dramaturgi pemilihan presiden indonesia 2014

8
181 Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014 Farida M. Arif Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP Angkatan VI Email : [email protected] Abstract: Political campaign aims to achieve a particular change, including changes in attitudes and behavior of a large number of individuals. Indonesian presidential election in 2014, candidates utilizing mass media and show a good image of him. Imaging is considered an effective way of campaign to persuade the public to vote. Imaging is performed by the presidential candidates in accordance with the dramaturgical concept introduced by Erving Goffman. The observation states that both candidates are equally display his front stage as pos- sible so that people know them as a potential leader firm or simple. Where it also affects the sound acquisition candidates. Keywords: imaging, dramaturgy, presidential election in 2014 Abstraksi: Kampanye politik bertujuan untuk mencapai suatu perubahan tertentu, meliputi perubahan sikap dan perilaku dari sejumlah besar individu. Menjelang pemilihan presiden Indonesia 2014, para kandidat meman- faatkan media massa dan menampilkan citra baik dirinya. Pencitraan dianggap sebuah cara kampanye efektif untuk mempersuasi masyarakat untuk memilih. Pencitraan yang dilakukan oleh kandidat presiden ini sesuai dengan konsep dramaturgi yang diperkenalkan oleh Erving Goffman. Hasil pengamatan menyebutkan bahwa kedua kandidat sama-sama menampilkan front stage nya sebaik mungkin sehingga masyarakat mengenal mereka sebagai calon pemimpin yang tegas atau yang sederhana. Dimana hal tersebut juga mempengaruhi perolehan suara kandidat. Kata kunci: pencitraan, dramaturgi, pemilihan presiden 2014 Pendahuluan Dalam kehidupannya sebagai makkhluk social, manusia senantiasa berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Interaksi dengan meng- gunakan bahasa sebagai penghubungnya inilah yang memanusiakan manusia. Dalam berinteraksi, ses- eorang senantiasa berusaha menampilkan gambaran yang sesuai dengan lingkungan sekitarnya agar dir- inya dapat diterima. Erving goffman, seorang sosi- olog Kanada menyebutnya sebagai dramaturgi, dima- na kehidupan manusia diibaratkan sebagai panggung sandiwara, yang mana manusia sebagai aktor beru- saha untuk menampilkan pertunjukan dan berusaha menunjukkan kesan yang berbeda-beda. Apa yang diperbuat oleh individu maupun kelompok tertentu, tidak selalu sama seperti apa yang tampak. Apa yang dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu tadi bisa karena memiliki kepentingan tertentu. Teori dari Erving Goffman tersebut memperke- nalkan istilah “frontstage”, “backstage” dan “off- stage”. Frontstage adalah bagian yang mendefinisi- kan situasi penyaksi pertunjukkan. Backstage adalah kepentingan atau maksud dibalik perannya dalam fronstage. Sedangkan offstage adalah bagian dimana aktor tidak melakukan pertunjukan dan interaksi den- gan siapapun.

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

181

Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

Farida M. ArifMahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP Angkatan VI

Email : [email protected]

Abstract:

Political campaign aims to achieve a particular change, including changes in attitudes and behavior of a large number of individuals. Indonesian presidential election in 2014, candidates utilizing mass media and show a good image of him. Imaging is considered an effective way of campaign to persuade the public to vote. Imaging is performed by the presidential candidates in accordance with the dramaturgical concept introduced by Erving Goffman. The observation states that both candidates are equally display his front stage as pos-sible so that people know them as a potential leader firm or simple. Where it also affects the sound acquisition candidates.

Keywords: imaging, dramaturgy, presidential election in 2014

Abstraksi:

Kampanye politik bertujuan untuk mencapai suatu perubahan tertentu, meliputi perubahan sikap dan perilaku dari sejumlah besar individu. Menjelang pemilihan presiden Indonesia 2014, para kandidat meman-faatkan media massa dan menampilkan citra baik dirinya. Pencitraan dianggap sebuah cara kampanye efektif untuk mempersuasi masyarakat untuk memilih. Pencitraan yang dilakukan oleh kandidat presiden ini sesuai dengan konsep dramaturgi yang diperkenalkan oleh Erving Goffman. Hasil pengamatan menyebutkan bahwa kedua kandidat sama-sama menampilkan front stage nya sebaik mungkin sehingga masyarakat mengenal mereka sebagai calon pemimpin yang tegas atau yang sederhana. Dimana hal tersebut juga mempengaruhi perolehan suara kandidat.

Kata kunci: pencitraan, dramaturgi, pemilihan presiden 2014

Pendahuluan

Dalam kehidupannya sebagai makkhluk social, manusia senantiasa berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Interaksi dengan meng-gunakan bahasa sebagai penghubungnya inilah yang memanusiakan manusia. Dalam berinteraksi, ses-eorang senantiasa berusaha menampilkan gambaran yang sesuai dengan lingkungan sekitarnya agar dir-inya dapat diterima. Erving goffman, seorang sosi-olog Kanada menyebutnya sebagai dramaturgi, dima-na kehidupan manusia diibaratkan sebagai panggung sandiwara, yang mana manusia sebagai aktor beru-saha untuk menampilkan pertunjukan dan berusaha

menunjukkan kesan yang berbeda-beda. Apa yang diperbuat oleh individu maupun kelompok tertentu, tidak selalu sama seperti apa yang tampak. Apa yang dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu tadi bisa karena memiliki kepentingan tertentu.

Teori dari Erving Goffman tersebut memperke-nalkan istilah “frontstage”, “backstage” dan “off-stage”. Frontstage adalah bagian yang mendefinisi-kan situasi penyaksi pertunjukkan. Backstage adalah kepentingan atau maksud dibalik perannya dalam fronstage. Sedangkan offstage adalah bagian dimana aktor tidak melakukan pertunjukan dan interaksi den-gan siapapun.

Page 2: Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

182

Teori dramaturgi ini merupakan pengembangan dari konsep Herbert Mead mengenai makna, bahasa, pemikiran, yang kemudian dirumuskan oleh Blumer menjadi apa yang disebut sebagai interaksionis sim-bolik (Griffin, 2000:54). Salah satu premis interak-sionis simbolik adalah bahwa makna muncul dari in-teraksi sosial yang merupakan proses interpretif dua arah, dan fokusnya adalah efek dari interpretasi ter-hadap tindakannya sedang diinterpretasikan (Griffin, 2000:55).

Dramaturgi memberikan sisi lain dari sebuah kejadian yang terlihat. Dan dalam perkembangannya saat ini, dramaturgi juga dilakukan oleh media massa khususnya televisi. Televisi dan media massa lainnya yang dikuasai oleh pemilik partai politik atau orang-orang yang memiliki kepentingan politik tertentu, di-gunakan sebagai sarana ‘panggung sandiwara’ dalam rangka membangun citra atau gambaran yang baik mengenai mereka. Para pemilik partai politik yang juga pemilik salah satu media tertentu “gemar” men-gumbar jasa ataupun kebaikan-kebaikan yang telah mereka perbuat. Dan melalui media juga, para poli-tikus yang juga pemilik media dapat menyembun-yikan keburukan mereka dari masyarakat. Sehingga masyarakat disuguhi dengan tayangan-tayangan yang sebanarnya “semu” dan sarat kepentingan.

Perumusan Masalah

Dalam teori dramaturginya, Goffman menun-jukkan bahwa kehidupan manusia adalah sebuah teater atau sebagai sebuah panggung. Manusia seb-agai aktor menampilkan pertunjukkan dan berusaha memberikan kesan yang berbeda-beda disetiap pang-gung dimana aktor tampil hingga harus melakukan manajemen impresi (mengelola pesan).

Seiring perkembangan zaman dan media mas-sa, orang-orang melakukan atau memainkan ‘drama’ kehidupannya melalui media massa. Drama yang di-lakukan oleh media massa saat ini sangat jelas terli-hat, terutama menjelang Pemilihan Presiden Indone-sia periode 2014-2019. Media cetak, elektronik serta online benar-benar ‘dimanfaatkan’ oleh pihak-pihak tertentu untuk mendukung kepentingan politiknya. Publik Indonesia akhir-akhir ini disuguhkan berbagai tingkah laku, sikap dan tutur kata atau yang disebut dengan gesture dan gaya bicara dari para capres dan cawapres berikut dengan tim suksesnya masing-ma-sing. Dan disini akan dibahas mengenai apa drama yang dimainkan oleh para calon Presiden dan calon

Wakil Presiden serta tim suksesnya serta bagaimana mereka melakukan hal tersebut.

Pembahasan

Pendekatan dramaturgi (dramaturgical ap-proach) adalah mazhab yang dikembangkan oleh sosiolog Erving Goffman (1922-1982). Pendekatan ini berangkat dari pemahaman mengenai berbagai aspek kajian sosiologi, antropologi, dan komunikasi terutama yang dirintis oleh George Mead dan Herbet Blumer.

Pendekatan dramaturgi Goffman dilandasi oleh konsep Mead mengenai makna, bahasa, pemikiran, yang kemudian dirumuskan oleh Blumer menjadi apa yang ia sebut sebagai interaksionis simbolik (Griffin, 2000:54). Salah satu premis interaksionis simbolik adalah bahwa makna muncul dari interaksi sosial yang merupakan proses interpretif dua arah, dan fokusnya adalah efek dari interpretasi terhadap tindakannya se-dang diinterpretasikan (Griffin, 2000:55).

Dalam hal ini, Goffman memusatkan perhatian kepada “urutan interaksi” (interaction order) yang melibatkan komponen struktur, proses dan produk interaksi sosial. Goffman secara khusus memberikan penekanan kepada sifat simbolik interaksi manusia dan pertukaran makna di antara orang-orang melalui simbol (1956, h.1). Menurutnya, di dalam diri yang sama terdapat gejolak pertentangan antara diri ma-nusia yang spontan dengan tuntutan sosialnya. Per-tentangan semacam ini menuntut kita untuk tidak ragu-ragu dalam melakukan apa yang diharapkan orang lain pada kita (1956:10). Untuk memelihara tampilan yang terpercaya dan tidak ragu, maka ma-nusia dituntut untuk melakukan sebuah pertunjukan (performance) di hadapan khalayak (1956:2). Inilah yang menjadi fokus Goffman ketika mengeksplorasi konsepnya menggunakan metafor dramaturgi, yaitu ebuah konsep yang memandang kehidupan social se-bagai serangkaian pertunjukan yang mirip dengan pe-mentasan drama di panggung (Mulyana, 2010:106).

Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mer-eka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, me-lainkan bagaimana mereka melakukannya. Burke melihat tindakan sebagai sebuah konsep dasar dalam dramaturgis. Pandangannya tentang aksi manu-sia, konsisten dengan apa yang dikembangkan oleh Mead, Blumer dan Kuhn. Secara spesifik, Burke

JURNAL INTERAKSI, Vol 3 No 2, Juli 2014 : 181-188

Page 3: Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

183

memberikan pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Ber-beda dengan benda dan hewan yang memiliki ger-akan tetapi tidak bertujuan, Burke memandang indi-vidu sebagai makhluk biologis dan neurologis yang dibedakan oleh perilaku-perilaku yang menggunakan simbol, yaitu kemampuan untuk bertindak. Seseorang dapat berbicara atau menulis tentang sesuatu, sehing-ga bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Dan karena adanya kebutuhan sosial masyarakat un-tuk bekerja sama dalam aksi-aksi mereka, bahasapun kemudian membentuk perilaku. Berdasarkan pandan-gan Kenneth Burke bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme (Griffin, 2004:313-321).

Teori Diri ala Goffman: Presentasi Diri

Konsep “Diri” oleh Mead diinterpretasikan dan dikembangkan oleh Goffman dalam bukunya yang paling berpengaruh, The Presentation of Self in Ev-eryday Life (1959). Buku ini dianggap karya terpent-ing tentang diri yang pada dasarnya bersifat sosial (Mulyana, 2011:122-124). Pengembangan diri seb-agai konsep, oleh Goffman tidak terlepas dari penga-ruh gagasan Cooley tentang “the looking glass self”. Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga kompo-nen. Pertama, kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain. Kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita. Dan yang ketiga, kita mengembangkan sejenis per-asaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai aki-bat membayangkan penilaian orang lain tersebut.

Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam piki-ran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-te-man kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpengaruh olehnya. Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burke, den-gan demikian pendekatan dramaturgis merupakan salah satu varian interaksionisme simbolik yang sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam menganalisis interaksi sosial, yang dipinjam dari ra-nah teater. Peran adalah ekspektasi yang didefinisikan secara sosial yang dimainkan seseorang dalam suatu

situasi untuk memberikan citra tertentu kepada kha-layak yang hadir. Bagaimana sang aktor berperilaku bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi ter-tentu.

Fokus dramaturgis bukan konsep-diri yang dibawa sang aktor dari situasi kesituasi lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman, diri adalah “suatu hasil kerjasama” (col-laborative manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial. Manusia be-lajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam kegiatan yang menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka.

Dalam konteks demikian, mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi yang mereka masu-ki, dan perilaku-perilaku berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna dan definisi situasi. Presen-tasi-diri seperti yang ditunjukan Goffman, bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor, dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada.

Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia me-nyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (im-pression management), yaitu teknik-teknik yang di-gunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan terten-tu.

Manajemen Impresi

Dalam perspektif dramaturgi, Goffman seb-agaiamna yang dikutip oleh Medlin (2008:55-57) mendefinisikan seni manajemen impresi sebagaima-na tindakan menjaga munculnya hal-hal yang tidak diharapkan, yang dapat berujung pada rasa malu atau perengkaran. Ada empat macam tindakana yang dapat terjadi di luar rencana. Goffman menyebutnya sebagai insiden dramaturgi. Berikut rincian insiden tersebut dari Medlin (2008:55-57):

a. Gerakan yang tidak diniatkan (unintended ges-tures), yaitu saat aktor melakukan gerak-gerik yang tidak diniatkan sebelumnya namun ternyata mendiskreditkan jalannya perunjukan.

Farida M. Arif, Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

Page 4: Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

184

b. Intruksi yang tidak pantas (inapprociate intru-sion), yaitu ketika audience memasuki backstage dan memergoki aktor dalam situasi yang tidak se-laras dengan kesan yang ingin aktor tampilkan di frontstage.

c. Kecerobohan (faux pas), yaitu informasi tentang kehidupan aktor yang apabila terungkap kepada audience, akan mengganggu atau melemahkan impresi yang disalurkan melalui pertunjukan.

d. Kejadian (scene), yaitu ketika aktor individu mendiskreditkan pertunjukan secara umum. Meskipun upaya pendiskreditan ini mungkin saja tidak sengaja terjadi, hasilnya akan nampak dan tetap menimbulkan konflik. Di sisi lain, mungkin pula salah satu audience merasa tidak ammapu mentolerir pertunjukan yang sedang dimainkan, dan mengkonfrontir aktor dengan ucapan aatau tindakan ekspresif yang tidak dapat diterima. Ada kemungkinan di mana aktor begitu yakin dengan apa yang ia pertunjukkan, namun ternyata hal itu ditolak audience, dan ini menyebebkan aktor ti-dak mampu meralat apa yang telah ia lakukan se-hingga berujung pada rasa malu.

Frontstage and Backstage

Dramaturgi meruapakan sebuah teori yang me-mandang kehidupan ini ibarat teater, dimana dalam interaksi sosialnya manusia seperti melakukan per-tunjukan di atas panggung, yang menampilkan atau memainkan peran-peran tertentu. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan ba-hasa verbal dan menampilkan perilaku nonverbal ter-tentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, mis-alnya kendaraan, pakaian, dan aksesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keceplo-san, salah bicara, kehilangan kendali diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspre-sikan wajah yang sesuai dengan situasi (Mulyana, 2011:122-126).

Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukkan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran for-malnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tem-

pat dan peristiwa yang memungkinkannya memper-siapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandi-wara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih un-tuk memainkan perannya di panggung depan.

Goffman kemudian membagi panggung depan ini menjadi dua bagian yaitu front pribadi (personal front) dan setting. Personal front ini terdiri llagi atas appereance dan manner. Appereance adalah alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting, misalnya dokter di-harapkan mengenakan jas dokter dengan stetoskop menggantung di lehernya, atau pejabat menggunakan jas, dan sebagainya. Sedangkan manner merupakan tindakan atau peran yang akan dimainkan. Hal ini mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang ak-tor. Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, kespresi wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya. Hingga derajat tertentu semua aspek itu dapat dikendalikan aktor. Ciri yang relatif tetap seperti ciri fisik, terma-suk ras dan usia biasanya sulit disembunyikan atau diubah, namun aktor sering memanipulasinya dengan menekankan atau melembutkannya, misalnya meng-hitamkan kembali rambut yang beruban dengan cat rambut.

Sementara itu, setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukan atau dengan kata lain setting merupakan panggung yang secara fisik memungkinkan aktor untuk tampil. Misalnya seorang dokter bedah memerlukan ruang operasi, seorang sopir taksi memerlukan kendaraan, dan sebagainya. Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung analisis struktural dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan atau mewakili kepentingan kelompok atau organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat dia berada. Meskipun berbau struktural, daya tarik pendeka-tan Goffman terletak pada interaksi. Ia berpendapat bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di pangung depan, dan mereka merasa bah-wa mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya (Mulyana, 2011:114-117).

Hal-hal yang perlu disembunyikan itu merupak-

JURNAL INTERAKSI, Vol 3 No 2, Juli 2014 : 181-188

Page 5: Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

185

an bagian dari diri aktor (manusia) yang tidak ingin diketahui oleh khalayak, karena dapat mengganggu atau merusak image ataupun peran yang dimainkan aktor tersebut. Ada beberapa hal yang disembunyikan (Vested interest) yaitu (1) Kebiasaan-kebiasaaan tersembunyi atau Secret pleasure, misalnya meminum minuman keras sebelum pertunjukan. (2) Kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunjukan, langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut, misalnya sopir taksi menyembunyikan fakta bahwa ia mulai salah arah dengan terus menjalankan mobilnya. (3) Aktor mungkin merasa perlu menunjuk-kan hanya produk akhir dan menyembunyikan proses memproduksinya. Misal dosen menghabiskan waktu beberapa jam untuk memberi kuliah, namun mereka bertindak seolah-olah telah lama memahami materi kuliah tersebut. (4) Aktor mungkin perlu menyembu-nyikan “kerja kotor” yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak (kerja kotor itu mungkin meliputi tugas-tugas yang “secara fisik kotor, semi-legal, dan menghinakan”). (5) Dalam melakukan per-tunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan standar lain, misal menyembunyikan hinaan, pelece-han, atau perundingan yang dibuat sehingga pertunju-kan dapat berlangsung (Ritzer, 2004:298-299).

Aspek lain dari dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya (Closer to the audi-ence). Namun di saat yang bersamaan, orang (aktor) juga menjaga jarak dengan khalayak (mystification) agar tetap terlihat berwibawa.

Goffman mengakui bahwa orang tidak selaman-ya ingin menunjukkan peran formalnya dalam pang-gung depannya. Orang mungkin memainkan suatu perasaan, meskipun ia enggan akan peran tersebut, atau menunjukkan keengganannya untuk memaink-annya padahal ia senang bukan kepalang akan peran tersebut. Akan tetapi menurut Goffman, ketika orang melakukan hal semacam itu, mereka tidak bermaksud membebaskan diri sama sekali dari peran sosial atau identitas mereka yang formal itu, namun karena ada perasaan sosial dan identitas lain yang menguntung-kan mereka (Ritzer,2004: 298-299).

Back stage adalah keadaan dimana aktor berada di belakang panggung, tanpa audiens sehingga dapat berperilaku bebas tanpa memedulikan plot perilaku bagaimana yang harus dibawakan di depan panggung

atau ketika di depan audien. Di back stage aktor tan-pa tekanan bagaimana harus tampil, bersifat informal. Kegiatan aktor yang harus disembunyikan karena me-upakan hal-hal yang bertentangan dengan front stage dan fakta ini tidak diperlihatkan atau ditekan ketika aktor berada di panggung depan. Di backstage ini pu-lalah aktor bersantai, mempersiapkan diri, atau berla-tih untuk memainkan perannya di panggung depan.

Dramaturgi menjelang Pilpres 2014

Pemilihan Presiden Indonesia periode 2014-2019 semakin dekat. Pergantian pemimpin Republik Indonesia yang akan diselenggarakan tanggal 9 Juli 2014 nanti telah ramai diperbincangkan oleh semua orang dari berbagai kalangan sejak akhir tahun 2013 lalu. Media massa pun tak kalah hebohnya dalam memberitakan perkembangan keadaan politik di neg-eri ini. Semakin mendekati hari H pelaksanaan Pil-pres, public pun senantiasa disuguhkan dengan berb-agai tampilan mengenai 2 pasang calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia serta tim suksesnya masing-masing. Mereka menampilkan calon pres-iden dengan berbagai janji politik yang di tebar bak nelayan yang menjala ikan di lautan. Jika ada yang tertarik dengan jala yang ditebar maka ia akan terper-angkap. Selain itu, berbagai jargon yang mengatasna-makan rakyat juga ramai-ramai disuarakan meski be-lum tentu semuanya itu akan dilaksanakan dan sesuai dengan realitas perjuangan calon tersebut ketika pada akhirnya terpilih.

Saat ini perhatian kita tertuju pada 2 pasang calon presiden dan calon wakil presiden yang akan bertarung pada 9 juli mendatang. Mereka begitu ahli dalam bermain peran, muncul seperti seorang pahla-wan yang memberikan harapan-harapan bagi seluruh rakyat. Dengan harapan yang di berikan itu mereka mencoba mempengaruhi masyarakat Indonesia agar terjebak dalam suatu kesadaran palsu, walaupun me-mang mungkin ada sebagian dari harapan yang di berikan itu juga diwujudkan untuk masyarakat.

Apa yang dilakukan oleh para calon pemimpin bangsa ini dapat kita cermati dengan teori Dramatur-gi Erving Goffman yang secara singkat memandang bahwa kehidupan manusia itu sebagai sebuah pang-gung sandiwara, dimana manusia memainkan peran yang ia dapat sebaik mungkin agar publik (audience) mampu mengapresiasi dengan baik pementasan terse-but. Hal tersebut juga dilakukan oleh calon presiden dan calon wakil presiden serta tim suksesnya yang

Farida M. Arif, Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

Page 6: Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

186

berusaha menampilkan drama terbaik mereka di ha-dapan seluruh rakyat indonesia. Drama yang dimain-kan ini juga sangat di bantu oleh konstruksi media massa, baik cetak, elektronik termasuk juga televisi.

Hal yang juga penting di dalam dramaturgi adalah interaksi simbolik, dimana esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran sim-bol yang diberi makna. Pada dasarnya interaksi ma-nusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan ses-amannya. Sehingga tidak mengherankan bila berbagai reaksi bisa muncul ketika debat capres dan cawapres dipertontonkan ke hadapan publik Indonesia.

Dalam teori Dramaturgi, Goffman menganalogi-kan kehidupan social dalam interaksi manusia dengan panggung sandiwara. Dimana terdapat frontstage, backstage dan offstage (karena offstage tidak melibat-kan interaksi dengan orang lain, maka tidak dibahas lagi disini). Frontstage merupakan area ataupun gam-baran yang ditampilkan (atau peran yang dimainkan) oleh seseorang sedangkan Back stage adalah kegiatan aktor yang harus disembunyikan karena meupakan hal-hal yang bertentangan dengan front stage dan fak-ta ini tidak diperlihatkan atau ditekan ketika aktor be-rada di panggung depan. Di backstage ini pulalah ak-tor bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Dalam kai-tannya dengan situasi saat ini, drama yang dimainkan oleh aktor politik ini juga disebut sebagai pencitraan dengan menggunakan media sebagai kendaraannya.

Selama rentang waktu pemilihan presiden ini, rakyat banyak disuguhi drama-drama politik. Mereka memainkan peran berpihak pada masyarakat untuk menarik simpati dan peran yang berseberangan den-gan rakyat untuk mendapatkan keuntungan. Tentu kita masih ingat dengan peran yang dimainkan oleh mantan calon presiden dan calon wakil presiden Wi-ranto dan Harry Tanoesoedibjo yang terus-menerus disajikan oleh media-media yang dimiliki oleh Har-ry Tanoe. Dalam tayangan itu, digambarkan mereka berdua adalah sosok yang dekat dengan rakyat dan mengerti persoalan yang dihadapi masyarakat Indo-nesia. Bahkan Wiranto berdandan seperti pedagang asongan, penyemir sepatu, kenek bus, dan lain-lain. Wiranto dan Harry Tanoe juga melakukan adegan di-mana mereka makan di pinggir sawah dengan hanya beralaskan daun pisang. Hal inni untuk mendukung

peran mereka sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyatnya. Walaupun mungkin hal ini bertentangan dengan sifat dan kebiasaan aslinya.

Hal yang sama juga dimainkan oleh 2 kubu ca-pres Prabowo dan Jokowi. Dengan slogan ataupun jargon-jargon nya, mereka memainkan perannya ma-sing-masing. Yang satu mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang tegas dan berwibawa, sedangkan yang lain mencitrakan diri sebagai pemimpin yang seder-hana dan merakyat. Ketika tampil di media massa, mereka juga selalu menggunakan atribut-atribut yang turut mendukung citra yang ingin dibentuknya. Yang satu dengan menggunakan kemeja putih bersaku dan songkok hitam seperti Soekarno, dan yang satunya lagi menggunakan kemeja kotak-kotak yang terlihat begitu sederhana. Hal ini sama seperti ketika seorang aktor memainkan perannya sebagai seorang dokter, maka ia juga menggunakan jas khas dokter dengan mengalungkan stetoskop di lehernya.

Gambar 1Calon Presiden 2014

Sumber : olah data penulis

Media massa seperti sudah dikatakan sebelum-nya, menjadi panggung bagi para aktor politik, dalam hal ini para calon presiden. Mereka senantiasa me-nampilkan citra yang positif dari calon presiden yang diusungnya, misalnya TVOne yang mengusung Prabo-wo dan Metro TV yang mendukung Jokowi. Ini bisa dilihat dari pemberitaan mengenai kedua figure ini di kedua media tersebut. Selain isi berita yang berpihak, total frekuensi pemberitaan pun tidak seimbang. Total frekuensi pemberitaan Jokowi-JK di TV One seban-yak 77 berita sedangkan Prabowo-Hatta 153 berita. Selain itu durasi pemberitaan Prabowo-Hatta di TV One juga lebih banyak dari Jokowi-JK yaitu 36.561 detik berbanding dengan 18.731 detik (http://suraba-ya.bisnis.com/m/read/20140618/94/72328/ini-data-lengkap-pemberitaan -tv-one-dan-metro-tv-tentang-

JURNAL INTERAKSI, Vol 3 No 2, Juli 2014 : 181-188

Page 7: Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

187

prabowo-dan-jokowi).

Gambar 2Pencitraan Calon Presiden 2014

Sumber : dari berbagai sumber

Gambar-gambar diatas merupakan salah satu

bentuk pencitraan yang dilakukan oleh kedua capres kita. Mereka tampil (melalui media sebagai pang-gung sandiwara) dan memainkan peran di frontstage masing-masing dengan baik sebagai sosok pemimpin yang tegas dan merakyat.

Jokowi yang ‘sukses’ memerankan sosok yang merakyat dan sederhana ini kemudian menarik sim-pati masyarakat dan relawan untuk melakukan aksi penggalangan dana bagi pasangan Capres nomor urut 2 ini. Padahal dibalik kesederhanaannya itu, Jokowi juga menyewa rumah di daerah Menteng dengan kisa-ran harga mencapai Rp. 400 juta (http://megapolitan.kompas.com).

Lain lagi dengan Prabowo yang seringkali tampil gagah dan terkesan bersih dengan pakaian pu-tih yang dikenakannya di media ini juga masih ter-sangkut tragedy 1998 dimana ia disebut-sebut seb-agai dalang terjadinya tragedy tersebut. Namun saat itu ia tidak juga diadili karena merupakan menantu Presiden Soeharto (http://nasional .kompas.com/read/2014/06/25/1135463/Syamsu.Djalal.Prabowo.Tak.Diadili.di.Mahmil.karena.menantu.Soeharto).

Perkembangan media massa khususnya media internet dalam kehidupan sehari-hari telah mengubah pola interaksi sosial khalayak. Bahkan perkemban-gan teknologi internet menjembatani interaksi sos-ial tersebut. Timothy D Bowman mengembangkan konsep Dramaturgical Theory Goffman dengan me-nyatakan bahwa terkadang terjadi pengaburan atau pembiasan batas antara front stage dan back stage dengan menjelaskan bagaimana perilaku back stage aktor. Dimana backstage merupakan area yang dis-embunyikan oleh aktor dan tidak ingin diketahui oleh khalayak. Pengaburan batas front stage dan back stage dapat dilihat pada pengunggahan video pribadi di You Tube, hasil jepretan foto paparazzi, Twitter, Facebook, tayangan televisi seperti American Funni-est Home Video dan masih banyak lagi. Dalam kon-teks menjelang pilpres 2014 ini juga beredar banyak foto-foto yang mengaburkan batas antara frontstage dan backstage Prabowo maupun Jokowi. Prabowo yang dalam setiap orasinya (frontstagenya) meneriak-kan pemerintah yang bersih dan siap mengabdi untuk masyarakat, malah terlihat dilayani oleh masyara-kat. Begitupun Jokowi yang dengan slogannya jujur, merakyat dan sederhana ternyata juga menikmati ke-mewahan. Bahkan ia ternyata tidak benar-benar me-nyapu seperti yang dilakukan oleh ibu Risma (Guber-nur Surabaya).

Farida M. Arif, Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

Page 8: Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014

188

Gambar 3Dramaturgi Calon Presiden 2014

Sumber : dari berbagai sumber

Pencitraan yang dilakukan oleh 2 kandidat presiden ini, pada akhirnya juga turut memengaruhi perolehan suara dalam pilpres 2014. Dimana selisih perolehan suara sangat tipis yaitu Prabowo-Hatta memperoleh 46, 85% dan Jokowi-JK memperoleh 53,15%. Melihat ini, bisa dikatakan bahwa kedua kandidat sukses memainkan ‘peran’-nya sehingga juga berhasil membuat khalayak nya tertarik dan me-nikmati pertunjukannya.

Penutup

Konsep dramaturgi Goffman ini menyediakan kerangka kerja yang memungkinkan untuk menjelas-kan interaksi sosial setiap individu. Dalam perkem-bangannya, dramaturgi juga senantiasa dikonstruksi-kan oleh media massa. Terlebih menjelang pemilihan Presiden periode 2014-2019 tanggal 09 Juli 2014 ini. Kedua calon Presiden berlomba-lomba untuk me-mainkan perannya dan menampilkan performa terbai-knya pada masyarakat melalui media massa. Untuk itu kita sebagai pemilih harus lebih jeli dalam meli-hat fenomena ini dan berhati-hati dalam menentukan pilihan bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia ke depan.

Daftar Pustaka

Bowman, Timothy D. (2010). Backstage or Front-stage with Youtube. Dipresentasikan pada the fifth annual inconference di Chichago (5 Februari)

Goffman, Erving. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Garden City, N.Y.: Doubleday An-chor.

Griffin, E. (2000). A First Look at Communication Theory, 4th ed. Boston:McGraw-Hil Higher Edu-cation.

Littlejohn, Stephen W. (1996). Theories of Human Communication 5th Edition, Wadsworth: Belmont California.

Medlin, A.K (2008) Bargain Theatre: A Dramaturgi-cal Analysis of a flea Market. Auburn University: Auburn.

Mulyana, Deddy (1999) Nuansa-Nuansa Komunika-si, Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer. Bandung: PT. Rem-adja Rosdakarya.

Ritzer, George. et al (2004) Teori Sosiologi Modern (terj). Jakarta: Prenada Media.

Bahan kuliah Sosiologi Media. 2012. Magister Ilmu Komunikasi. Semarang: Universitas Diponegoro.

http://megapolitan.kompas.com diakses Juni 2014

http://nasional .kompas.com diakses Juni 2014

JURNAL INTERAKSI, Vol 3 No 2, Juli 2014 : 181-188