dan

dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Flavonoid

dalam sirih merah sebagai senyawa inhibitor α-

glukosidase dapat menghambat oksidasi β-D-

glukosa menjadi asam glukonat, mengurangi

pencernaan dan absorpsi dari karbohidrat

kompleks, menghambat enzim α-amilase

pankreas dalam menghidrolisis polisakarida di

lumen usus halus, dan mampu menstimulasi

penangkapan ion Ca2+ sehingga efektif untuk

penderita diabetes melitus tipe II yang tidak

tergantung pada insulin (Sharififar dkk, 2009;

Patra dan Chua, 2010).

2.2. Pengembangan Sirih Merah Menjadi Fitofarmaka

Sirih merah berpotensi untuk

dikembangkan menjadi fitofarmaka. Fitofarmaka

adalah sediaan obat bahan alam yang telah

dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara

ilmiah dengan uji preklinik dan uji klinik, bahan

baku, dan produk jadinya telah distandarisasi

(BPOM, 2005). Pengembangan sirih merah

menjadi fitofarmaka harus melalui uji preklinik (uji

toksisitas dan uji farmakodinamik), standarisasi

ekstrak (penentuan identitas dan pembuatan

sediaan terstandar), dan uji klinik (Pramono dkk,

2000).

Uji preklinis dilakukan secara in vitro dan

in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas

dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan

dan cara pemberian pada hewan coba

disesuaikan dengan rencana pemberian pada

manusia Melalui penelitian in vivo, infusa daun

sirih merah dengan dosis 0,54g/kgBB, 1,08

g/kgBB, dan 2,16 g/kgBB dapat menurunkan

kadar gula darah tikus yang diinduksi aloksan

(Dika, 2011). Air rebusan sirih merah pada tikus

yang diinduksi aloksan dengan berbagai dosis

dari 3,33 g/kgBB hingga 20 g/kgBB dapat mampu

menurunkan kadar gula darah sebesar 10-38%

dan mencegah penurunan berat badan sebesar

5-52% (Safitri dkk, 2012a). Menurut Pedoman

Pelaksanaan Obat Tradisional yang dikeluarkan

Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan

RI, hewan coba yang digunakan untuk

sementara satu spesies tikus atau mencit

sedangkan WHO menganjurkan pada dua

spesies. Selain tikus sebagai model DM, telah

dilakukan penelitian in vivo terhadap mencit

model diabetes mellitus dengan infusa daun sirih

merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

infusa daun sirih merah dengan konsentrasi

0,078 g/kgBB, 0,156 g/kgBB, dan 0,312g/kgBB

dapat menurunkan kadar gula darah pada mencit

sebesar 32,87 %, 17,20 %, dan 31,33 %

(Anindyagari, 2009).

Pengujian toksisitas akut air rebusan

daun sirih merah menunjukkan bahwa selama 24

jam pertama sampai 7 hari masa percobaan tidak

ada hewan yang mati baik untuk kelompok dosis

0, 5, 10, maupun 20 g/kg BB. Dengan tidak

adanya kematian tikus putih pada semua dosis

Page 71: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

61 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

yang diujikan, maka dapat dikatakan bahwa

rebusan sirih merah tidak bersifat toksik (Safitri

dkk, 2012). Uji ketoksikan ekstrak air sirih merah

tersebut telah dilakukan terhadap ginjal, sel

darah, dan liver. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara

histologi ginjal dan liver antara tikus kontrol

(tanpa perlakuan) dengan tikus yang diberi

perlakuan. Selain itu, tidak ada perbedaan

signifikan juga kadar kreatinin, SGPT, dan SGOT

pada kedua kelompok tikus tersebut sehingga

dapat disimpulkan bahwa ekstrak air daun sirih

merah tidak hepatotoksik, nefrotoksik, dan

hematotoksik (Safithri, 2012b).

Sebelum menjadi fitofarmaka, ekstrak

harus distandarisasi terlebih dahulu. Setelah

dibuat ekstrak air lalu dilakukan standarisasi

ekstrak. Standarisasi ekstrak dilakukan sebagai

salah satu langkah dalam pengembangan

ekstrak air sirih merah ini sebagai fitofarmaka.

Standarisasi ekstrak dilakukan dengan parameter

spesifik dan parameter non spesifik.. Beberapa

parameter non spesifik daun sirih merah telah

diteliti. Analisis proksimat terhadap daun sirih

merah telah dilaporkan. Analisis ini bertujuan

untuk mengetahui kandungan apa saja yang

terdapat dalam daun sirih merah. Hasil analisis

kadar air menunjukkan bahwa proses

pengeringan dengan oven mampu kadar air

sampai dibawah 10% (Safitri dkk, 2012). Dengan

demikian, daun sirih merah dapat aman disimpan

sebelum digunakan untuk ekstraksi karena kadar

air di bawah 10% dapat mencegah terjadinya

proses enzimatik dan kerusakan oleh mikroba

seperti bakteri, kapang, dan khamir (Manoi

2006).

Dari berbagai hasil penelitian preklinik aktivitas

infus sirih merah secara in vivo dan in vitro, maka

ekstrak air daun sirih merah memiliki aktivitas

antidiabetes. Ditinjau dari uji toksisitasnya, daun

sirih merah ini dapat dikatakan aman bila

dikonsumsi oleh manusia sehingga daun sirih

merah ini dapat dibuat dalam bentuk ekstrak

terstandar yang kemudian diformulasikan dalam

bentuk sediaan obat selanjutnya dilakukan uji

klinik ke manusia.

2.3. Pembuatan Sirup Ekstrak Air Sirih Merah

Tanaman sirih merah siap dipanen

setelah berumur 4 bulan dengan daun yang

relatif sudah lebar dengan panjang 16 sampai 20

cm. Sebaiknya daun yang dipetik berumur sudah

cukup tua karena pada umur tersebut kadar zat

aktifnya tinggi dengan aroma daun tajam dan

rasanya yang pahit (Werdhany dkk, 2008).

Panen dapat dilakukan seminggu sekali.

Semakin sering daun dipanen, semakin cepat

tunas baru tumbuh. Pemetikan dimulai dari

bagian bawah atau sekitar 60 cm dari permukaan

tanah menuju ke atas supaya meminimalkan bila

terdapat kotoran atau debu yang menempel.

Pemetikan sebaiknya dilakukan pada pagi hari

sampai pukul 11.00 supaya masih dapat

dilakukan proses pengeringan (Werdhany dkk,

2008).

Daun yang telah dipetik kemudian disortir

untuk dipilih daun yang bersih, segar, tebal, dan

mengkilap. Daun tersebut kemudian direndam

dalam air selama 15-30 menit untuk

membersihkan kotoran dan debu yang

menempel kemudian dibilas hingga bersih dan

ditiriskan. Selanjutnya daun dirajang dengan

pisau yang bersih dan tajam dengan lebar irisan

sekitar 1 cm. Hasil rajangan diletakkan di atas

tampah yang diberi alas kertas dan dikering-

anginkan selama 3-4 hari sampai kadar airnya di

bawah 12 %. Daun sirih yang telah kering

dimasukkan ke kantong plastik tebal transparan

yang diberi silika gel lalu disimpan di tempat yang

bersih dan tidak lembab sehingga kualitas sirih

Page 72: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

62

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

merah tetap terjaga hingga setahun (Werdhany

dkk, 2008).

Ekstraksi merupakan suatu proses yang

secara selektif mengambil zat terlarut yang

terkandung dalam suatu campuran dengan

bantuan pelarut (Ansel, 1989). Faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah

lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang

digunakan (Khopkar, 2003). Pertimbangan yang

perlu diperhatikan dalam memilih suatu pelarut

adalah kepolaran pelarut tersebut karena pelarut

polar akan melarutkan senyawa polar, sebaliknya

pelarut non polar akan melarutkan senyawa non

polar. Pemilihan pelarut dengan tingkat

kepolaran tertentu diperlukan untuk

meningkatkan efisiensi dalam mengekstraksi

flavonoid, alkaloid, dan tanin dari sirih merah.

Golongan flavonoid yang polar seperti flavonol,

isoflavon, antosianin, dan flavon dapat diekstrak

menggunakan kloroform, diklorometan, dan

dietilasetat, sedangkan golongan flavonoid yang

lebih polar seperti flavonoid O-glikosida dan C-

glikosida dapat diekstraksi dengan pelarut

alkohol atau air (Andersen dan Markham, 2006).

Rutin dan kuersetin yang telah diteliti memiliki

aktivitas antihiperglikemik termasuk dalam

golongan flavonoid yang polar sehingga sirih

merah dapat diekstraksi dengan air. Air sangat

murah, mudah didapat, dan tidak toksik sehingga

menguntungkan jika digunakan dalam skala

industri (Khopkar, 2003).

Metode ekstraksi yang digunakan harus

mempertimbangkan sifat dari senyawa-aktif dan

senyawa-senyawa lain yang terkandung dalam

simplisia tersebut (Voigt, 1995). Ada beberapa

macam metode ekstraksi, yaitu maserasi,

perkolasi, infundansi, dan soxletasi. Penelitian

preklinis yang telah dilakukan menggunakan

metode infundansi. Infundansi adalah metode

penyarian dengan cara menyari simplisia dalam

air pada suhu 90 °C selama 15 menit. Infundansi

dilakukan untuk menyari senyawa aktif yang larut

dalam air. Infundansi menggunakan panci

khusus yang disebut dengan panci infus. Panci

infus biasanya terdiri dari dua susun yaitu panci

bagian atas berisi bahan dan aquadest

sedangkan panci bagian bawah berisi penangas

air sehingga rebusan simplisia tidak langsung

berhubungan dengan sumber api.

Ekstraksi yang dilakukan didasarkan

pada cara infundansi yaitu dengan menimbang

sejumlah sirih merah kemudian dimasukkan ke

dalam panci infus atas yang berisi sejumlah

volume air. Panci infus tersebut dipanaskan di

atas kompor. Setelah air mencapai 90°C lalu

dihitung sampai menit ke-15, kemudian diserkai

selagi panas dengan kain flanel. Ekstrak air yang

didapat dari infundansi dipekatkan dengan

evaporator vakum untuk mendapatkan

konsentrasi tertentu. Namun, ini dapat

disesuaikan dengan kapasitas dari panci infus itu

sendiri.

Sirup ekstrak air sirih merah ini dibuat

dengan bahan tambahan hidroksi metil selulosa

(CMC) sebagai pengental, sorbitol sebagai

pemanis, dan metil paraben sebagai antibakteri.

Pembuatan sirup dilakukan dengan melarutkan

sejumlah serbuk dalam air hingga konsentrasinya

sebanyak 3%. Larutan CMC dicampur dengan

konsentrat ekstrak dan sorbitol dengan

perbandingan konsentrat ekstrak, larutan CMC

dan gula sebanyak 8:1,5:0,5. Setelah itu campur

hingga homogen menggunakan mixer dengan

kecepatan rendah. Setelah homogen, metil

paraben yang telah dilarutkan dalam air

dimasukkan, diaduk homogen, kemudian sirup

disaring. Sirup yang sudah jernih kemudian

dimasukkan ke dalam botol kemasan. Semuanya

dapat dilakukan secara otomatisasi dengan

mesin dalam skala industri.

Page 73: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

63 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

2.4. Prospek Sirup Sirih Merah sebagai Fitofarmaka

Diabetes merupakan salah satu penyakit

yang menjadi perhatian dunia. Pengembangan

ekstrak air sirih merah sebagai fitofarmaka ini

memiliki peluang yang besar karena diabetes

merupakan penyakit yang jumlah penderitanya

banyak di Indonesia yaitu sekitar tujuh juta orang.

Hal ini sesuai dengan persyaratan obat

tradisional yang dikembangkan menjadi

fitofarmaka yaitu yang diharapkan berkhasiat

untuk penyakit yang menduduki urutan atas

dalam angka kejadiannya dan berdasarkan

pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu

(Depkes, 2000).

Fitofarmaka dari sirih merah ini

diharapkan mampu menjadi pengobatan dengan

efek samping minimal. Mengingat, masyarakat

Indonesia bahkan masyarakat dunia cenderung

mengikuti gerakan back to nature atau gerakan

kembali ke alam. Tentu saja gagasan ini apabila

diimplementasikan akan memiliki peluang pasar

yang besar. Pemanfaatan daun sirih merah

sebagai terapi antidiabetes merupakan salah

satu bentuk pengembangan produk herbal

dengan memanfaatkan kekayaan lokal sehingga

mendukung kelestariannya. Sediaan sirup

ekstrak air sirih merah ini merupakan sebuah

inovasi baru karena sediaan obat untuk diabetes

biasanya berbentuk tablet atau kapsul. Dengan

adanya fitofarmaka sirup sirih merah ini

diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan

baru untuk petani lokal sirih merah dan

masyarakat sehingga dapat menambah devisa

negara.

3. SIMPULAN 3.1. Mekanisme aksi flavonoid sebagai

senyawa aktif adalah dapat menghambat

oksidasi β-D-glukosa menjadi asam

glukonat, mengurangi pencernaan dan

absorpsi dari karbohidrat kompleks,

menghambat enzim α-amilase pankreas

dalam menghidrolisis polisakarida di lumen

usus halus, dan mampu menstimulasi

penangkapan ion Ca2+, dan meningkatkan

pelepasan insulin ke dalam darah.

3.2. Flavonoid diabsorbsi dalam bentuk

aglikon bebas atau bentuk glikosidanya

melalui mekanisme difusi pasif maupun

transport aktif yang dibantu oleh enzim ß-

glukosidase sitosolik dan enzim lactase

phlorizin hydrolase. Flavonoid akan

dimetabolisme dengan mekanisme

metiasi, sulfasi, dan glukuronidasi.

Flavonoid yang sudah dimetabolisme akan

diekskresikan menjadi feses dan urin.

3.3. Langkah implementasi pelaksanaan

gagasan meliputi berbagai tahapan utama

yaitu standarisasi ekstrak sirih merah,

penelitian dan industrialisasi. Sirih merah

dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka

setelah dilakukan standarisasi ekstrak, uji

preklinik (farmakodinamik dan toksisitas),

dan uji klinik fase 1,2,3, dan 4.

4. SARAN Masih perlu dilakukan penelitian tentang

standarisasi ekstrak air sirih merah dan uji

preklinis lebih lengkap lagi sehingga memenuhi

syarat untuk uji klinik kepada manusia.

DAFTAR PUSTAKA [1] Achmad S.A., E.H. Hakim L., Makmur D.,

Mujahidin Y.M., Syah. 2001. Sejumlah

Senyawa Kimia Baru dengan Kerangka

Berlandaskan 3-Isoprenil-Flavon dari

Tumbuh-Tumbuhan Moraceae Hutan

Tropika Indonesia dan

Page 74: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

64

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Kegunaannya.Makalah Seminar Kimia

Indonesia Wilayah Barat. Pekanbaru :

Universitas Riau.

[2] Agoes, G. 2007. Teknologi Bahan Alam.

Bandung : Penerbit Institut Teknologi

Bandung.

[3] Agustanti, L. 2008. Potensi Daun Sirih

Merah (Piper crocatum) sebagai Aktivator

Enzim Glukosa Oksidase. Bogor : Institut

Pertanian Bogor.

[4] Alfarabi, M. 2010. Kajian Antidiabetagonik

Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper crocatum)

In Vitro. Bogor : Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor.

[5] Andersen M., Markam R. 2006. Flavonoid :

Chemistry, Biochemistry, and Applications.

Prancis : CRC Press Taylor & Francis

Group.

[6] Anindyagari. 2009. Efek Infusa Daun Sirih

Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav)

terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah

Mencit Model Diabetes Melllitus. Bandung :

Universitas Kristen Maranatha.

[7] Anonim, 1978, Farmakope Indonesia Edisi

II, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

[8] Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk

Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press

[9] Backer, C.A, Bakhuizen van den Brink,

1963, Flora of Java (Spermatophytes Only),

Vol. I, Wolter-Noordhoff, NVP., Groningen.

Bowman BA and Russel RM. 2001. Present

Knowledge in Nutrition. ED ke-8. ILSI,

Washingthon. DC.

[10] Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM). 2005. Kriteria dan Tata Laksana

Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal

Terstandar dan Fitofarmaka. Jakarta :

Badan Pengawas Obat dan Makanan

[11] Boyle JP, Honeycutt AA, Narayan KM,

Hoergoer TJ, Geiss LS, Chen H, and

Thompson TJ. 2001. Projection of diabetes

burden through 2050: Impact of changing

demography and disease prevalence in the

U.S. Diabetes Care 24 : 1936-1940.

[12] Brahmachari G. 2011. Bioflavonoid with

promising anti-diabetic potentials : A critical

survey. Oppurtinity and Scope of Natural

Products in Medicinal Chemistry 2012: 187-

212

[13] Cazarolli, L.H., Zanatta, L., Alberton, E.H.,

Figuereido, M.S.R.B., Folador, P., Damazio,

R.G., Pizzolatti, M.G., Silva, F.R.M.B.

Flavonoids : Prospective drug candidates.

Mini-Rev. Med. Chem. 2008, 8, 1429-1440.

[14] Ceriello A. 2003. New insights on oxidative

stress and diabetic complications may lead

to a “causal” antioxidant therapy. Diabetes

Care 26 : 1589–1596.

[15] Chandramohan G, Ignacimuthu S,

Pugalendi KV. 2008. A novel compound

from Casearia esculenta(Roxb.)root and its

effect on carbohydrate metabolism in

streptozotocin-daibetic rats. Eur J

Pharmacol 590: 437-443.

[16] Cushnie T.P.T, Lamb A.J.2005.

Antimicrobial activity of flavonoids.

International Journal Of Antimicrobial Agents

26: 343-356.

[17] Dalimartha. 2004. Tanaman Obat dan

Pengobatan Alternatif. Jakarta : Setia

Kawan.

[18] Day, A. J., Canada, F.J., Diaz, J.C., Kroon,

P.A., Mclauchan, R., Fauldas, C.B., Plumb,

G.W., Morgan, M.R., Williamson, G. 2000.

Dietary flavonoid and isoflavone glycosides

are hydrolysed by the lactase site of lactase

phlorizin hydrolase. FEBS Lett 468: 166-170

[19] Day, A.J., Gee, J.M., DuPont, M.S.,

Johnson, I.T., Williamson, G. Absorption of

quercetin-3-glucoside and quercetin-4’-

Page 75: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

65 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

glucoside in the rat small intestine : the role

of lactase phlorizin hydrolase and the

sodium-deependent glucose transporter.

Biochemical Pharmacology 65: 1199-1206

[20] Departemen Kesehatan RI, Direktorat

Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan,

Direktoral Pengawasan Obat Tradisional

(Depkes). 2000. Pedoman Pelaksanaan Uji

Klinik Obat Tradisional. Depkes. Jakarta.

[21] Departemen Kesehatan RI (Depkes). 2005.

Pharmaceutical Care untuk Penyakit

Diabetes Mellitus. Direktorat Bina Farmasi

Komunitas dan Klinik dan Direktorat

Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2005.

Jakarta

[22] Dika. 2001. Uji Efek Hipoglikemik Infusa

Daun Sirih Merah (Piper crocatum) pada

Tikus Putih yang Telah Diinduksi Alloxan.

Jakarta : Universitas Pembangunan

Nasional Veteran.

[23] Dobretsov M, Romanovsky D, & Stimers JR.

2007. Early diabetic neuropathy: triggers

and mechanism. World J Gastroenterol 13 :

175-191.

[24] Dorland, Newman. 2002. Kamus

Kedokteran Dorland. Edisi 29,. Jakarta:EGC

[25] Hollman P.C.H., Buijsman M.N.C.P., Van

Gameren Y., Cnossen P.J., de Vries J.H.M.,

Katan MB. 1999. The sugar moiety is a

major determinant of the absorption of

dietary flavonoid glycosides in man. Free

Radic Res 31 : 569-573.

[26] Khopkar SM. 2003. Konsep Dasar Kimia

Analitik. Jakarta: UI Press.Priyatmoko, 2008

[27] Lachman L. 1994. Teori dan Praktek

Farmasi Industri. Depok : UI Press, hal 797-

798, 831-834

[28] Lo Piparo E, Scheib H, Frei N, Williamson

G, Grigorov M, Chou CJ (2008) Flavonoids

for controlling starch digestion: structural

require-ments for inhibiting human α-

amylase. J Med Chem 51: 3555–3561.

[29] Manach, C., Scalbert, A., Morand, C.,

Remesy, C., Jimenez, L. Polyphenols : food

sources and bioavaibility. Am. J. Clin. Nutr

79:727-747

[30] Manoi F. 2006. Pengaruh cara pengeringan

terhadap mutu simplisia sambiloto. Bul Littro

17(1),1 – 5.

[31] Manoi, F. 2007. Sirih Merah Sebagai

Tanaman Multi Fungsi. Bogor : Balitro.

[32] Markham KR. 1988. Cara mengidentifikasi

Flavonoid. Padmawinata K. Penerjemah.

Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Terjemahan dari: Techniques of Flavonoid

Identification.

[33] Meloan CE. 1999. Chemical Separation.

New York : J Willey

[34] Mufidah. 2011. Aktivitas Antiaterosklerosis

Ekstrak Terstandar Klika Ongkea (Mezzetia

parviflora BECC) pada Tikus Wistar yang

Diberi Asupan Kolesterol : Kajian Efek

Antioksidan dan Antikolesterol terhadap

Penghambatan MCP-1 dan Disfungsi

Endotel. Makasar : Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin.

[35] Nemeth, K, Plumb, G.W., Berrin, J.G., Juge,

N., Jacob, R., Naim, H.Y., Williamson, G.,

Swallow, D.M., Kroon, P.A. 2003.

Deglycosylation by small intestinal epithelial

cell beta glucosidases is a critical step in the

absorption and metabolism of dietary

flavonoid glycisides in human. Eur. J. Nutr.,

2003, 42, 29-42

[36] Nijveldt RJ, van Nood E, van Hoorn DE,

Boelens PG, van Nor-ren K, van Leeuwen

PA . 2001. Flavonoids: a review of probable

mechanisms of action and potential

applications. Am J Clin Nutr 74: 418–425.

Page 76: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

66

B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

[37] Patra, J.C.and Chua, B.H. 2010. Artificial

neutral network-based drug design for

diabetes mellitus using flavonoids. Journal

of Computational Chemistry 32: 555-567.

[38] Pramono S, Nurwati S, Sugiyanto. Pengaruh

lendir daun jati Belanda terhadap berat

badan tikus jantan galur wistar. Warta

Tumbuhan Obat Indonesia 2000:6(2).

[39] Ryan. 2008. Sirih Merah Atasi Diabetes

Mellitus dan Tumor. Puspa Swara. Jakarta.

[40] Rohdiana D. 2001. Aktivitas Daya Tangkap

Radikal Polifenol dalam Daun Teh. Majalah

Farmasi Indonesia 12: 53-58.

[41] Safithri M & Fahma F. 2008. Potency of P.

crocatum decoction as an

antihyperglycemic. Hayati J Biosci, 15, 45-

48.

[42] Safithri, M., Fahma, F., dan Marlina, P.W.N.

2012a. Analisis Proksimat dan Toksisitas

Akut Ekstrak Daun Sirih Merahyang

Berpotensi sebagai Antidiabetes. Jurnal Gizi

dan Pangan, Maret 2012, 7(1): 43-48.

[43] Safitri M., Yasni S., Bintang M., Ranti A.S.

2012b. Toxicity Study of Antidiabetics

Functional Drink of Piper crocatum and

Cinnamomum burmanii. Hayati Journal of

Biosciences 19 : 31-36.

[44] Satyanarayana T., Katyayani, B.M., Hema,

L.E., Anjana, A.M., and Chinna EM. 2006.

Hypoglycemic and anti-hyperglycemic effect

of alcoholic extract of Euphorbia leucophylla

in normal and in alloxan induced diabetic

rats. Phacog Mag 2 : 244-255.

[45] Scalbert, A., Williamson, G. Dietary intake

and bioavaibility of polyhpenols. J. Nutr.,

2000, 130, 2073S-85S

[46] Sharififar, F., Dehghnudeh, G., and

Mirtajaldini, M. 2009. Major flavonoids with

antioxidant activity from Teucrium polium.

Food Chemistry 112: 885-888.

[47] International Diabetes Federation (IDF).

2012. International Diabetes Federation

Atlas 5th Edition. Diakses dari

www.idf.org/diabetesatlas

[48] Sou S et al. 2000. Novel α-Glukosidase

Inhibitors with a Tetrachloropthlamide

Skeleton. Bioorganic & Medicinal Chemistry

Letters10: 1081-1084. Tokyo: Institute of

Molecular and Cellular Biosciences. Di

dalam: Hartika, R.2009. Aktivitas Inhibisi α-

GlukosidaseEkstrak Senyawa Golongan

Flavonoid Buah Mahkota Dewa.Bogor :

Institut Pertanian Bogor.

[49] Sudewo, B. 2005. Basmi Penyakit dengan

Sirih Merah. Jakarta: PT. Agro Media

Pustaka

[50] Sudiarto. 1999. Sirih Merah Sangat Berguna

untuk Menyembuhkan Penyakit Akibat

Infeksi. Yogyakarta : Agrotrend

[51] Sugiharti NP. 2007. Aktivitas Antibakteri

Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper crocatum)

[Thesis]. Bogor: Bogor Agricultural

University.

[52] Syamsul Eka Siswanto, Nugroho Agung

Endro, Pramono Suwijiyo. Aktivitas

Antidiabetes Kombinasi Ekstrak Terpurifikasi

Herba Sambiloto (Andrographis paniculata

(Burn F.) NESS.) dan Metformin pada Tikus

DM Tipe 2 Resisten Insulin. Majalah Obat

Tradisional 16 (3), 124-131, 2011

[53] Werdhany I.W., Marton A., Setyorini. 2008.

Sirih Merah. Yogyakarta : Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Yogyakarta

Page 77: INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL

www.bimkes.org

Organized by:

IKATAN SENATMAHASISWA FARMASISELURUH INDONESIA

Supported by:

UNIVERSITASPADJADJARAN

DIREKTORATPENDIDIKAN TINGGI