buletin hasil penelitian agroklimat dan hidrologi vol 13...

80
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Upload: others

Post on 01-Jun-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Page 2: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

2

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Penanggung Jawab: Haris Syahbuddin Redaksi Teknis: Haryono, Yeli Sarvina, Adang

Hamdani, Woro Estiningtyas, Istiqlal Amien, Hendri Sosiawan, dan Fadhlullah Ramadhani

Redaksi Pelaksana: Eko Prasetyo dan Tuti Muliani Penerbit: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi,

Jl, Tentara Pelajar 1A, Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia

Telepon +62-0251-8312760 Faksimil +62-0251-8323909

PRAKATA

Buletin ini memuat makalah hasil penelitian primer ataupun review yang berkaitan dengan sumberdaya iklim dan air. Makalah yang disajikan sudah melalui tahap seleksi dan telah dikoreksi Tim Redaksi, baik dari segi isi, bahasa, maupun penyajiannya. Pada edisi ini terdapat empat makalah, yang disajikan dalam bahasa Indonesia.

Untuk memperlancar penerbitan tahun-tahun berikutnya, artikel yang dimuat tidak perlu terikat secara kronologis oleh penyajian makalah atau acara seminar, tetapi lebih ditentukan oleh ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.

Redaksi mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu memperlancar proses penerbitan. Semoga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari pembaca selalu kami nantikan.

Redaksi

CARA MERUJUK YANG BENAR

Nani Heryani dan Kharmila Sari Hariyanti. 2016. Pemetaan Potensi Masa Tanam Di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok., hal 3-11. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.

Vol. 13. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor.

Tulisan yang dimuat adalah hasil penelitian primer maupun review yang berkaitan dengan sumber-daya iklim dan air, dan belum pernah dipublikasikan pada media cetak mana pun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.

Pemetaan Potensi Masa Tanam Di

Kecamatan Lembah Gumanti, Kabu-

paten Solok, Sumatera Barat. NANI

HERYANI dan KHARMILA SARI HARI-

YANTI ……………………………………..

Identifikasi Kondisi Iklim Sentra Pro-

duksi Durian Dan Rambutan. YELI

SARVINA dan KHARMILA SARI HARI-

YANTI …………………………....………..

Bias Correction Of Modelled Precipita-

tion. YELI SARVINA ……………………..

Penelitian Neraca Air Tanaman Untuk Pengembangan Sistem Irigasi Tanaman Kakao Dalam Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim. YAYAN APRIYANA…. Penelitian Neraca Air Tanaman Untuk Pengembangan Sistem Irigasi Tanaman Kakao Dalam Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim. WORO ES-TININGTYAS …………….………………. Diseminasi Kalender Tanam. HAR-YONO dan FADHLULLAH RAMADHANI

3

12

25

32

53

73

@ 2016, Balitklimat Bogor ISSN 0216-3934 Volume 13, 2016

Page 3: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

3

PEMETAAN POTENSI MASA TANAM DI KECAMATAN LEMBAH

GUMANTI, KABUPATEN SOLOK, SUMATERA BARAT

Nani Heryani dan Kharmila Sari Hariyanti

PENDAHULUAN

Program Rintisan dan Akselerasi pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Primatani),

yaitu suatu model atau konsep diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat

penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang dihasilkan Badan Litbang

Pertanian. Program ini diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung

antara Badan Litbang Pertanian sebagai penghasil inovasi dengan lembaga penyampaian

(delivery system) maupun pelaku agribisnis (receiving system) dan pengguna inovasi

(BadanLitbangPertanian, 2004). Selain sebagai wahana diseminasi, Primatani juga akan

digunakan sebagai wahana pengkajian partisipatif, yang berarti merupakan implementasi

dari paradigma baru Badan Litbang Pertanian, yaitu Penelitian untuk Pembangunan

(Research for Development) menggantikan paradigma lama Penelitian dan Pengembangan

(Research and Development).

Sebagai wahana diseminasi dan pengkajian partisipatif, penelitian tentang

penentuan potensi masa tanam sangat penting karena informasi yang diperoleh dapat

dipergunakan sebagai acuan bagi para pengambil kebijakan terutama di bidang pertanian

dalam menentukan pola tanam dan tanggal tanam. Pengaturan masa tanam yang

tepat,selain agar pada fase kritisnya tanaman tidak kekurangan air, juga dapat menekan

risiko kehilangan hasil, sehingga produktivitas lahan dapat dipertahankan atau bahkan

dapat ditingkatkan.

Penelitian tentang penentuan periode defisit air berdasarkan neraca air tanaman

telah dikembangkan oleh FAO sejak tahun 1973 dengan menghitung kebutuhan air

tanaman dalam kaitannya dengan produksi (Allen et al., 1998). Selanjutnya CIRAD (1995)

mengembangkan suatu indicator defisit air pada tanaman dengan menghitung nisbah

evapotranspirasi aktual/evapotranspirasi tanaman (ETR/ETM). Evapotranspirasi tanaman

merupakan proses kehilangan air tanaman baik melalui tanaman itu sendiri (transpirasi)

Page 4: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

4

maupun dari permukaan tanah

(evaporasi). Nisbah ETR/ETM yang dise-

but dengan indek kecukupan air (water

sartisfaction index/Is) dapat digunakan

sebagai evaluasi apakah sistem pertana-

man sudah efisien dalam memanfaatkan

air. Sistem pertanaman dikatakan efisien

apabila nilai Is mendekati satu artinya

semua air yang hilang digunakan untuk-

transpirasi tanaman. Apabila nilai Is

kurang dari 0,65 maka hanya sebagian

kecil saja air yang digunakan untuk tran-

spirasi, sebagian besar hilang sebagai

evaporasi berarti tanaman mengalami

kekurangan air atau stress air dan akan

berakibat terhadap rendahnya produksi

(CIRAD dalam Irianto, 2000).

Untuk efisiensi penggunaan air,

maka cara, saat, dan jumlah air yang

ditambahkan sebagai irigasi suplementer

perlu memperhitungkan kebutuhan air

tanaman dan kemampuan tanah

memegang air. Penelitian ini antara lain

bertujuan untuk menyusun peta potensi

masa tanam untuk tanaman semusim

skala 1:50.000 dan scenario irigasi suple-

men untuk tanaman semusim.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dalam rangka kegiatan

Primatani dilaksanakan mulai Januari

2005 sampai dengan Desember 2005, di

kecamatan Lembah Gumanti, kabupaten

Solok, provinsi Sumatera Barat. Lokasi ini

mewakili agroekosistem lahan kering

dataran tinggi iklim basah, dengan desa

laboratorium agribisnis di Nagari Air

Dingin.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan yaitu: 1)

data iklim harian (curah hujan, suhu udara

maksimum, suhu udara minimum,

kelembaban udara, radiasi matahari, dan

kecepatan angin) 5 tahun terakhir, 2) peta

satuan lahan, peta geologi, dan peta

hidrogeologi, 3) data tanah: sifat fisik (pF

2,54; pF 4,2) dan kedalaman/solum tanah,

4) data tanaman: umur tanaman, umur

tanaman pada setiap fase

pertumbuhannya, koefisien tanaman (kc)

dan koefisien stress (ky) pada setiap fase

pertumbuhan tanaman, tinggi maksimum

tanaman, kedalaman dan umur perakaran

maksimum, dan produksi tanaman, 5)

GPS (Global Positioning System),

Page 5: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

5

6) seperangkat komputer dan software CWB_Eto (Crop Water Balance, Balitklmat, 2002).

Metodologi

Karakterisasi biofisik wilayah

Kegiatan penelitian diawali dengan survey

wilayah untuk mengetahui kondisi biofisik

wilayah. Data pendukung untuk

menunjang pelaksanan penelitian yaitu

informasi pola dan masa tanam,

produktivitas tanaman, dan data iklim

dikumpulkan dari beberapa instansi terkait

seperti BPTP, Pemerintah Daerah

Propinsi/Kabupaten, BMKG,Dinas

Pertanian Propinsi/Kabupaten, Dinas

Pengairan, dll. Pengamatan profil tanah

dilakukan untuk menyusun peta

kesesuaian komoditas tanaman pangan

sebagai dasar untuk pemetaan potensi

masa tanam dilaksanakan oleh Balai

Besar Litbang Sumber Daya Lahan

Pertanian.

Pemetaan Potensi Masa Tanam

Potensi masa tanam ditetapkan

berdasarkan indeks kecukupan air

tanaman (nisbah ETR/ETM) dan potensi

kehilangan hasil relatif tanaman,

menggunakan program CWB-ETo. Apabila

nisbah ETR/ETM lebih besar atau sama

dengan 0,65 dengan kehilangan hasil

relatif kurang dari 20%, maka periode

tersebut ditetapkan sebagai potensi masa

tanam di suatu wilayah. Sedangkan saat

tanam terbaik ditetapkan berdasarkan nilai

indeks kecukupan air mendekati atau

sama dengan satu dengan potensi

kehilangan hasilnya mendekati atau sama

dengan 0. Diagram alir pemetaan potensi

masa tanam dan pemberian irigasi

disajikan pada Gambar 1.

Penentuan Kebutuhan Air Tanaman

Kebutuhan air tanaman dicerminkan

melalui kebutuhan air pada periode

defisitnya yang ditandai dengan nisbah

ETR/ETM < 0,65 (Baron et al., 1995).

Apabila ETR/ETM kurang dari 0,65 berarti

tanaman mengalami kekurangan air atau

stress air dan akan berakibat terhadap

rendahnya produksi (CIRAD dalam Irianto,

2000).

Kebutuhan air maksimum tanaman (ETM)

dapat dihitung dengan menggunakan data

ETP dan koefisien tanaman. ETP dihitung

menggunakan metode Penman-Monteith:

ETPKcETM

b

axxF expexp)(

Page 6: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

6

Sedangkan kebutuhan air aktual tanaman (ETR) dapat dihitung dengan menggunakan

persamaan Eagelman, sebagai berikut:

dengan: A= -0,050 + 0,732/ETP; B = 4,97 – 0,661.ETP; C= -8,57 + 1,56.ETP, D = 4,35 -

0,880.ETP;

HR= kelembaban relatif tanah, dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

dengan HM=kadar lengas tanah hasil pengukuran di lapangan, HCC=lengas tanah pada kapasitas lapang (pF 2,54) dan HPF=kadar lengas tanah pada titik layu permanen (pF 4,2).

HRHRHR DCBAETMETR321

HPFHCCHPFHMHR /

Gambar 1. Diagram alir penentuan potensi masa tanam didukung oleh skenario pemberian

irigasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Wilayah

Kecamatan Lembah Gumanti, kabupaten

Solok, Sumatera Barat merupakan dataran

tinggi mencakup areal seluas 459,72 km2

dengan jumlah penduduk 46.155 orang.

Sebagian besar penduduknya bekerja

pada sector pertanian. Luas sawah di

wilayah ini mencapai 2.048 ha, dan

sisanya seluas 43.924 ha merupakan

lahan non sawah (Kabupaten dalam

angka, 2003). Berdasarkan Agro Ekologi

Zone (AEZ) wilayah ini didominasi oleh

wanatani yang potensial untuk

pengembangan budidaya lorong dengan

komoditi perkebunan, sayuran, ternaksapi,

sawah dataran tinggi, rehabilitasi hutan

dengan komoditi potensial hutan

kemasyarakatan dan hutan lindung

(Khatib, et al., 2004).

Peta satuan

lahan

Peta geologi-

hidrogeologi

Zone

pengamatan

air tanah

Pengukuran

dengan

terameter

Karakteristik

air tanah

Peta potensi air

tanah

Penentuan posisi dan

jumlah

teknologi panen hujan

– aliran permukaan

Analisis Neraca

Air Tanaman

Periode Kritis

Tanaman

Kehilangan

hasil ≤ 20%

ETR/ETM ≥

0,65

Iklim

Harian

Sifat Fisika

Tanah

Karakteristik

tanaman

Karakterisasi

Biofisik DAS

Skenario

pemberian irigasi

suplemen

Peta potensi masa

tanam

Pilot project

dam parit

Peta satuan

lahan

Peta geologi-

hidrogeologi

Zone

pengamatan

air tanah

Pengukuran

dengan

terameter

Karakteristik

air tanah

Peta potensi air

tanah

Penentuan posisi dan

jumlah

teknologi panen hujan

– aliran permukaan

Analisis Neraca

Air Tanaman

Periode Kritis

Tanaman

Kehilangan

hasil ≤ 20%

ETR/ETM ≥

0,65

Iklim

Harian

Sifat Fisika

Tanah

Karakteristik

tanaman

Karakterisasi

Biofisik DAS

Skenario

pemberian irigasi

suplemen

Peta potensi masa

tanam

Pilot project

dam parit

Page 7: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

7

Komoditi yang diusahakan oleh

petani kecamatan Lembah Gumanti

berdasarkan luas panen yang terbanyak

adalah kubis, diikuti oleh kentang, bawang

merah, padi sawah, cabe, buncis, dan

bawang putih dengan produksi masing-

masing 21.843,56 ton, 9.195,02 ton,

5.299,26 ton, 3711 ton, 596,67 ton, 181,

24 ton, dan 68,61 ton, berada dalam

daerah agropolitan. Luas tanam padi di

kecamatan Lembah Gumanti mencapai

665 ha dengan produksi 3711 ton

(Kabupaten Solok dalam angka, 2003).

Nagari Air Dingin merupakan

lokasi laboratorium agribisnis di

kecamatan Lembah Gumanti dengan luas

wilayah mencakup 126,39 km2 dan

terletak pada ketinggian 1100-1600 mdpl.

Nagari Air Dingin termasuk daerah

pengembangan agropolitan sayuran

dataran tinggi. Kondisi wilayah yang

merupakan pegunungan, berbukit dan

bergelombang yang relative subur, saat ini

sebagian besar telah berubah menjadi

lahan kritis karena peladangan berpindah.

Beberapa permasalahan yang dijumpai

antara lain terbatasnya tenaga kerja dari

segi kualitas dan kuantitas; sarana,

prasarana kurang memadai; kelembagaan

baik kelompok tani maupun finansial tidak

aktif. Untuk dapat mengadopsi teknologi,

petani membutuhkan percontohan

teknologi dilapangan, akses permodalan

mudah, adanya bimbingan inovasi

teknologi dan kelembagaan.

Wilayah Nagari Air Dingin ini

terdiri dari beberapa zonasi komoditas

pertanian, yaitu: 1) 35% merupakan

wilayah hutan lindung Taman Nasional

Kerinci Seblat (TNKS), 2) 30%

merupakanrehabilitasikehutanandatarantin

ggi, kayu-kayuan, mahoni, alpokat, kemiri,

enau, perkebunan (cengkeh, kopi arabika,

kayumanis), 3) 10% merupakanwanatani

(jeruk, alpokat, markisa, kentang, kubis,

tomat, wortel, cabe, buncis, sawi), 4) 15%

merupakan rehabilitasi wanatani dataran

tinggi (alpokat, markisa, kentang, sayuran,

sapi/kerbau), dan (5) 10% intensifikasi

lahan basah (padi sawah, kentang, kubis,

cabe, bawang merah, bawang putih,

wortel, buncis, sapi/kerbau).

Pemetaan potensi masa tanam dan

pemberian air irigasi

Menurut klasifikasi Iklim Schmidt

-Fergusson kecamatan Lembah Gumanti

termsuk kedalam tipe iklim B, dan

menurut Oldeman tergolong ke dalam tipe

B2 dengan curah hujan tahunan 1943 m.

Page 8: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

8

Dalam penetapan potensi masa tanam

telah diperhitungkan beberapa unsur yaitu:

unsur iklim, tanah, dan tanaman. Unsur

iklim yang diperhitungkan yaitu curah

hujan dan evapotranspirasi, sedangkan

unsur tanah mencakup jenis tanah serta

kandungan air pada kondisi kapasitas

lapang dan titik layu permanen. Unsur

tanaman yang menjadi penentu dalam

pemetaan potensi saat tanam yaitu: umur

seluruh siklus hidup tanaman, umur

tanaman pada setiap fase

pertumbuhannya, koefisien tanaman (kc)

dan koefiseien stress (ky) pada setiap fase

pertumbuhan tanaman, tinggi maksimum

tanaman, serta kedalaman dan umur

perakaran maksimum.

Pada penelitian ini analisis

potensi masa tanam dilakukan terhadap

data iklim pada tahun normal. Untuk

menentukan/membedakan potensi masa

tanam di setiap desa, kadar air pada

kapasitas lapang dan titik layu permanen

di setiap penggunaan lahan dan jenis

tanah merupakan input data yang

dipergunakan dalam analisis potensi masa

tanam. Pada Gambar 2 disajikan contoh

indeks kecukupan air dan potensi

kehilangan hasil tanaman tomat, bawang,

dan caysin di Nagari Air Dingin di

kecamatan Lembah Gumanti, kabupaten

Solok, provinsi Sumatera Barat.

Hampir seluruh jenis sayuran yang

dibudidayakan di kecamatan Lembah

Gumanti menunjukkan indeks kecukupan

air (nisbah ETR/ETM) lebih besar dari

65% dan potensi kehilangan hasilnya lebih

kurang dari 20%. Pada Tabel 1

disajikan potensi masa tanam kentang,

tomat, bawang merah dan caysin di 4

nagari di kecamatan Lembah Gumanti.

Potensi masa tanam kentang dan caysin

di Sungai Nanam adalah sepanjang tahun,

tomat pada Desember I – Oktober II,

sedangkan bawang adalah periode Mei II

sampai dengan Oktober II. Di Alahan

Panjang, hampir semua jenis sayuran

seperti kentang, bawang, dan caysin dapat

ditanam sepanjang tahun, sedangkan padi

hanya pada periode Januari I – Oktober III.

Di Nagari Sungai Nanam, Alahan Panjang,

dan Air Dingin tanaman tomat serempak

ditanam pada Desember I dan berakhir

pada Oktober II, sedangkan di Nagari

Salimpat dapat ditanam sepanjang tahun.

Peta potensi masa tanam di kecamatan

Gumanti disajikan pada Gambar

3.Kebutuhan air irigasi pada tanaman padi

dan palawija antar wilayah bervariasi

tergantung karakteristik tanah, curah hujan

Page 9: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

9

Gambar 2. Indeks kecukupan air dan potensi kehilangan hasil tanaman tomat, bawang, dan caysin, di Nagari Air Dingin, kecamatan Lembah Gumanti, kabupaten Solok, provinsi Sumatera Barat

hujan dan iklimnya. Kebutuhan irigasi

pada tanaman Di kecamatan Lembah

Gumanti dengan penanaman sepanjang

tahun relatif tidak memerlukan irigasi

suplemen.

Nilai Potensi Kehilangan Hasil dan Indeks Kecukupan Air

Tanaman Tomat di Nagari Air Dingin, Lembah Gumanti, Sumatera Barat

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1-J

an

11-J

an

21-J

an

31-J

an

10-F

eb

20-F

eb

2-M

ar

12-M

ar

22-M

ar

1-A

pr

11-A

pr

21-A

pr

1-M

ay

11-M

ay

21-M

ay

31-M

ay

10-J

un

20-J

un

30-J

un

10-J

ul

20-J

ul

30-J

ul

9-A

ug

19-A

ug

29-A

ug

8-S

ep

18-S

ep

28-S

ep

8-O

ct

18-O

ct

28-O

ct

7-N

ov

17-N

ov

27-N

ov

7-D

ec

17-D

ec

27-D

ec

Tanggal Tanam (dasarian)

Po

ten

si K

eh

ila

ng

an

Ha

sil (

%R

LY

)

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1.0

Ind

eks K

ecu

ku

pa

n A

ir (

ET

R/E

TM

)%RLY ETR/ETM

Nilai Potensi Kehilangan Hasil dan Indeks Kecukupan Air

Tanaman Bawang di Nagari Air Dingin, Lembah Gumanti, Sumatera Barat

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1-J

an

11-J

an

21-J

an

31-J

an

10-F

eb

20-F

eb

2-M

ar

12-M

ar

22-M

ar

1-A

pr

11-A

pr

21-A

pr

1-M

ay

11-M

ay

21-M

ay

31-M

ay

10-J

un

20-J

un

30-J

un

10-J

ul

20-J

ul

30-J

ul

9-A

ug

19-A

ug

29-A

ug

8-S

ep

18-S

ep

28-S

ep

8-O

ct

18-O

ct

28-O

ct

7-N

ov

17-N

ov

27-N

ov

7-D

ec

17-D

ec

27-D

ec

Tanggal Tanam (dasarian)

Po

ten

si K

eh

ila

ng

an

Ha

sil (

%R

LY

)

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1.0

Ind

eks K

ecu

ku

pa

n A

ir (

ET

R/E

TM

)

%RLY ETR/ETM

Nilai Potensi Kehilangan Hasil dan Indeks Kecukupan Air

Tanaman Caysin di Nagari Air Dingin, Lembah Gumanti, Sumatera Barat

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1-J

an

11-J

an

21-J

an

31-J

an

10-F

eb

20-F

eb

2-M

ar

12-M

ar

22-M

ar

1-A

pr

11-A

pr

21-A

pr

1-M

ay

11-M

ay

21-M

ay

31-M

ay

10-J

un

20-J

un

30-J

un

10-J

ul

20-J

ul

30-J

ul

9-A

ug

19-A

ug

29-A

ug

8-S

ep

18-S

ep

28-S

ep

8-O

ct

18-O

ct

28-O

ct

7-N

ov

17-N

ov

27-N

ov

7-D

ec

17-D

ec

27-D

ec

Tanggal Tanam (dasarian)

Po

ten

si K

eh

ila

ng

an

Ha

sil (

%R

LY

)

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1.0

Ind

eks K

ecu

ku

pa

n A

ir (

ET

R/E

TM

)

%RLY ETR/ETM

Tabel 1. Potensi masa tanam kentang, tomat, bawang merah, caysin, dan padidi kecamatan Lembah Gumanti, kabupaten Solok, provinsi Sumatera Barat

Page 10: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

10

Gambar 4. Peta potensi masa tanam kentang, tomat, bawang merah, caysin, dan padi di

Page 11: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

11

KESIMPULAN

Peta potensi masa tanam menyajikan potensi masa tanam dan saat tanam terbaik dari

komoditas tanaman sayuran di kecamatan Gumanti. Informasi yang diperoleh dapat

dipergunakan sebagai acuan bagi para pengambil kebijakan terutama di bidang pertanian

dalam menentukan pola tanam dan periode tanamnya. Di seluruh nagari di kecamatan

Lembah Gumanti kentang dan caysin dapat ditanam sepanjang tahun. Selain itu tomat di

nagari Salimpat, dan bawang merah di Air Dingin juga dapat ditanam sepanjang tahun.

Bawang merah di Nagari Sungai Nanam dapat ditanam pada Mei II – Oktober III,

sedangkan di Alahan Panjang dan Salimpat pada Mei II – April III. Di Nagari Sungai

Nanam, Alahan Panjang, dan Air Dingin tanaman tomat dapat ditanam pada periode

Desember I sampai Oktober II. Padi dapat ditanam di nagari Alahan Panjang pada

periode Januari I – Oktober III, sedangkan di nagari Salimpat pada periode Mei I –

Oktober III.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, R.G.. L.S. Pereira. D. Raes. and M. Smith. 1998. Crop evapotranspiration. Guide-

lines for computing crop water requirements. FAO Irrigation and drainage

paper.301p.

Badan Litbang Pertanian. 2004. Rancangan Dasar dan Juklak Prima Tani (Program

Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian).

Balitklimat. 2002. Software Crop Water Balance. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.

Bogor.

Baron, F. P. Perez and Maraux, F. 1995. Module Sarrabil Guide d'Utilization.Unite de

Recherche"Gestion de 1'ea". Montpellier

BPS Kabupaten Solok. 2003. Solok Dalam Angka 2003. Kerjasama Pemerintah Kabupaten

Solok dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Solok.

CIRAD. 1995. La validation du ETR/ETM sur le rendemen du manioc au Cote d‟ivoire.

Bulletin CIRAD no 2. 75p

Irianto, G. 2000. Panen hujan dan aliran permukaan untuk meningkatkan produktivitas

lahan kering DAS Kali Garang. Jurnal Biologi LIPI. Vol. 5, No. 1, April 2000.

p.29-39.

Page 12: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

12

IDENTIFIKASI KONDISI IKLIM SENTRA PRODUKSI DURIAN DAN

RAMBUTAN

Yeli Sarvina dan Kharmila Sari

ABSTRAK

Durian dan rambutan adalah buah tropis yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Buah ini sangat diminati di pasar nasional maupun internasional. Kesesuaian karakteristik iklim daerah-daerah sentra pengembangan buah-buahan dengan kondisi optimum yang dibutuhkan untuk berproduksi maksimal perlu diperhatikan. Kondisi ini mendukung tanaman untuk berproduksi optimal dan mengurangi berbagai kerugian dan kehilangan produksi yang disebabkan oleh faktor iklim. Penelitian ini mengidentifikasi karakteristik iklim sentra-sentra durian dan rambutan di Pulau Sumatera. Metode yang dilakukan adalah survey lapang untuk mengumpulkan informasi dan data iklim dan analisis desktriptif. Hasil penelitian menujukkan bahwa karakteristik iklim (suhu udara dan curah hujan) sentra durian ( Aceh Utara, Solok dan Padang Pariaman) sesuai dengan kondisi optimum yang dibutuhkan untuk berproduksi optimal. Untuk sentra rambutan (Lampung Selatan), suhu udara sudah berada pada kondisi optimum yang dibutuhkan tanaman namun untuk curah hujan berada dibawah curah hujan optimum. Sehingga produksi durian di wilayah ini masih bisa terus ditingkatkan dengan memperhatikan irigasi.

Kata Kunci: durian, rambutan, sentra, iklim

ABSTRACT

Durian and rambutaan are tropical fruit with high demand in national and international market. Sumatera island is the central area for production of durian and rambutan. The climate characteristic in central production should be in optimal condition that required by crops in order to diminish the lost due to climate. This study aims to identify climate characteristic in central development area rambutan and durian in Sumatera Island. The study was conducted by survey to collect information and data. The result reveal that the central development area of durian have climate characteristic in optimum condition while for rambutan, the temperature is in optimum condition but the annual rainfall is below the optimal condition. Therefore to obtain maximum production, the irrigation should be considered.

Key word: durian, Rambutaan, central development, climate

Page 13: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

13

PENDAHULUAN

Pembangunan hortikultura telah

memberikan sumbangan yang berarti bagi

sektor pertanian maupun perekonomian

nasional,yang dapat dilihat dari nilai

produk domestik bruto (PDB), jumlah

rumah tangga yang mengandalkan

sumber pendapatan dari subsektor

hortikultura, penyerapan tenaga kerja dan

peningkatan pendapatan masyarakat.

Salah satu komoditas hortikultura yang

mempunyai nilai ekonomi tinggi adalah

buah-buahan yang dapat menjadi sumber

pendapatan bagi masyarakat dan petani

baik berskala kecil, menengah maupun

besar, karena memiliki keunggulan berupa

nilai jual yang tinggi, keragaman jenis,

ketersediaan sumberdaya lahan dan

teknologi, serta potensi serapan pasar di

dalam negeri dan internasional yang terus

meningkat.

Durian dan rambutan adalah

dua komoditas buah-buahan tropis yang

sangat diminati pasar nasional maupun

International. Oleh karenanya berbagai

penelitian tentang tanaman ini baik dari

unsur budidaya, lingkungan, pasca panen

maupun aspek social ekonominya.

Iklim adalah faktor lingkungan

yang mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Masing-masing

faktor iklim mempengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan secara berbeda dan

spesifik. Unsur-unsur iklim yang

berperanan penting dalam pertumbuhan,

perkembangan dan pembungaan tanaman

diantaranya adalah curah hujan, cahaya

(intensitas radiasi, lama penyinaran) suhu

udara dan kelembaban udara.

Beberapa data menunjukkan

bahwa faktor iklim juga sangat

berpengaruh terhadap produksi dan

kualitas buah-buahan di Indonesia.

Kejadian iklim ekstrem La Nina tahun

2010, dimana curah hujan terjadi hampir

sepanjang tahun telah menyebabkan

anjloknya produksi berbagai komoditas

hortikultura baik kuantitas maupun

kualitas. Produksi mangga, apel, pisang

dan jeruk turun 20-25%, manggis 15-20%,

beberapa jenis tanaman sayuran 20-25%

dan pada tanaman hias sangat beragam

(Ditlin Horti, 2011).

Salah satu upaya yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan produksi

tanaman hortikultura adalah melakukan

kegiatan budidaya tanaman di daerah

yang kondisi iklim dan lingkungannya yang

mendekati kondisi optimum yang

diperlukan tanaman. Tulisan ini mencoba

Page 14: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

14

mengidentifikasi kondisi iklim di sentra-

sentra produksi durian dan rambutan di

Indonesia serta membandingkannya

dengan kondisi optimum yang dibutuhkan

tersebut.

METODOLOGI

Kegiatan Penelitian ini dilaksanakan pada

tahun 2012 di beberapa sentra durian dan

rambutan di Pulau Sumatera. Adapun

tahapan penelitian yang dilakukan adalah:

a) Mengumpulkan informasi sentra

produksi tanaman manggis, durian

dan rambutan dari direktorat

tanaman buah, Ditjen Hortikultura.

b) Dari informasi sentra produksi

tersebut dipilih daerah Sentra yang

informasi iklimnya tersedia dan

lengkap. Dalam hal ini dipilih daerah

dengan data iklim minimal 5 tahun

dan data curah hujan minimal 10

tahun

c) Dari informasi iklim tersebut

diidentifikasi karakteristik iklim

dengan statistik deskriptif seperti

nilai rata-rata dan pola bulanan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi daerah sentra

Daerah sentra durian dan rambutan di

pulau sumatera disajikan pada Tabel 1

dan Tabel 2. Sentra produksi durian

secara umum hampir menyebar di

seluruh Pulau Sumatera mulai dari utara

(Propinsi Aceh) sampai selatan (Propinsi

Lampung). Sedangkan daerah sentra

rambutan lebih sedikit dibandingkan

dengan daerah sentra durian dan daerah

pengembanganya tidak merata di semua

provinsi. Ini membuktikan bahwa di

Pulau Sumatera tanaman durian lebih

banyak dibudidayakan dibandingkan

rambutan.

Page 15: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

15

Tabel 1. Sentra produksi Durian Nasional (Direktorat Tanaman Buah, Dirjen Hortikultura)

Tabel 2. Sentra produksi rambutan nasional (Direktorat Tanaman Buah, Dirjen Hortikultura)

Page 16: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

16

Identifikasi karekater iklim sentra

Durian

Dengan pertimbangan ketersediaan data

iklim maka identifikasi karakteristik iklim

dilakukan pada beberapa kabupaten

terpilih. Analisis karakteristik iklim untuk

komoditas Durian dilakukan di kabupaten

sentra yaitu Aceh Utara, Solok, dan

Padang Pariaman. Sedangkan analisis

untuk rambutan dilakukan di 3 kabupaten

sentra yaitu di Kabupaten Bungo,

Lampung Selatan dan Langkat. Ringkasan

hasil identifikasi karakteristik iklim daerah

sentra disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Ringkasan karakteristik iklim di sentra Manggis, Durian dan Rambutan

Aceh utara

Kabupaten Aceh utara secara geografis

terletak pada 96.52.000-97.31.000 BT dan

4.46.00-05.00.40 0Lintang Utara.

Kabupaten ini memiliki 44.266 ha lahan

sawah dan 190.388 ha lahan bukan

sawah. Durian adalah salah satu

komoditas utama hortikultura di Aceh utara

dengan produktifitas 25-66.6 Kw.

(BPS,2011). Berdasarkan data produksi

tahun 2010 dan 2011 produksi durian di

Aceh Utara menyumbang hampir 20 %

produksi durian Provinsi Aceh.

Page 17: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

17

Gambar 1. Grafik bulanan iklim Kabupaten Aceh Utara (berdasarkan data dari Stasiun Meteorologi Lhoksmawe (05-14 LU dan 097-12 Bujur Timur, Altitude 87 m)

Berdasarkan data curah hujan,

tipe iklim Aceh Utara menurut klasifikasi

Schmidt dan Ferguson adalah bertipe iklim

C. Sedangkan curah hujan tahunan sekitar

1600 mm dengan dua puncak, yaitu pada

bulan November dan bulan April. Suhu

udara maksimum adalah 32 0C, suhu

minimum 200 C dan rata-rata 260C . Suhu

maksimum tertinggi terjadi pada bulan Juni

dan terendah terjadi pada bulan Januari.

Suhu minimum tertinggi terjadi pada bulan

Desember dan terendah terjadi pada bulan

Februari. Perbedaan suhu maksimum dan

minimum tertinggi terjadi pada bulan Mei-

Agustus yang mencapai 9 0C. Sedangkan

suhu rata-rata tertinggi terjadi pada bulan

Mei dan terendah pada bulan Januari.

Kelembaban rata-rata Aceh Utara adalah

76 %. Kelembaban udara tertinggi terjadi

pada bulan Januari dan Bulan Oktober

yang mencapai 80%. Sedangkan

kelembaban udara terendah terjadi pada

bulan Agustus sekitar 70%. Lama

Penyinaran matahari rata-rata adalah 7,67

Jam perhari. Arah angin umumnya pada

bulan Desember-Februari kearah timur

dan timur laut, pada bulan Maret-Mei

umumnya bertiup ke rah utara, timur dan

timur laut. Sedangkan pada September-

November arah angin umumnya ke utara.

Page 18: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

18

Solok

Secara geografis letak Kabupaten Solok

berada antara 00032’14’’ LS dan 01046’45’’

bujur timur topografi wilayah bervariasi

antara dataran, lembah dan berbukit

dengan ketinggian antara 329-1458 di atas

permukaan laut. Solok merupakan salah

satu sentra durian di Sumatera Barat.

Secara umum suhu maksimum di

Kabupaten Solok 300 C, suhu minimum 18

0C dan suhu rata-rata 270C. Variasi suhu

udara maksimum, minimum di kabupaten

ini antar bulan lebih kecil dibandingkan

dengan variasi suhu udara rata-rata.

Suhu maksimum tertinggi terjadi di bulan

Februari dan suhu minimum terendah

juga terjadi pada bulan Februari. Suhu

rata-rata mencapai nilai maksimumnya

pada bulan Juni dan Juli. Kecepatan angin

sangat fluktuatif, angin mencapai

kecepatan tertingginya pada bulan Juli-

Agustus. Sedangkan kecepatan terendah

pada bulan Maret.

Curah hujan tahunan di Kabupaten

Solok cukup tinggi di atas 2000 mm dan

merata sepanjang tahun, sehingga sangat

sulit membedakan musim kemarau dan

musim hujan atau dengan kata lain

kabupaten ini tidak memiliki musim

kemarau. Curah hujan kabupaten ini

memiliki dua puncak yaitu pada Maret-

April dan pada Bulan November. Secara

umum daerah ini adalah daerah yang

potensi ketersediaan airnya cukup tinggi.

Sehingga pembatas produksi pertanian

akibat kekurangan air seharusnya tidak

ditemukan di Kabupaten ini. Sedangkan

penerimaan matahari berfluktuasi tetapi

tidak menunjukkan pola tertentu.

Page 19: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

19

Gambar 2. Grafik bulanan iklim di Kabupaten Solok berdasarkan data iklim dari AWS Balit-bang Pertanian di Sukarami Solok dan Kecamatan Lembah Gumanti

Padang Pariaman

Padang Pariaman adalah salah sentra

produksi durian di Sumatera yang

posisinya ada di pesisir pantai. Grafik

bulanan karakteristik iklim Kabupaten

Padang Pariaman disajikan pada Gambar

3. Secara umum suhu maksimum di

wilayah ini adalah 300 C, suhu minimum

25 0C dan suhu rata-rata 27 0C. Fluktuasi

suhu maksimum dan suhu rata-rata antar

bulan sangat kecil sedangkan untuk suhu

minimum agak berfluktuasi terutama pada

bulan Juni-Juli. Kecepatan angin sangat

tinggi pada bulan April-Agustus dan

mencapai titik terendah pada bulan

Oktober-November. Sementara itu nilai

kelembaban udara sangat bervariasi dan

mencapai puncaknya pada bulan Januari-

Maret.

Pola curah hujan di Kabupaten ini

memiliki dua puncak musim hujan yaitu

pada bulan April dan bulan November.

Dan secara umum hujan tahunannya

adalah 1600 mm.

Dan berdasarkan klasifikasi

Schmit Ferguson daerah ini memiliki tipe

iklim A. Penerimaan radiasi surya juga

bervariasi dengan puncaknya yaitu paa

bulan Mei-Agustus

Page 20: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

20

Gambar 3. Grafik bulanan iklim Kabupaten Padang Pariaman berdasarkan data iklim yang diamati oleh Pusat Sumbar Daya Air Provinsi Sumatera Barat

Identifikasi karekater iklim sentra rambutan

Lampung Selatan

Kabupaten Lampung Selatan terletak

paling selatan di Pulau Sumatera.

Wilayah Kabupaten Lampung Selatan

terletak antara 1050 sampai dengan

105045’ Bujur Timur dan 5015’ sampai

dengan 60 Lintang Selatan. Karakteristik

iklim Kabupaten Lampung Selatan

ditampilkan pada Gambar 4. Secara

umum suhu udara baik maksimum,

minimum dan rata-rata di kabupaten ini

agak berfluktuasi dibandingkan dengan

kabupaten lain. Suhu maksimum rata-rata

32,20C dan mencapai nilai tertinggi terjadi

pada sekitar April dan Oktober. Suhu

minimum rata-rata adalah 21,60C dan

mencapai nilai terendah pada bulan

Agustus. Sedangkan suhu rata-rata adalah

26,70C. Kelembaban udara rata-rata

adalah 84 % dimana nilainya berfluktuasi

antar bulan. Nilai kelembaban tertinggi

terjadi pada bulan Februari dan terendah

terjadi pada bulan September. Kecepatan

angin juga berfluktuasi. Dari gambar dapat

dilihat bahwa kecepatan angin mencapai

kecepatan maksimum ketika kelembaban

udara mencapai nilai minimum.

Page 21: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

21

Secara umum pola curah di Lampung

Selatan adalah berpuncak satu dimana

puncak curah hujan biasanya terjadi

sekitar Januari-Maret dan mencapai nilai

terendah sekitar Agustus-September.

Penerimaan radiasi matahari juga

berfluktuasi dimana radiasi tertinggi terjadi

sekitar Maret-April dan September-

Oktober. Sedangkan nilai radiasi terendah

terjadi pada Juni-Juli.

Gambar 4. Grafik bulanan iklim Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan data iklim yang diamati oleh AWS Badan Litbang Pertanian

Perbandingan kondisi iklim sentra dan kondisi optimum yang dibutuhkan

Durian tumbuh subur di iklim tropis lembab

yang panas ditandai dengan kelembaban

tinggi lebih dari 80%, curah hujan 2000 –

3000 mm merata sepanjang tahun dan

suhu yang seragam 28-32 oC. Durian

memiliki masa remaja berkepanjangan 9-

12 tahun. Pembungaannya mono-

musiman tahunan dan putaran

regenerasinya yang lambat.

Page 22: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

22

Tabel 4. Kondisi ekologi yang dibutuhkan Durian

Rambutan adalah buah tropis asli

Indonesia. Di Indonesia buah ini di

kategorikan ke dalam buah utama dan

menyumbangkan sekitar 3.5 % dari total

produksi buah-buahan Indonesia. Buah

rambutan cepat rusak (short selflife), ini

merupakan permasalahan dalam

penyebarannya. (Poerwanto, 2009).

Salah satu kendala dalam

perkembangan rambutan adalah adanya

sifat biannual bearing, yaitu sifat berbunga

dan berbuah yang tidak stabil atau

berbuah banyak pada suatu tanaman (on

year) dan berbuah sedikit pada tahun

berikutnya (off year). Biannual bearing ini

dipengaruhi oleh faktor lingkungan

terutama iklim mikro dan faktor endogen

tanaman. Untuk mengatasi masalah

tersebut di atas pada tanaman rambutan

diperlukan pemahaman mengenai

fenofisiologi tanaman yang berguna untuk

menyusun kalender manajemen kebun

dan informasi dasar untuk merekaysa

tanaman (Liferdi et al, 2005).

Tabel 5. Kondisi ekologi yang dibutuhkan tanaman Rambutan

Page 23: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

23

Tabel 6. Perbandingan kondisi optimum dan daerah sentra

Tabel 6 menunjukkan perbandingan suhu udara dan curah hujan optimum yang

dibutuhkan durian dan manggis. Dua parameter iklim adalah dua faktor iklim yang sangat

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Secara umum suhu udara pada

daerah sentra durian maupun daerah sentra rambutan berada pada kondisi optimum yang

dibutuhkan. Sedangkan untuk curah hujan derah sentra durian (Aceh Utara, Solok dan

Padang Pariaman) berada pada kondisi yang sesuia dengan kebutuhan optimum

sedangkan untuk sentra rambutan (Lampung Selatan) curah hujannya ada dibawah kondisi

optimum yang dibutuhka. Curah hujan optimum Rambutan adalah 2000-3000 mm

pertahuan sedangkan di Lampung Selatan 1602 mm/ pertahun. Konsekwensinya budidaya

rambutan di Lampung Selatan harus memperhatikan kondisi irigasi agar mendapatkan

produksi maksimum.

Kesimpulan

Karakteristik daerah sentra baik durian maupun rambutan pada umumnya bertipe iklim A

(berdasarkan klasifikasi Schmit Ferguson). Curah hujan tahunan pada umumnya di atas

1600 mm. Suhu udara dan curah hujan sentra durian berada pada suhu optimum yang

dibutuhkan durian untuk tumbuh dan berkembang dengan baik sedangkan untuk sentra

rambutan dalam hal ini di Lampung Selatan, suhu udara sudah berada dalam kondisi

optimum namun curah hujan berada dibawah kondisi optimum. Untuk mendapatkan

produksi optimum pada di sentra ini maka diperlukan adanya tambahan irigasi.

Page 24: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

24

Daftar Pustaka

Badan litbang kementan. 2011. Pedum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Jakarta.

Badan pusat statistic. 2011. Kabupaten Solok Dalam Angka. Jakarta

_________________. 2011. Kabupaten Kampar dalam angka. Jakarta

_________________. 2011. Kabupaten Aceh Utara dalam angka. Jakarta

Direktorat Budidaya Tanaman buah. 2006. Profil Manggis. Jakarta

____________________________. 2009. Profil Kawasan Manggis. Jakarta

Frank M Chmielewski, Fram M, Antje Muller and Ekko Bruns. 2004. Climate change and trend in phenology of fruit trees and field crops in Germany 1961-2000. Agricul-tural and forest meteorology Journal 121 (2004) 69-78

Ditjen Hortikultura. 2011. Pedoman Umum Pelaksanaan Pengembangan Hortikultura 2012. Jakarta.

Edmon, J.B., T.L.,Andrew, F.S., and Halfacre, R.G., 1977. Fundamental of Horticulture. Mc.Graw-Hill Publ. Co. New Delhi.

FAO.2007. Ecocrop. http://ecocrop.fao.org/ecocrop/srv.

Liferdi, R purwanto, dan LK Darusman. 2005. Perubahan kandungan karbohidrat dan nitrogen 4 varietas rambuatan. Jurnal hortikultura 16 (2): 134-141

Morinaga, Kunihisa. 2010. Impact of climate change on horticulture industry and technological countermeasure in Japan. Food and fertilizer Technology Center (FFTC) Extension bulletin 629 september 2010

Pak, H.A, J Dixon, D.b. Smith, T.A. Elmsly and J.G.M cutting. 2003. Impact of rainfall prior to harvest on ripe fruit quality of Hass Avocado in New Zeeland. Proceeding V world avocado congress 2003. Pp-629-634

Pena, R de la and Hughes, J. 2007. Improving Vegetable Productivity in a Variable and Changing Climate. ICRISAT journal 2007 volume 4.

Poerwanto, R, D. Efendi, W.D. Widodo, S. Susanto, B.S. Purwoko. 2006. Off- Seasion Production Of Tropical Fruits. XXVII International Horticultural Congress - IHC2006: International Symposium on Enhancing Economic and Environmental Sustainability of Fruit Production in a Global Economy.

Poerwanto, Rudhi. 2009. Developing Off-season Production Technique for Rambutan. Slide presentasion. Center for Tropical Fruits Studies Bogor Agricultural University Indonesia.

Weis E, Berry JA. 1988. Plants and High Temperature stress. Soc of Expt Biol, pp 329-346

Page 25: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

25

BIAS CORRECTION OF MODELLED PRECIPITATION

Yeli Sarvina

ABSTRACT

The projection of precipitation in the future is very important for agriculture sector related

with strategic and adaptation planning. Climate model is tool can be used to know the fu-

ture climate condition. But result in climate model was found to have bias. Therefore we

need to reduce the bias in order to obtain more reliable future information. The aim this

study is to identify the performance quantile mapping bias correction method to reduce the

bias of modelled precipitation. This study used observed precipitation from Global Survey

Summary of the Day (GSOD) and modelled data that downscale statistically from Couple

Model Intercomparison Project phase 5 (CMIP5). The analyses was done in two different

climate region, Palembang (semi monsoonal climate region) and Selaparang (monsoonal

climate region) .The analyses show that the highest uncertainty of modelled precipitation

was found in Palembang (semi monsoonal climate region) during rainy season (DJF). Over-

all quantile mapping bias correction method can reduce the bias of intensity and monthly

pattern precipitation. It noteworthy that for climate impact study assessment, the bias on

modelled precipitation is needed to be corrected.

Keyword: Bias correction, modelled precipitation, quantile mapping, monsoonal and semi monsoonal climate region

Page 26: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

26

INTRODUCTION

Global Circular Model (GCM) is tool can

be used to know the future climate

condition. For agriculture planning, the

climate projection is very important. It is

related with adaptation strategy of

agriculture sector to cope climate

alteration. Therefore, many efforts have

been devoted to develop GCMs in order to

obtain high accurate data.

Even though climate models are

considered to be the most suitable tools to

provide information on future climate

projections, these models have inherent

systematic errors or biases. Bias is simply

defined as the difference between climate

model outputs and observed data.

Imperfect conceptualization and

parameterization, insufficient length of

data records, quality of reference data sets

and insufficient spatial resolution are

identified as several sources of bias in

climate modelling.

To reduce these biases, the

application of bias correction method is

required. The main purpose of applying

bias correction is to maintain a certain

quality in the model results. Consequently,

the potential for climate impact studies to

be based on uncorrected data is

eliminated and prevents errors from being

transferred from climate models to climate

impact models. This requires the active

consideration of when decisions are to be

made, whether to use uncorrected or raw

output directly from climate models or bias

-corrected climate model outputs for future

climate change impact studies.

Several studies reported that bias

correction can improve climate impact

model results (Muerth et al. 2013). These

studies showed that bias correction can be

applied to both precipitation and

temperature data; consequently, biases in

simulated discharges for most of the

catchments in the studies were effectively

reduced. Bias corrections also improve

the results of flood flow modelling,

Eisneret al. (2012) applied two statistical

bias corrections, which lead to the

recognition of different flow flood model

trends in the future.

Indonesia consist of three climate

regions using the double correlation

method which divides Indonesia into

region of the southern monsoonal region,

region B (the semi-monsoonal region and

region the anti-monsoonal region (Aldrian,

2003 MPI-M Germany)

Based on the aforementioned

Page 27: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

27

reasons, this study aims to analyze and

improve the reproduction offuture

precipitation in two stations in different

climate region. Comparing the model

results with observed station data for the

period 1971 – 2000, systematical

deviations (called bias) will be detected.

To improve the model results, bias

correction will be tested and applied for a

bias correction. This is expected to

eliminate the gap between model result

and observed data.

DATA AND METHODOLOGY

Observed and modelled precipitation data

was compared in this study between 1971

and 2012. Two observed data from Global

Survey Summary of the Day (GSOD) were

used in this study. Palembang station in

South Sumatera was selected to represent

the semi monsoonal climate region and

Selaparang Station, West Nusa Tenggara

to represent monsoonal climate region.

With regard to the modelled data, daily

precipitation was downscaled statistically

from Couple Model Intercomparison

Project phase 5 (CMIP5). Four GMCs

analyzed in this study are MICROC_ESM,

CanESM2, GFDL_ESM2G and IPSL-

CM5A-LR.

Quantile mapping with R statistical

software was applied to reduce the bias on

daily precipitation. While precipitation

analysis was shown on monthly basic

since In agriculture cultivation and

planning, monthly precipitation data is

more important than daily precipitation

data.

RESULT AND DISCUSSION

The monthly precipitation from modelled

and observed data is shown in figure 1.

Overall for Selaparang station (monsoonal

region), four GCMs show good

performance to capture the pattern of

monthly precipitation. However,

Palembang station shows different

performance. The pattern on December,

January and February (DJF) which is peak

of rainy season show high uncertainty. It

reveals that performance model is better in

Selaparang station than in Palembang

Station.

For intensity precipitation, in

Selaparang, all models overestimate the

monthly intensity of precipitation except

IPSL-CM5A-LR and in Palembang all

model also overestimate the monthly

intensity precipitation except CanESM2.

Page 28: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

28

Figure 1. The modelled and observed precipitation of Selaparang and Palembang

It can be seen that the models have different performance in different type of precipi-

tation and different season. It noteworthy to chose the appriore model for different region,

different season and different purposed.

Figure 2. The observed, raw model and corrected model for selaparang station

Page 29: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

29

The observed precipitation,

corrected and raw modelled precipitation

for station Selaparang are shown in

figure 2. Raw modelled precipitation is

precipitation before bias correction while

corrected precipitation is precipitation after

bias correction with empirical quantile

mapping methods.

Quantile mapping or also known as

quantile matching is widely applied to

correct biases and generally performed

better than other bias correction methods

(Piani and Haerter, 2012; Themeßl et al.

2011; Teng at al. 2015; Sachindra et al.

2014; Eisner et al. 2012). The quantile

mapping method is derived by calculating

the empirical probability density function

(PDF), and uses the cumulative

distribution function (CDF) to correct the

raw data.

Figure 2 reveals that empirical

quantile mapping method can reduce the

bias and improve modelled precipitation.

Quantile mapping not only improve the

monthly intensity precipitation but also the

monthly pattern of precipitation.

Figure 3. The observed, raw model and corrected model for Palembang station

Page 30: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

30

Figure 3 show the performance of quantile mapping method to reduce the bias in

Palembang stations. The quantile mapping show good performance for CanESM2 and

IPSL_CM5A_LR modelled precipitation while for other modelled seems that quantile map-

ping was unable to reduce the bias.

CONCULUSION

GCMs shows different performance to capture the monthly intensity and pattern of precipita-

tion in different climate region. The highest uncertainty of modelled precipitation was found

in Palembang (semimonsoonal region) during rainy season (DJF). Overall quantile mapping

bias correction method can reduce the bias on intensity precipitation and monthly pattern on

precipitation. It noteworthy that for climate impact study assessment, the bias on modelled

precipitation is needed to be corrected in order to obtain more reliable and accurate data.

REFERENCE

Eisner, S., Voss, F., & Kynast, E. (2012). Statistical bias correction of global climate projec-

tions - Consequences for large scale modeling of flood flows. Advances in Geo-

sciences, 31, 75–82. doi:10.5194/adgeo-31-75-2012

Muerth, M. J., Gauvin St-Denis, B., Ricard, S., Velázquez, J. a., Schmid, J., Minville, M., …

Turcotte, R. (2013). On the need for bias correction in regional climate scenarios

to assess climate change impacts on river runoff. Hydrology and Earth System

Sciences, 17(3), 1189–1204. doi:10.5194/hess-17-1189-2013

Piani, C., &Haerter, J. O. (2012). Two dimensional bias correction of temperature and

precipitation copulas in climate models. Geophysical Research Letters, 39(20), 1–

6. doi:10.1029/2012GL053839

Page 31: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

31

Themeßl, M. J., Gobiet, A., & Heinrich, G. (2012).Empirical-statistical downscaling and error

correction of regional climate models and its impact on the climate change signal.

Climatic Change, 112(2), 449–468. doi:10.1007/s10584-011-0224-4

Teng, J., Potter, N. J., Chiew, F. H. S., Zhang, L., Wang, B., Vaze, J., & Evans, J. P.

(2015).How does bias correction of regional climate model precipitation affect

modelled runoff? Hydrology and Earth System Sciences, 19(2), 711–728.

doi:10.5194/hess-19-711-2015

Sachindra, D. a., Huang, F., Barton, a., &Perera, B. J. C. (2014). Statistical downscaling of

general circulation model outputs to precipitation-part 2: Bias-correction and future

projections. International Journal of Climatology, 3303(January), 3282–3303.

doi:10.1002/joc.3915

Page 32: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

32

PENELITIAN NERACA AIR TANAMAN

UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM IRIGASI TANAMAN KAKAO DALAM MENGANTISIPASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

Yayan Apriyana

RINGKASAN

Komoditas aneka buah, khususnya buah kakao mempunyai prospek kedepan yang baik bila

dikembangkan secara intensif dalam skala agribisnis. Dari tahun ke tahun permintaan buah

yang terdapa di wilayah tropis di dalam dan luar negeri semakin meningkat, sehingga kakao

merupakan salah satu komoditas perdagangan antar negara. Anomali iklim yang akhir-akhir

ini meningkat baik durasi maupun frekuensinya menjadi faktor pemicu penurunan produksi

kakao. Untuk mengetahui faktor penyebabnya diperlukan karakterisasi dan identifikasi

kondisi biofisik baik variabilitas iklim, iklim, ketersediaan air, sifat tanah sehingga akan

diperoleh hubungan antara variabilitas musim, ketersediaan air dengan produksi kakao,

informasi tersebut merupakan dasar penetapan dalam model pengelolaan budidaya kakao

di sentra produksi. Kegiatan penelitian bertujuan untuk menyusun model pengelolaan iklim

dan air di sentra kakao untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Pada tahun 2016

penelitian bertujuan untuk: (1) Menentukan karakteristik penciri iklim dan dinamika hidrologi

yang mempengaruhi produktivitas dan kualitas buah di sentra produksi kakao sesuai to-

posekuen, (2) Menentukan koefisien tanaman kakao pada berbagai fase pertumbuhan

dalam satu siklus produksi, (3) Menyusun prototipe irigasi suplementer untuk peningkatan

produktivitas dan kualitas kakao. Keluaran Tahun 2016 adalah: 1) Karakteristik penciri iklim

dan dinamika hidrologi yang mempengaruhi produktivitas dan kualitas buah di sentra pro-

duksi kakao sesuai toposekuen, 2) Koefisien tanaman kakao pada berbagai fase pertumbu-

han dalam satu siklus produksi, 3) Prototipe irigasi suplementer untuk meningkatkan pro-

duktivitas dan kualitas kakao.

Page 33: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

33

PENDAHULUAN

Permintaan akan aneka buah semakin

meningkat dengan semakin tingginya

kesadaran masyarakat akan nilai penting

aneka buah sebagai sumber beberapa

vitamin penting yang diperlukan untuk

kesehatan, hal tersebut menunjukkan

tantangan yang semakin berat dalam

pengembangan inovasi teknologi aneka

buah pada masa mendatang. Berbagai

permasalahan kompleks yang dihadapi

seperti semakin terbatasnya sumberdaya

lahan, air dan energi, perubahan iklim

global, rendahnya diseminasi inovasi

teknologi, serta pesatnya perubahan

kemajuan teknologi dan informasi global

memicu kesiapan teknologi dalam

menghadapinya.

Buah kakao sebagai salah satu

komoditas dalam pengembangan aneka

buah merupakan tanaman di wilayah

tropis yang mempunyai prospek baik bila

dikembangkan secara intensif dan dalam

skala agribisnis. Dari tahun ke tahun

permintaan buah tropis didalam dan luar

negeri semakin meningkat, baik dalam

bentuk segar maupun olahan sehingga

menjadi komoditas perdagangan antar

negara. Produktivitas, dan kualitas kakao

Indonesia masih tergolong rendah,

penyebabnya antara lain adalah bentuk

kultur budidaya yang bersifat tanaman

pekarangan varietas atau kultivar aneka

ragam, bibit kurang bermutu, dan

pemeliharaan kurang intensif. (Rukmana,

1997).

Laju perkembangan produksi

kakao di Indonesia meningkat sejak tahun

1995 hingga 1997, tetapi ekspor pada

tahun yang sama mengalami penurunan

tajam. Pada tahun 1997 produksi kakao

Indonesia mencapai 1.206.050 ton

(11,20% dari total produksi buah nasional)

sementara ekspor kakao hanya sebesar

74,995 ton (0,048% dari total ekspor buah

nasional). Di lain pihak impor buah-buahan

dalam tahun yang sama justru mengalami

peningkatan (Suharsono, 2000). Hal

tersebut menunjukkan bahwa peran kakao

dalam ekspor buah secara nasional makin

turun. Faktor tersebut disamping

disebabkan oleh kualitas kakao Indonesia

tidak mampu bersaing di pasar global, laju

peningkatan produksi kakao juga relatif

tidak signifikan akibat kondisi iklim di

Indonesia yang dalam empat dasawarsa

terakhir semakin tidak menentu.

Ketidakpastian kondisi iklim

karena Variabilitas dan perubahan iklim

Page 34: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

34

disinyalir menimbulkan dampak yang

signifikan terhadap strategi budaya dan

produksi pertanian (IPCC 2001; Porter and

Semenov 2005; Betts 2005; Osborne

2005; Battisti et al. 2006). Terutama di

daerah tropis yang mempunyai variasi

curah hujan cukup besar (Slingo et al.

2005; Giannini 2006). Anomali iklim

tersebut mengakibatkan penurunan

produktivi tas kakao. Kekeringan

berkepanjangan akan mengakibatkan

penurunan ketersediaan air sehingga pada

gilirannya akan mengganggu stabilitas

produksi, disamping itu akibat terjadinya

kemarau basah seperti halnya pada tahun

2010 di beberapa sentra kakao

mengakibatkan pula terjadi penurunan

produksi akibat sistem pembuahan kakao

yang terganggu.

Kondisi umum daerah sentra

kakao di Indonesia adalah fase generatif

kakao selalu terjadi pada musim kemarau.

Padahal ketika bakal buah telah terbentuk

sebesar bi j i kedele diper lukan

penambahan pupuk NPK dan air,

kemudian air diberikan secara kontinyu

satu minggu sekali dan dihentikan 2

minggu sebelum panen. Dengan

perlakuan tersebut maka produksi buah

(kuantitatif dan kualitatif) akan optimal.

Sedangkan cekaman air pada fase

generatif akan mengakibatkan: (1) Jumlah

gugur buah sebesar 20-30%, (2) Ukuran

buah kecil, dan (3) Terjadi „beannual

bearing‟ yaitu keterlambatan recovery

vegetatif tanaman pasca panen.

Pemberian air pada fase generatif akan

menekan jumlah gugur buah menjadi 10-

15%, meningkatkan ukuran buah kurang

lebih 25-30%, dan recovery vegetatif

tanaman pasca panen berlangsung lebih

cepat sehingga tidak terjadi ‘beannual

bearing’.

Hasil penelitian pada tahun 2013

penentuan Kc telah dicobakan pada

tanaman mangga. Hasil menunjukkan

bahwa hubungan antara produktivitas

mangga dengan curah hujan relatif kuat di

kabupaten Probolinggo. Dengan

pemberian irigasi 50% dari kebutuhan air

menunjukkan produksi dan jumlah buah

terbanyak dengan fluktuasi kadar air tanah

antara 18-22% dengan waktu pemberian 7

harian. Disamping itu semakin banyak air

yang diberikan akan menurunkan

kandungan gula, tidak berpengaruh

terhadap serat pangan dan sedikit

pengaruhnya pada total asam. Hasil

pengukuran Kc mangga berumur 5 tahun

menggunakan Lisimeter menunjukkan

Page 35: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

35

bahwa nilai Kc tanaman pada Lisimeter I,

II dan III berturut-turut adalah 0,63, 0,61

dan 0,74. Perlakuan dosis irigasi 50% dari

kebutuhan air tanaman mangga dengan

waktu pemberian 7 harian merupakan

dosis terbaik ditunjukkan oleh jumlah buah

total lebih tinggi dari perlakuan 0,75, 100,

dan 125% dari kebutuhan air tanaman.

Upaya selanjutnya adalah

melakukan antisipasi strategis secara

terpadu melalui penelitian hubungan

antara variabilitas iklim, pengaruh iklim

dan ketersediaan air dalam suatu kawasan

yang terintegrasi dengan budaya pertanian

lainnya di sentra produksi kakao berskala

Daerah Aliran Sungai mikro.

Hubungan Tingkat Produksi Buah

dengan Variabilitas Iklim dan Dinamika

Ketersediaan Air

Faktor iklim sangat menentukan

pertumbuhan dan produksi tanaman,

terutamapada saat memasuki fase

pembungaan. Barus dan Syukri (2008)

Pengaruh iklim terhadap musim

berbuahnya tanaman buah dapat

dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu:

1. Musiman

Tanaman buah-buahan pada saat berbuah

dipengaruhi oleh kondisi iklim tempat

tumbuhnya. Contoh : rambutan, duku,

Kakao, dan lengkeng.

2. Non-musiman

Tanaman buah-buahan pada saat berbuah

tidak atau sedikit dipengaruhi oleh iklim

tempat tumbuhnya. Contoh : Pepaya,

pisang, jambu biji, nenas, dan belimbing.

Menurut (Mugnisjah dan

Setiawan, 1995), Ashari (2006); Guslim

(2007); Barus dan Syukri (2008) beberapa

unsur iklim yang berpengaruh terhadap

produksi adalah: (1) Curah hujan dan

distribusi hujan, (2) Ketinggian tempat, (3)

Radiasi Matahari, (4) Suhu, dan (5)

Panjang hari.

Cekaman air yang diikuti oleh

hujan sering merangsang pembungaan

tanaman tahunan tropika. Faktor lain yang

memicu pembungaan adalah panjang hari,

atau panjang periode selama setiap 24

jam. Tanaman berhari panjang tidak akan

berbunga jika ditanam di wilayah tropika

(Mugnisjah dan Setiawan,1995).

Jika bunga telah berkembang

tahap berikutnya adalah menjamin

sedapat mungkin agar penyerbukan

berlangsung dengan baik. Cuaca pada

saat penyerbukan adalah penting.

Umumnya serbuk sari tidak dapat tahan

hidup jika hujan lebat, dan suhu yang

Page 36: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

36

terlalu dapat menyebabkan penyerbukan

yang jelek. Serangga terutama lebah, tidak

akan bekerja dengan baik dalam kondisi

cuaca yang sangat basah.

Curah hujan merupakan salah

satu elemen iklim yang sangat penting

dalam kehidupan di bumi. Kepentingan

tanaman terhadap besarnya curah hujan

sudah dirasakan sejak panen. Adapun titik

yang kritis adalah saat pembungaan.

Apabila saat pembungaan banyak hujan

turun, maka proses pembungaan akan

terganggu. Tepung sari menjadi busuk dan

tidak mempunyai viabilitas lagi. Kepala

putik dapat busuk karena kelembaban

yang tinggi. Selain itu, aktivitas serangga

penyerbuk juga berkurang saat

kelembaban tinggi. Apabila terjadi

kerusakan pada tepung sari dan kepala

puti berarti penyerbukan telah gagal. Hal

ini juga berarti bahwa pembuahan dan

selanjutnya,panen, telah gagal dan harus

menunggu tahun berikutnya (Ashari 2006).

Kesesuaian tanaman dengan

kondisi iklim tempat tumbuh sangat

diperlukan. Untuk berbagai keperluan,

para ahli banyak membuat klasifikasi iklim

yang didasarkan kepada curah hujan yang

perhitungannya didasarkan pada

perhitungan bulan basah (BB) dan bulan

kering (BB), salah satu klasifikasi tersebut

dan banyak dipakai dalam bidang

pertanian di Indonesia adalah klasifikasi

iklim menurut Oldeman.

Tabel 1. Klasifikasi Iklim Menurut Oldeman

Perubahan iklim secara umum

terjadi di sebagian besar wilayah di Jawa.

Perubahan iklim berdampak terhadap

peningkatan hujan musiman pada

Desember, Januari, Februari (DJF) secara

signifikan. Sebaliknya, berdampak

terhadap penurunan hujan musiman Juni,

Juli, Agustus (JJA) secara signifikan dan

mengakibatkan musim kemarau

memanjang (Gambar 1).

Gambar 1. Perubahan panjang musim kemarau di seluruh Indonesia (Sumber: Boer et al., 2009)

Page 37: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

37

Keragaman iklim antar-musim

dan tahunan yang disebabkan oleh

fenomena ENSO dan Osilasi Atlantik atau

Osilasi Pasifik akhir-akhir inisemakin

meningkat dan menguat. Menurut

Timmerman et al. (1999) danHansen et al.

(2006), pemanasan global cenderung

meningkatkan frekuensi El-Nino dan

menguatkan fenomena La-Nina.

Peningkatan siklus ENSO (El Nino

Southern Oscillation) dari 3-7 tahun sekali

menjadi 2-5 tahun sekali(Ratag, 2001).

Beberapa hasil penelitian

membuktikan kecenderungan peningkatan

suhurata-rata bumi. Di Jakarta, misalnya,

terjadi peningkatan suhu udara rata-

rata1,04-1,40oC selama 100 tahun

terakhir.Kecenderungan peningkatan

variablitas dan perubahan pola curah

hujan terjadi di Jawa seperti di

T a s i k m a l a y a ( R u n t u n u w u d a n

Syahbuddin, 2007) dan Bojonegoro (Boer

et al., 2009)

Penciri Iklim dan Dinamika Hidrologi

yang Mempengaruhi Produktivitas dan

Kualitas Tanaman Kakao

Kedalaman solum tanah berpengaruh

nyata terhadap tinggi tanaman, diameter

batang, dan lebar kanopi tanaman kakao

(Juliati, 2010). Pertumbuhan tanaman

tertinggi diperoleh pada solum tanah

dalam (>150 cm) dan sedang (75-150 cm)

kecuali diameter batang, sedangkan yang

terendah diperoleh pada tanaman yang

ditanam pada solum dangkal (<75 cm).

Selanjutnya Juliati (2010) menyebutkan

bahwa produksi (jumlah buah) juga

dipengaruhi oleh kedalaman solum tanah.

Semakin meningkat kedalaman solum

tanah, semakin tinggi jumlah buah yang

dihasilkan. Terdapat perbedaan yang

nyata antara produksi yang dihasilkan oleh

tanaman yang berada pada solum dalam

dan sedang dengan tanaman yang berada

pada solum dangkal. Semakin dalam

solum tanah, makin luas bidang/area

serapan yang dapat dijangkau akar

tanaman untuk menyerap hara. Tanaman

a k a n m e n y e r a p h a r a s e s u a i

kebutuhannya, sehingga untuk tumbuh

dan berproduksi dengan baik (Havlin et al.

1999)

Ahmad (2010) melakukan

klasifikasi kualitas buah kakao jenis

gadung dan arumanis berdasarkan tekstur

buah kakao. Pengukuran tekstur yang

digunakan adalah kontras pada indeks

warna merah, karena warna buah kakao

yang sudah masak biasanya didominasi

Page 38: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

38

warna yang agak kemerahan pada

kulitnya. Akurasi yang didapatkan

mencapai 74.3%. Widyanto dan Kreshna

(2007 dalam Agustin dan Prasetyo, 2011)

melakukan otomatisasi sistem klasifikasi

kualitas buah kakao lokal berdasarkan 3

parameter yaitu: cacat, ukuran, dan warna,

yang dikelompokkan menjadi 3 kelas:

bagus, sedang, dan jelek. Metode yang

digunakan adalah logika fuzzy, akurasi

yang didapat antara 66.7% dan 75%

masing-masing untuk kualitas buah kakao

yang sedang dan bagus.

Menurut SNI (2009), ketentuan

minimum mengenai mutu/kualitas yang

harus dipenuhi untuk semua kelas buah

yaitu: utuh, padat (firm), penampilan

segar, layak dikonsumsi, bersih dan bebas

dari benda-benda asing yang tampak,

bebas dari memar, bebas dari hama dan

penyakit, bebas dari kerusakan akibat

temperatur rendah dan atau tinggi, bebas

dari kelembaban eksternal yang abnormal

kecuali pengembunan sesaat setelah

pemindahan dari tempat penyimpanan

dingin, bebas dari aroma dan rasa asing,

memiliki kematangan yang cukup, apabila

terdapat tangkai buah panjangnya tidak

boleh lebih dari 1 cm. Tanaman kakao

digolongkan menjadi 3 kelas mutu yaitu

kelas super, kelas dan kelas B (Tabel 2).

Sedangkan berdasarkan bobotnya kakao

dibagi menjadi 5 kelas ukuran yaitu:

ukuran 1 (bobot > 450 gram), ukuran 2

(351-450 gram), ukuran 3 (251 – 350

gram), ukuran 4 (4 151 – 250 gram), dan

ukuran 5 (<150 gram).

Tabel 2. Kelas mutu buah kakao

berdasarkan Standar Nasional Indonesia

(SNI)

Topograf i suatu wilayah

merupakan perbedaan tinggi rendah

permukaan bumi di suatu wilayah yang

diukur secara vertical. Keragaan topografi

secara berurutan dari wilayah pantai

sampai ke puncak gunung disebut

toposekuen lahan. Dalam satu toposekuen

Page 39: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

39

terdapat beberapa zone agroekosistem.

Menurut Amien (1997) agroekosistem

merupakan sekelompok wilayah yang

keadaan fisik lingkungannya hampir sama

atau tidak berbeda nyata. Di wilayah tropis

seperti di Indonesia, perbedaan ketinggian

tempat mempengaruhi karakteristik iklim,

jenis tanah, fisiografi dan penggunaan

lahan. Pengaruh ketinggian tempat

terhadap iklim , terutama pada parameter

curah hujan, kelembaban dan suhu udara.

Curah hujan dan kelembaban udara

semakin meningkat dengan bertambahnya

ketinggian suatu tempat, sebaliknya suhu

udara akan akan mengalami penurunan

seiring dengan meningkatnya ketinggian

tempat.

Karakteristik hidrologi dari

wilayah yang memiliki struktur toposekuen

pada umumnya berbeda antar ketinggian

tempat. Wilayah-wilayah di puncak

memiliki sifat drainase yang lebih baik

dibandingkan dengan di wilayah lereng

maupun kaki bukit yang mendatar.

Dengan sifat tersebut, maka wilayah-

wilayah di atas dan di lereng berperan

sebagai zone transfer dan wilayah di kaki

bukit merupakan zone deposit. Sementara

itu perubahan ketersediaan air di wilayah

puncak dan lereng lebih besar

dibandingkan dengan di kaki bukit (Dinka

et al, 2012). Hasil penelitian Severson et

a l , 2008 menunjukkan bahwa

konduktivitas hidrolik untuk tempat-tempat

yang lebih rendah dan landai lebih tinggi

(14.7 cm/jam) dibandingkan dengan di

puncak (7.55 cm/jam), sehingga tanah-

tanah di dataran rendah memiliki sifat

menyimpan air yang lebih baik

dibandingkan dengan wilayah puncak.

Sementara itu hasil pengukuran muka air

tanah yang dilakukan Severson et al, 2008

menunjukkan bahwa ketinggian relatif

muka air tanah untuk wilayah yang lebih

rendah dan landai relatif lebih dangkal

dibandingkan dengan wilayah yang

terdapat di puncak. Selain itu suhu tanah

pada dua lokasi yang memiliki selisih

ketinggian tempat 0.2 m, lebih tinggi

sekitar 30C untuk wilayah yang lebih

rendah dibandingkan dengan tanah-tanah

di wilayah puncak.

Berdasarkan hasil penelitian-

penelitian tersebut dapat diketahui bahwa

wilayah dataran rendah memiliki kondisi

lingkungan yang lebih mendukung

pertumbuhan tanaman karena sifat-

sifatnya yang mampu menahan air lebih

lama, suhu lebih hangat sehingga

mempercepat tanaman untuk mencapai

Page 40: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

40

pembungaan dan memungkinkan lebih

aktifnya reaksi unsur hara tanah, yang

memungkinkan lebih tersedianya hara

untuk tanaman. Pengaruh ketinggian

tempat mempengaruhi masa awal

pembungaan tanaman, berdasarkan

penelitian Shresta et al, 2012,

pembentukan tanaman bunga pada

tanaman padi akan lebih cepat terjadi

pada tanaman-tanaman yang ditanam di

dataran rendah, dan semakin ke puncak

pembungaan akan lebih lama terbentuk.

Penelitian tersebut juga menghasilkan

kesimpulan bahwa tanaman padi yang

ditanam di dataran rendah memiliki

produktivitas yang lebih baik dibandingkan

dengan tanaman yang ditanam di wilayah

lereng dan puncak lereng.

Koefisien Tanaman Kakao pada

Berbagai Fase Pertumbuhan

Penggunaan air untuk kebutuhan tanaman

(consumtive use) dapat didekati dengan

menghitung evapotranspirasi tanaman,

yang besarnya dipengaruhi oleh jenis

tanaman, umur tanaman dan faktor

klimatologi. Nilai evapotranspirasi

merupakan jumlah dari evaporasi dan

transpirasi. Yang dimaksud dengan

evaporasi adalah proses perubahan

molekul air di permukaan menjadi molekul

air di atmosfir.

Sedangkan transpirasi adalah

proses fisiologis alamiah pada tanaman,

dimana air yang dihisap oleh akar

diteruskan lewat tubuh tanaman dan

diuapkan kembali melalui pucuk daun.

Nilai evapotranspirasi dapat diperoleh

dengan pengukuran di lapangan atau

dengan rumus-rumus empiris. Untuk

keperluan perhitungan kebutuhan air

irigasi dibutuhkan nilai evapotranspirasi

potensial (Eto) yaitu evapotranspirasi yang

terjadi apabila tersedia cukup air.

Kebutuhan air untuk tanaman

adalah nilai Eto dikalikan dengan suatu

koefisien tanaman.

dimana :

ET = Evapotranpirasi tanaman (mm/

hari)

ETo = Evaporasi tetapan/tanarnan

acuan (mm/hari)

kc = Koefisien tanaman

Kebutuhan air konsumtif ini

dipengaruhi oleh jenis dan usia tanaman

(tingkat pertumbuhan tanaman). Pada saat

tanaman mulai tumbuh, nilai kebutuhan air

k o n s u m t i f m e n i n g k a t s e s u a i

Page 41: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

41

Pertumbuhannya dan mencapai

maksimum pada saat pertumbuhan

vegetasi maksimum (Campbell, 1974).

S e t e l a h m e n c a p a i m a k s i m u m

danberlangsung beberapa saat menurut

jenis tanaman, nilai kebutuhan air

konsumtif akan menurun sejalan dengan

pematangan biji. Pengaruh watak tanaman

terhadap kebutuhan tersebut dengan

faktor tanaman (kc).

Nilai koefisien pertumbuhan

tanaman ini tergantung jenis tanaman

yang ditanam. Untuk tanaman jenis yang

sama juga berbeda menurut varietasnya.

Sebagai contoh padi dengan varietas

unggul masa tumbuhnya lebih pendek dari

padi varietas biasa. Pada Tabel 3 disajikan

harga-harga koefisien tanaman padi

dengan varietas unggul dan varitas biasa

menurut Nedeco/Prosida dan FAO.

Tabel 3. Nilai Koefisien tanaman padi

Yang dimaksud ETo, adalah

evapotranspirasi tetapan yaitu laju

evaportranspirasi dari suatu permukaan

luas tanaman rumput hijau setinggi 8

sampai 15 cm yang menutup tanah

dengan ketinggian seragam dan seluruh

permukaan teduh tanpa suatu bagian yang

menerima sinar secara langsung serta

rumput masih tumbuh aktif tanpa

kekurangan air. Evapotranspirasi tetapan

disebut juga dengan evapotranspirasi

referensi/ keluar. Terdapat beberapa cara

untuk menentukan evapotranspirasi

tetapan, salah satunya seperti yang

diusulkan oleh Kriteria Perencanaan Irigasi

1986 sebagai berikut :

dengan :

ETo = Evaporasi tetapan/tanaman

acuan (mm/hari)

Epan = Pembacaan panci Evaporasi

kpan = koefisien panci

Informasi Jadwal dan Dosis Irigasi

untuk Peningkatan Produktivitas dan

Kualitas Tanaman Kakao

Di Indonesia Kakao dapat tumbuh pada

ketinggian 0-1000 m dpl dengan

ketinggian yang ideal adalah 0-600 mdpl.

Masa berbunga tanaman Kakao

dipengaruhi oleh ketinggian tempat dari

Page 42: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

42

permukaan laut, hal ini berhubungan

dengan radiasi matahari yang dibutuhkan

tanaman. Di Indonesia pada umumnya

setiap kenaikan rata-rata 130 m dimana

Kakao ditanam, maka masa pembungaan

tertunda selama 4 hari. (AAK,1991)

Lu dan Chacko (2000)

menunjukkan bahwa stres air selama 5

minggu mendorong tanaman kakao

berbunga lebih awah dan lebih lebat untuk

varietas kakao Kensington' dan varietas

Irwin'. Pada akhirnya hasil tanaman kakao

yang mengalami stress air juga lebih

tinggi. Dalam sebuah penelitian di

Australia selama 3 tahun pada varietas

'Kensington Pride” berumur 15 tahun

(Bally et al., 2000), stress air yang terjadi

pada saat pematangan buah pada awal

musim panas kemudian diikuti dengan

pemberian air setelah panen secara

signifikan meningkatkan persentase

cabang-cabang bunga. Hasil rata-rata

selama tiga tahun percobaan diketahui

bahwa tanaman yang dikelola mengalami

stress air sedikit lebih tinggi dari pada

pohon yang diirigasi dengan baik. Pada

tahun 1995, pohon yang mendapat stress

air secara signifikan menghasilkan

perkembangan bunga lebih tinggi dari

pada pohon yang diairi. Hal ini terjadi

karena pada tahun 1995 memiliki periode

yang hangat dibandingkan dengan dua

tahun lainnya menunjukkan bahwa stres

air memiliki efek yang lebih mendalam dari

pada yang yang terjadi periode setahun

sebelumnya. Demikian pula, dalam

sebuah penelitian di Afrika Selatan kakao

(Moster t dan Hoffman, 1998),

menunjukkan bahwa tanaman yang

mengalami stres air atau tidak diairi

selama bulan-bulan musim dingin,

produksi tahunan meningkat sebesar 9%

dan yang diari menurun sebesar 20%.

Mostert dan Hoffman melakukan

uji coba ini di musim hujan wilayah di

Afrika Selatan. Tegangan air, pelakuan

tanpa irigasi diaplikasikan bertepatan

dengan periode perkembangan kuncup

bunga dan diperpanjang dari sekitar awal

Mei hingga pertengahan Agustus. Irigasi

dimulai segera setelah bunga pada malai

mulai membuka. Hasil buah dari pohon di

bawah tekanan air selama pengembangan

kuncup bunga ternyata lebih tinggi di

semua tahun dari enam tahun percobaan

dibandingkan dengan pohon-pohon yang

irigasi selama periode ini. Hasil rata-rata

tanaman kakao yang mengalami stress air

sebesar 30,5 t / ha dibandingkan dengan

27,8 t/ha dari tanaman yang tidak terkena

Page 43: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

43

stres.

Peningkatan hasil terjadi pada

tanaman yang dilakukan pemberian air

pada periode vegetatif dan pada saat awal

terjadi pembungaan pohon diperlakukan

stres air. Penyiraman dilakukan untuk

cadangan yang dibutuhkan oleh bunga

dan buah muda untuk menghidari

rontoknya buah. Stress air selama

pengembangan kuncup bunga harus

dihentikan pada saat bunga pada malai

mulai membuka sehingga buah yang

berkembang di bawah kondisi tidak stress

air. Hal ini diperlukan untuk menjaga

pasokan kelembaban tanah dengan

dimulainya pembungaan sampai dekat

dengan panen. Pohon kakao yang disiram

pada saat kelembaban tanah berkurang

sampai 20% dari nilai jenuhnya

memberikan pertumbuhan yang lebih baik

pada tunas, jumlah bunga, malai buah,

ukuran buah dibandingkan disiram pada

saat kelembaban tanah telah berkurang 40

atau 60% dari tingkat jenuhnya (Pina et

al., 2000).

P e t a n i d i Q u e e n s l a n d

menghent ikan atau mengurangi

pemberian air pada kebun kakao dua

sampai tiga minggu sebelum panen.

Praktek ini memberikan Hasil yang baik

yaitu buah kakao dengan kulit buah yang

mulus, berwarna kemerahan dan juga

membantu dalam meningkatkan derajat

Brix (OB) mencerminkan manisnya buah.

Pengaruh stres air pada kakao

adalah yang paling penting saat berbunga,

set buah dan periode pengembangan

buah. Hasil total dan jumlah buah per

pohon secara substansial menurun akibat

stress air. Kurangnya irigasi selama

b e r b u n g a , p e m b e n t u k a n d a n

perkembangan buah dapat mengurangi

hasil hingga 50%. Oleh karena itu, praktek

-praktek irigasi untuk tanaman kakao

harus disesuaikan dengan tahap fenologi

tanaman (Tabel 4).

Tabel 4. Kebutuhan air berdasarkan Fase

pertumbuhan tanaman kakao.

Dosis Irigasi

Tamanan kakao merupakan tanaman

spesifik dalah hal konsumsi air. Tidak

semua fase pertumbuhan kakao

memerlukan air dalam jumlah yang sama,

ada fase dimana tanaman perlu banyak air

tetapi ada pada fase lainnya tanaman

Page 44: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

44

tidak memerlukan air. Berdasarkan Tabel

4 diketahui bahwa setiap fase

pertumbuhan tanaman kakao memerlukan

jumlah air melalui irigasi yang berbeda

yaitu banyak, sedang, sedikit dan tidak

perlu air.

1. Banyak = air dalam tanah pada

lapisan 0-40 cm mempunyai kadar

>80 % dari kondisi tanah jenuh.

Kondisi ini diperlukan untuk tanaman

kakao pada fase vegetatif

2. Sedang = air dalam tanah pada

lapisan 0-40 cm mempunyai kadar 60

-80 % dari kondisi tanah jenuh.

Kondisi ini diperlukan oleh tanaman

kakao pada fase pembungaan dan

perkembangan buah

3. Sedikit = air dalam tanah pada lapisan

0-40 cm mempunyai kadar 40-60% %

dari kondisi tanah jenuh. Kondisi ini

tanaman menaglami stres air yang

mendalam diperlukan oleh tanaman

kakao pada fase in is isas i

pembentukan bunga hingga bunga

mekar.

Perhitungan neraca air tanaman

sangat diperlukan untuk menentukan

waktu dan dosis pemberian air irigasi bagi

tanaman kakao.

Metode Penelitian

Kegiatan 1: Penciri Iklim dan Dinamika

Hidrologi yang Mempengaruhi

Produktivitas dan Kualitas Tanaman di

Sentra Produksi Buah Unggulan

Beberapa kegiatan yang akan dilakukan

yaitu:

a) P e n g am a t an i k l i m ( s uh u ,

kelembaban, radiasi matahari, dan

kecepatan angin)

Iklim yang diamati yaitu suhu,

kelembaban, radiasi matahari,

dan kecepatan angin harian

aktual akan diamati melalui

AWS (Automatic Weather

Station) yang dipasang di lokasi

penelitian.

b) Untuk mengetahui karakteristik iklim

jangka panjang, data iklim time

series akan diambil dari stasiun

pengamat iklim yang ada di sekitar

wilayah penelitian.

c) Pengamatan suhu dan kelengasan

tanah pada beberapa kedalaman

Dinamika kelengasan tanah

akan diamati pada beberapa

k e d a l a m a n d e n g a n

menggunakan tensiometer.

Tensiometer merupakan alat

Page 45: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

45

berupa tabung kedap udara,

tabung jenuh air dengan ujung

berpori pada salah satu ujung

dan pengukur vakum di sisi lain

(Baruah, 2009). Tensiometer

mengukur kemampuan tanah

menghisap air (tekanan negatif),

yang biasanya dinyatakan

sebagai ketegangan. Satuan

pengukuran berupa bar atau

centibars. Satu bar sama

dengan 100 centibars (cb).

Dalam penelitian ini, kelengasan

t a n a h a k a n d i u k u r

menggunakan tensiometer

digital. Alat ini terdiri dari sensor

dioda yang tertanam dalam

gipsum serta monitor berupa

Digital Multi Tester. Sensor

ditanam secara permanen pada

beberapa kedalaman (0-20, 20-

40, 40-60, 60-80, dan 80-100

cm).Pengukuran dilakukan pada

beberapa fase pertumbuhan

tanaman seper t i : awa l

berbunga, saat berbunga

merata, awal berbuah, berbuah

merata, dan menjelang waktu

panen. Untuk ka l ib ras i

tensiometer digital, dilakukan

pengukuran kelembaban tanah

pada kedalaman 0-20 cm

menggunakan alat “ΔT Wet

Sensor Kit”(Gambar 1). Selain

untuk mengukur kelengasan

tanah, alat ini digunakan pula

untuk mengukur temperatur

tanah.

Untuk mengetahui kelengasan

pada saat titik layu permanen

dan kapasitas lapang akan

diambil sampel tanah pada

kedalaman 0-20, 20-40, 40-60,

60-80, dan 80-100 cm dengan

menggunakan ring sampel pada

saat berbunga dan berbuah

merata.

Gambar 2. ΔT Wet Sensor Kit

Page 46: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

46

Pengamatan muka air tanah

Pengamatan pertumbuhan

(vegetatif) dan perkembangan

(generatif) tanaman kakao

meliputi t inggi tanaman,

diameter batang, dan lebar

kanopi

Analisis terhadap data dan

informasi yang diperoleh di

lapang sebagai bahan untuk

menentukan penciri iklim dan

dinamika hidrologi yang

b e r p e n g a r u h t e r h a d a p

produktivitas dan kualitas buah

kakao

Untuk mengetahui keragaan

nilai parameter iklim dan

hidrologi, dilakukan pengukuran

cuaca (suhu dan curah hujan)

dan dinamika kelengasan tanah

pada beberapa ketinggian

tempat di sentra kakao yang

mewakili dataran rendah dan

landai, lereng dan puncak.

Pengamatan fisiologi tanaman

yang meliputi fase vegetatif,

pembungaan, pembentukan

buah dan panen juga dilakukan

pada tempat yang sama dengan

pengamatan parameter iklim

dan hidrologi. Pengukuran curah

hujan dilakukan dengan

menggunakan alat ARR yang

memungkinkan perekaman data

secara otomatis dan kontinyu

(tipping-bucket rain gauge

complete HOBO Event data

logger (Data Logging Rain

Gauge) (RG2)). Pengukuran

suhu udara dan tanah dilakukan

secara berkala (mingguan) pada

ketinggian 15 cm diatas tanah,

pada tanah dan 50 cm dibawah

tanah. Kandungan air tanah

diukur pada tiga ketinggian

dengan masing-masing titik

pengukuran diukur kelengasan

tanah pada 5 kedalaman tanah

di zone perakaran kakao.

Kegiatan 2: Koefisien Tanaman Kakao

pada Berbagai Fase Pertumbuhan

Waktu pengamatan parameter penentu

koefisien tanaman kakao akan dilakukan

dalam satu tahun. Penelitian dilakukan

pada 2 plot penelitian dengan skala

berbeda yaitu pada skala laboratorium

serta skala lapangan. Penelitian skala

laboratorium akan dilakukan terhadap 6

Page 47: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

47

populasi tanaman kakao usia produktif

yang ditanam dalam pot yang berfungsi

sebagai lisimeter. Sedangkan penelitian

skala lapangan dilakukan pada

perkebunan kakao rakyat seluas 5000 m2.

Pada skala laboratorium, laju

evapotranspirasi diukur secara langsung

dengan Lysimeter. Unsur yang diamati

adalah besarnya penguapan yang

berlangsung pada sebidang tanah yang

bervegetasi.

Prinsip sederhana pengukuran

dengan menggunakan Lysimeter adalah:

Dimana :

C = curah hujan I = irigasi E =

evapotranspirasi

Pk = air perkolasi P = jumlah air

u n t u k penjenuhan tanah sampai t e r c a p a i k a p a s i t a s lapang

Seluruh komponen tersebut

diukur dengan satuan yang sama yang

akhirnya dirubah ke satuan tinggi air (mm).

Untuk menghitung besaran Pk diperlukan

pengukuran perkolasi yaitu jumlah air yang

terkumpul di bagian dasar lysimeter.

Lysimeter yang akan digunakan sebanyak

6 buah.

Pengukuran evapotranspirasi

potensial meliputi penguapan yang berasal

dari tanaman dan tanah. Karena vegetasi

dan tanah terkurung dalam lysimeter,

maka pengukuran evapotranspirasi dapat

dilakukan dengan menghitung volume air

yang masuk dari curah hujan (rainfall) dan

air yang ditambahkan (water added).

Sedangkan air yang keluar dari lisimeter

merupakan air perkolasi dari air yang telah

diterima.

Perangkat yang digunakan untuk

mengukur air tanah (soil-water suction)

dalam hal ini kelembaban tanah adalah

dengan menggunakan digital tensiometer.

Untuk skala lapangan pada

perkebunan kakao, laju transpirasi

tanaman kakao akan diamati secara

kontinyu menggunakan alat yang disebut

dengan SAP Flow. Alat ini mengukur laju

transpirasi tanaman berdasarkan

pengukuran beda suhu dari dua

termokopel yang terpasang pada lapisan

sapwood (lapisan pada tanaman yang

berfungsi mendistribusikan air, berada

diantara kambium dan Heartwood

(bagian kayu yang keras).

Page 48: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

48

Untuk mengh i tung l a j u

transpirasi tanamanan, digunakan rumus

persamaan sebagai berikut:

dTnight : suhu pengukuran di malam hari berdasarkan perhitungan dari dataset

dTactual : suhu pengukuran aktual U : sapflow density (ml/cm2/min) F : sap flow (ml/min) SA : luas penampang batang pohon

pada titik pemasangan sensor termokopel

Gambar 3. Alat pengukur transpirasi tanaman SAP Flow (a) sensor yang tertanam di batang tanaman (b) data logger

Selain menggunakan SAP Flow,

pengukuran transpirasi tanaman akan

dilakukan menggunakan Porometer. Alat

ini mengestimasi transpirasi berdasarkan

pengukuran tingkat bukaan stomata pada

daun. Porometer bersifat Portabel

sehingga dapat melakukan pengukuran

transpirasi tanaman pada beberapa

populasi tanaman Kakao.

Hasil pengamatan transpirasi

tanaman ini selanjutnya akan digunakan

untuk menyusun tabel koefisien tanaman

kakao (Kc kakao) yang berguna untuk

menyusun dosis dan interval irigasi kakao.

Kegiatan 3: Penentuan Jadwal dan

Dosis Irigasi untuk Peningkatan

Produktivitas dan Kualitas Tanaman

Kakao

Informasi yang didapatkan dari analisis ini

adalah volume irigasi (mm, liter atau liter/

detik) yang harus diberikan agar

produktiktivitas yang diperoleh optimal dan

interval irigasi (hari atau minggu). Analisis

Page 49: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

49

dilakukan berdasarkan estimasi kebutuhan

air tanaman menurut Metode FAO

(Buletin FAO No 56 tahun 1998) dan hasil

penelitian pada tahun sebelumnya.

Kebutuhan air tanaman (Water

C r o p R e q u i r e m e n t ) y a n g

direpresentasikan oleh Evapotranspirasi

tanaman (ETc) dapat dihitung dengan

menggunakan data ETP dan koefisien

tanaman (Kc). ETP dihitung menggunakan

metode Penman-Monteith, sedangkan nilai

Kc tanaman ditetapkan berdasarkan

referensi dari hasil penelitian di Negara

lain. ETc dihitung dengan persamaan :

Untuk menghitung kebutuhan air neto (NID, Net Irrigation Depth) digunakan persamaan

Dimana: NID : Net Irrigation Depth

AW : air tersedia, ditentukan oleh

selisih antara Kadar Air

Kapasitas Lapang dan Titik

Layu pe rmanen se r ta

kerapatan jenis tanah (mm)

Z : kedalaman perakaran (m)

p : fraksi deplesi air tanah

Interval irigasi dalam satuan hari

dan Dosis Irigasi harian dalam satuan mm

dihitung menggunakan persamaan :

Dimana: IF : Interval irigasi

Irr : dosis irigasi harian

Hasil analisis kebutuhan air

tanaman kakaoyang direpresentasikan

oleh dosis irigasi harian, akan

diaplikasikan pada sistem irigasi tanaman

Kakao dalam satuan liter/hari/populasi.

Desain Sistem Irigasi

Desain sistem irigasi disusun

dengan mempertimbangkan karakteristik

debit minimum sumber air, topografi lahan,

kondisi iklim serta kebutuhan kebutuhan

air tanaman.

Teknik irigasi yang dipilih adalah

irigasi curah menggunakan spray jet.

Desain lengkap plot percobaan disajikan

pada Gambar 4.

Page 50: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

50

Gambar 4. Desain plot percobaan irigasi curah di kebun kakao

Page 51: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

51

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan

4 perlakuan pemberian irigasi yaitu:

K = kontrol, tanpa pemberian irigasi

1 = 50% dari kebutuhan air tanaman

2 = 75% dari kebutuhan air tanaman

3 = 100% dari kebutuhan air tanaman

Setiap petak perlakukan terdiri dari 5 pohon kakao dewasa dengan jarak tanam

12 x 12 m. Setiap perlakuan dilakukan dengan 3 kali ulangan. sehingga terdapat 4 x 5 x 3 =

60 tanaman. Desain petak percobaan disajikan pada Gambar 5. Desain Tata letak

percobaan untuk 4 perlakuan 3 ulangan, jumlah tanaman 5 ph/ perlakuan.

Model linear untuk penelitian ini :

Dimana :

Yjl = Nilai pengamatan pada kelompok ke-l yang memperoleh taraf ke-j

ke-j faktor debit air.

u = Nilai tengah populasi

Kl = Pengaruh aditif dari kelompok ke-l

Aj = Pengaruh aditif dari taraf ke-j faktor debit air

τijl = Pengaruh galat yang timbul pada kelompok ke-l yang memperoleh

taraf ke-j faktor Debit air

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap respon yang diamati, maka

dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan Analisis Sidik Ragam. Kemudian

terhadap perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan lanjutan dengan Uji Duncan Multiple

Range Test (DMRT) dengan taraf uji 5 %.

Hipotesis penelitian ini adalah bahwa pemberian air saat musim kemarau

dengan menggunakan irigasi curah pada kebun kakao akan berpengaruh pada

produktivitas tanaman.

Pemberian irigasi dilakukan pada saat tanaman kakao mulai mekar buah hingga

3 minggu sebelum tanaman buah dipetik, dengan dosis dan interval sesuai hasil analisis

kebutuhan tanaman kakao serta pertimbangan kondisi iklim.

Page 52: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

52

Gambar 5. Desain tata letak blok percobaan

Page 53: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

53

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ANALISIS KEY AREA IKLIM DAN NERACA AIR MENDUKUNG UPSUS PAJALE

Woro Estiningtyas

RINGKASAN

Upaya adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dilakukan dengan mengidentifikasi

keragaman dan kejadian iklim ekstrim yang menyebabkan adanya bencana terkait iklim

(banjir, kekeringan) di beberapa wilayah di Indonesia. Keragaman, kejadian iklim ekstrim,

dan bencana terkait iklim tersebut, akan berdampak terhadap menurunnya luas tanam dan

produksi padi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara indikator global

-curah hujan dan produksi padi. Oleh karena itu wilayah kunci (Key Area) menjadi penting

sebagai indikator untuk mengetahui pengaruh perubahan iklim dan kejadian iklim ekstrim

terhadap curah hujan, bencana terkait iklim dan produksi padi baik saat ini maupun yang

akan datang, terutama di sentra produksi padi. Penelitian dan kajian mendalam perlu

dilakukan pada wilayah kunci (Key Area) keragaman iklim dengan mengembangkan

prediksi iklim, bencana terkait iklim dan produksi padi yang semuanya dikemas dalam suatu

sistem informasi terpadu untuk prediksi, bencana dan produksi berbasis key area. Perilaku

iklim sekarang ini semakin sulit untuk diprediksi sebagai akibat dampak perubahan iklim.

Untuk mensiasati kondisi tersebut, diperlukan pedekatan baru dalam upaya mempelajari

perilaku iklim melalui aplikasi analisis numerik. Analisis numerik adalah teknik yang diguna-

kan untuk memformulasikan masalah matematis agar dapat diselesaikan dengan operasi

perhitungan. Penggunaan metode numerik dapat mengatasi berbagai kelemahan-

kelemahan metode yang ada sebelumnya. Persamaan matematika yang sulit diselesaikan

dengan model analitik, memungkinkan dapat diselesaikan melalui pendekatan numerik. Di

bidang pertanian air merupakan faktor utama penentu kelangsungan produksi pertanian

namun pengelolaannya untuk kelangsungan sumber daya air tersebut masih menghadapi

banyak kendala baik pada skala daerah irigasi maupun Daerah Aliran Sungai (DAS). Ken-

dala tersebut dapat dapat diatasi dengan menyediakan data dan informasi neraca air, sum-

Page 54: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

54

berdaya iklim dan air yang akurat, terekam

dalam format sistem informasi yang

handal. Permasalahan yang dihadapi saat

ini terkait data sumber daya air adalah

bahwa keberadaan data tersebut

terfragmentasi di berbagai institusi

dengan bentuk, format, jenis, waktu

penyajian dan metode yang berbeda.

Untuk mengatasi kendala tersebut

diperlukan kuantifikasi dan integrasi data

semberdaya iklim dan air sehingga dapat

memberikan informasi secara menyeluruh

baik spasial, tabular dan temporal tentang

kondisi sumberdaya air di suatu wilayah.

Data dan informasi sumberdaya air yang

terintegrasi dapat digunakan sebagai

dasar penyusunan model optimalisasi

sumberdaya air untuk menjawab

permasalahan kelangkaan sumberdaya

air, peningkatan produksi pertanian

terutama dalam upaya adaptasi terhadap

perubahan iklim. Penelitian ini terdiri dari 4

kegiatan, yaitu: 1). Analisis Key Area

Keragaman Iklim Indonesia Mendukung

Adaptasi Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim,

2). Analisis dan Pengembangan Informasi

Dampak Bencana Iklim pada Pertanian

Pangan, 3). Pengembangan Sistim

Informasi Sumberdaya Air Mendukung

Pema n faa ta n Sum ber d aya A i r

Berkelanjutan dan 4). Penelitian dan

Pengembangan Pengelolaan Air Kawasan

Jagung. Tujuan penelitian adalah : 1).

Menyusun model Key Area keragaman

iklim Indonesia mendukung UPSUS

Pajale, 2). Menyusun model prediksi

banjir, kekeringan, OPT dan dampaknya

pada tanaman padi, 3).Menyusun Atlas

Potensi Sumberdaya Air Pulau Sumatera

dan Kalimantan Skala 1:250.000 dan

neraca air berbasis Key Area mendukung

UPSUS Pajale, 4). Menyusun Sistem

Informasi Sumberdaya Air Pertanian Jawa,

Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatera

dan Kalimantan, 5). Menyusun desain

pengelolaan air kawasan.

PENDAHULUAN

Perubahan iklim membawa dampak

hampir di semua aspek kehidupan dan

aktivitas ekonomi. Dampak yang dirasakan

ada yang bersifat langsung seperti pada

sektor pertanian maupun tidak langsung.

Dampak negatif perubahan iklim yang

dialami negara berkembang diperkirakan

lebih besar dibandingkan negara maju

(IPCC 2001). Sektor pertanian merupakan

salah satu sektor yang rawan terhadap

dampak negatif dari perubahan perilaku

Page 55: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

55

iklim (Yohe and Tol 2002, Stern et al.

2006).

Usaha pertanian memiliki

karakteristik usaha berisiko tinggi terhadap

perubahan iklim. Di sisi lain, sektor

pertanian merupakan sektor andalan bagi

perekonomian Indonesia yang memiliki

peran penting dan strategis. Menurut

Sanim (2009) sektor pertanian

menyumbang 14.02% terhadap Produk

Domestik Bruto (PDB) (posisi semester II

2009) dan merupakan sumber PDB

terbesar ketiga setelah sektor industri

pengolahan dan konstruksi. Selain itu

berdasarkan data BPS 2006-2007 tingkat

penyerapan tenaga kerja di sektor

pertanian cukup tinggi, rata-rata melebihi

40% terhadap total tenaga kerja.

Penduduk Indonesia yang terus

meningkat membawa konsekuensi berupa

pemenuhan kebutuhan pangan yang

hampir 90% nya adalah beras. Sebagai

upaya memenuhi kebutuhan pangan yang

terus meningkat, pemerintah telah

menetapkan pencapaian swasembada

pangan berkelanjutan yang harus dicapai

dalam waktu 3 tahun. Oleh karena itu

diperlukan upaya khusus (UPSUS) untuk

peningkatan produksi yang luar biasa

khususnya padi, jagung dan kedelai

(PAJALE). Pemerintah memberikan

sejumlah target penambahan produksi

Pajale bagi setiap daerah. Mengingat

program UPSUS Pajale ini sangat erat

dengan aktifitas di sektor pertanian, maka

perlu didukung dengan penelitian terutama

yang terkait dengan pengelolaan

sumberdaya iklim dan air seperti

Penelitian dan Pengembangan Analisis

Key Area Iklim dan Neraca Air.

Analisis Key Area dilakukan

didasari oleh adanya keberagaman,

dinamika dan variabilitas iklim di

Indonesia. Indonesia merupakan wilayah

dengan posisi geografis yang sangat

strategis. Di sisi lain, banyaknya faktor

penentu iklim di wilayah Indonesia

menjadikan kondisi iklim di Indonesia

sangat dinamis dan kompleks. Siklus

Hadley, Walker, Monsun, DMI, ITCZ serta

sebaran luas daratan dan lautan sangat

mempengaruhi dinamika iklim di

Indonesia. Oleh Diperlukan penelitian

untuk mengetahui wilayah mana yang bisa

dijadikan kunci (Key Area) atau indikator

terhadap perubahan iklim. Key area

adalah wilayah yang bisa dijadikan

indikator adanya perubahan iklim di

Indonesia dengan indikator utama curah

hujan dan parameter iklim lainnya. Key

Page 56: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

56

area ini penting karena respon wilayah

terhadap perubahan iklim cukup beragam.

Ada daerah-daerah yang terganggu pola

iklimnya, namun ada pula yang tidak

terganggu pola iklimnya. Penetapan

wilayah kunci (Key Area) memberi arah

dalam penentuan wilayah prioritas

penanganan dampak perubahan iklim

berdasarkan indikator global, regional dan

lokal.

Selain faktor iklim, di bidang

pertanian air merupakan faktor utama

penentu kelangsungan produksi pertanian,

n a m u n p e n g e l o l a a n n y a u n t u k

kelangsungan sumber daya air tersebut

masih menghadapi banyak kendala baik

pada skala daerah irigasi maupun daerah

aliran sungai (DAS) dan seringkali

memunculkan masalah baru yaitu

kelangkaan air, kekeringan dan banjir, dan

banyak permasalahan air lain yang terkait.

Kondisi ini diperparah dengan maraknya

kompetisi penggunaan air antara sektor

pertanian dengan pengguna air lainya baik

domestik, municipal dan industri.

Untuk itu data dan informasi

sumberdaya air yang akurat, terekam

dalam format sistem informasi berbasis

Daerah Aliran Sungai mutlak diperlukan.

Permasalahan yang dihadapi saat ini baik

di pulau Jawa maupun di luar Jawa adalah

keberadaan data tersebut terfragmentasi

di berbagai institusi dengan bentuk,

format, jenis, waktu penyajian dan metode

yang berbeda. Akibatnya adalah: 1) tidak

ada jaminan kualitas/kuantitas data secara

spasial dan temporal, 2) sangat sulit

mencari dan menyiapkan data dalam

waktu yang singkat, 3) tidak bisa diakses

dengan mudah, 4) tidak komprenhensif, 5)

Kendala dalam updating, dan (6) kurang

optimal dalam penggunaannya. Untuk

mengatasi kendala tersebut diperlukan

kuantifikasi dan integrasi data sumberdaya

air sehingga dapat memberikan informasi

secara menyeluruh baik spasial, tabular,

maupun temporal tentang kondisi

sumberdaya air di suatu wilayah.

Data dan informasi sumberdaya

air yang terintegrasi dapat digunakan

sebagai dasar penyusunan model

optimalisasi sumberdaya air untuk

menjawab permasalahan kelangkaan air

dan peningkatan produksi pertanian

terutama dalam upaya adaptasi terhadap

perubahan iklim. Model tersebut dapat

digunakan sebagai informasi awal dalam

menentukan teknologi pengelolaan air

yang tepat dan untuk menjamin

keberlanjutan ketersediaan sumberdaya

Page 57: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

57

air suatu DAS. Selanjutnya untuk

menghasilkan model yang tepat dan

akurat diperlukan proses validasi pada

skala yang aplikatif. Lebih lanjut model

yang tervalidasi tersebut perlu

diaplikasikan pada skala petani untuk

menjawab permasalahan aktual di

lapangan, terkait dengan upaya

penyediaan air untuk keberlanjutan

produksi pertanian menghadapi

perubahan iklim global.

Untuk menyusun atlas potensi

sumberdaya air dan sistem informasi

sumberdaya air pertanian Indonesia, maka

pada tahun 2016 diperlukan penelitian

lanjutan Sistem Informasi Sumberdaya Air

Mendukung Pemanfaatan Sumberdaya Air

Berkelanjutan meliputi : Penyusunan

ATLAS Potensi Sumberdaya Air Pulau

Sumatera, dan Penyusunan Sistem

Informasi Sumber daya Air Pertanian

Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi,

Sumatera.

D i n a m i k a p e m e n u h a n

kebutuhan pangan perlu didukung dengan

pengelolaan sumberdaya air yang baik.

Data lapangan menunjukkan sekitar 25%

jaringan irigasi rusak, hampir semua

bendung tidak optimal menyediakan suplai

air karena sedimentasi, dan lain-lain.

Pengelolaan air pada level kawasan juga

menjadi kunci penting keberlanjutan

sumberdaya air untuk mendukung

pertanian. Kawasan padi, jagung, kedelai

dan ubi kayu (PJKU) merupakan salah

satu prioritas yang perlu dikaji dan diteliti

terkait dengan pengelolaan air dan

irigasinya.

Selain itu, banjir, kekeringan dan

OPT akibat dampak perubahan iklim yang

masih menjadi fenomena rutin hampir di

setiap musim perlu dikaji dan diteliti

bagaimana kemungkinan kejadiannya ke

depan dan sejauh mana dampaknya

terhadap tanaman khususnya padi. Oleh

karena itu perlu dilakukan juga penelitian

dan pengembangan tentang sistim

informasi prediksi bencana (banjir,

kekeringan dan OPT) serta dampaknya

terhadap tanaman padi.

R P T P P e n e l i t i a n d a n

Pengembangan Analisis Key Area Iklim

dan Neraca Air Mendukung UPSUS

PAJALE terdiri dari 4 kegiatan utama,

yaitu : 1) Penelitian Key Area Keragaman

Iklim Indonesia mendukung UPSUS

Pajale, 2) Penyusunan sistem informasi

sumber daya air untuk pemanfaatan

sumberdaya air berkelanjutan, 3)

Pengelolaan Air Kawasan dan neraca air

Page 58: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

58

untuk mendukung UPSUS Pajale, serta 4)

Pengembangan Sistim Informasi Prediksi

Bencana di Sektor Pertanian. Rangkaian

kegiatan penelitian ini diharapkan dapat

menghasilkan suatu teknologi dan sistim

informasi yang terkait dengan pengelolaan

sumberdaya iklim dan air mendukung

UPSUS Pajale.

Keragaman Iklim Indonesia

Keragaman Iklim di Indonesia berikut

disitir dari A. Faqih, 2013. Keragaman

atau anomali iklim di Indonesia

dipengaruhi oleh berbagai faktor

pengendali keragaman iklim dengan skala

waktu berbeda yang bersifat non-musiman

mulai dari skala intra musiman hingga

antar-dasawarsa. Dalam skala intra

musiman, terdapat beberapa fenomena

atau kejadian iklim dimana salah satu

kejadian yang cukup dominan dan

mempengaruhi kejadian hujan di

Indonesia yaitu Madden-Julian Oscillation

(MJO, Madden and Julian, 1971; Madden

and Julian, 1972; Madden and Julian,

1994). Pada skala waktu antar tahun

terdapat dua fenomena iklim yang

berkaitan erat tidak hanya terhadap

keragaman curah hujan, tetapi juga

berbagai kejadian bencana iklim di

Indonesia, khususnya kejadian banjir dan

kekeringan. Kedua fenomena iklim

tersebut yaitu El Nino-Southern Oscillation

(ENSO; Philander, 1983; Philander, 1990)

di Samudera Pasifik dan Indian Ocean

Dipole (IOD; Saji et al., 1999; Webster et

al., 1999) di Samudera Hindia. Selain

skala intra musiman dan antar tahun,

kejadian iklim lainnya yang berosilasi

dalam skala waktu dengan frekuensi lebih

rendah dalam rentang dasawarsa hingga

antar dasawarsa yaitu kejadian Pacific

Interdecadal Oscillation (PDO; Mantua and

Hare, 2002; Mantua et al., 1997) dan

Interdecadal Pacific Oscillation (IPO;

Folland et al., 1999; Power et al., 1999).

Kaitan antara berbagai fenomena iklim

diatas dengan keragaman iklim di

Indonesia dijelaskan sebagai berikut

berikut:

Pengaruh Madden-Julian Oscillation

(MJO)

Fenomena MJO merupakan kejadian iklim

intra-musiman dengan siklus berkisar

antara 30-60 harian (MJO; Madden and

Julian, 1971; Madden and Julian, 1994).

Fenomena tersebut terbukti cukup

signifikan dalam mempengaruhi kondisi

keragaman cuaca dan iklim di Indonesia

Page 59: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

59

(contoh: Hidayat and Kizua, 2010).

Pengaruhnya terhadap keragaman iklim

dapat dengan mudah diidentifikasi melalui

berbagai data series iklim harian seperti

data curah hujan dan angin di sebagian

besar wilayah di Indonesia (contoh:

Hidayat and Kizua, 2010; Madani et al.,

2012). Fenomena MJO bersifat skala luas

tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di

berbagai wilayah lain di dunia. Pengaruh

MJO seringkali juga dikaitkan dengan

kejadian curah hujan ekstrim (contoh:

Jones et al., 2004).

Secara umum, aktivitas MJO merupakan

representasi pergerakan gelombang timur-

barat yang dapat diamati melalui

pertumbuhan pergerakan awan arah

baratan. Pergerakan MJO umumnya

dimulai dari kemunculannya di sekitar

wilayah Afrika dan kemudian melintasi

Samudera Hindia, benua maritim

Indonesia, dan sebagian Samudera

Pasifik. Representasi dari pergerakan

MJO dapat diidentifikasi dari sebuah

indeks MJO real time (Real-time

Multivariate MJO index; RMM index) yang

dikembangkan oleh Wheeler and Hendon

(2004). RMM terdiri dari dua jenis index

(RMM1 dan RMM2) yang dikembangkan

dengan menggunakan hasil transformasi

data multivariate yang terdiri dari data

outgoing longwave radiation (OLR), dan

data angin zonal pada level ketinggian 200

mb (u200) dan 850 mb (u850). Kombinasi

RMM1 dan RMM2 dalam suatu diagram

dapat digunakan untuk menentukan lokasi

fase dan intensitas kejadian MJO. Fase

MJO dibagi menjadi 8 fase sebagaimana

dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 60: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

60

Gambar 1. Contoh kejadian MJO pada pertengahan Agustus hingga akhir September terhadap kondisi curah hujan harian di Sentarum, Kalimantan Barat. MJO kuat pada fase 1 dan 2 dapat berpengaruh terhadap peningkatan deret hari basah dan curah hujan intensitas tinggi di Sentarum. Ketika MJO melemah pada fase 2 terjadi penurunan curah hujan harian. Curah hujan tinggi kembali muncul di Sentarum ketika MJO pada fase 4, 5 dan 6 kembali menguat (Sumber: Boer et al., 2013)

Page 61: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

61

Dalam kaitannya dengan

identifikasi pengaruh MJO di Indonesia,

sebagai contoh, Boer et al. (2013)

menunjukkan bagaimana kejadian MJO

dapat mempengaruhi secara signifikan

curah hujan dan kenaikan tinggi muka air

di Danau Sentarum, Kalimantan Barat

(Gambar 1). Kejadian MJO pada fase 1

hingga 5 dapat mempengaruhi

peningkatan deret hari hujan (wet spell) di

lokasi. Pada rentang akhir Agustus hingga

pertengahan September 2013 terjadi deret

hari hujan selama 23 hari yang

menyebabkan peningkatan tinggi muka air

danau (pasang). Saat terjadi MJO yang

melemah di fase 2 hingga fase 4, hujan

tetap turun setiap harinya tetapi dengan

intensitas harian yang rendah terutama

pada tanggal 8 hingga 13 September

2013. Curah hujan intensitas tinggi

kembali terjadi ketika sinyal MJO kembali

menguat di akhir fase 4 pada tanggal 14

September 2013. Pada akhir September

hingga Oktober sinyal MJO berada di fase

6, 7 dan 8 dengan intensitas yang semakin

hilang. Pada saat itu hujan tetap turun di

Sentarum, tetapi dengan deret hari hujan

relatif pendek dan jumlah deret hari kering

(dry spell) yang semakin meningkat dan

lama. Kondisi ini mempengaruhi awal

masuknya musim hujan yang biasa terjadi

di Bulan Oktober dan mengakibatkan turun

(surut) nya permukaan air danau.

Surutnya permukaan air danau dan

kondisi yang kering dapat menimbulkan

dampak bagi aktivitas ekonomi

masyarakat di kawasan danau, mulai dari

semakin sulitnya jalur transportasi air,

meningkatnya potensi kebakaran hutan

dan gagal/berkurangnya usaha produksi

pertanian yang dilakukan masyarakat,

serta dampak lainnya berkaitan dengan

masalah kesehatan (Boer et al., 2013).

Pengaruh El Nino-Southern Oscillation

(ENSO)

Pada skala waktu antar tahun, fenomena

ENSO dapat mempengaruhi keragaman

atau anomali iklim di Indonesia secara

signifikan, khususnya terhadap keragaman

curah hujan di Indonesia (Aldrian et al.,

2003; Boer and Faqih, 2004; Faqih, 2004;

Faqih, 2010; Kirono et al., 1999; Saji et al.,

1999). Bentuk dari kejadian ENSO berupa

El Nino atau La Nina seringkali berkaitan

dengan terjadinya peningkatan frekuensi

dan intensitas kejadian cuaca/iklim

ekstrim, seperti hujan lebat, banjir,

kekeringan, kebakaran hutan, gelombang

badai dan tinggi pasang surut. Umumnya

Page 62: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

62

pada saat kejadian episode ENSO hangat

atau biasa dikenal dengan El Niño, curah

hujan di Indonesia akan turun dibawah

normal, sementara saat episode ENSO

dingin atau dikenal dengan istilah La Niña,

curah hujan di Indonesia akan berada di

atas normal.

ENSO memiliki periode ulang

sekitar 2-7 tahun sekali dengan rata-rata

kemunculan sekitar 4,5 tahunan. Durasi

kejadian ENSO bervariasi mulai dari 5

hingga 18 bulan atau hampir 2 tahun.

Berdasarkan data historis, telah terjadi

peningkatan intensitas kejadian El Nino

selama beberapa dekade terakhir dan

peningkatan tersebut konsisten dengan

terjadinya peningkatan suhu udara rata-

rata global (WMO, 2013). Dengan kata

lain, terdapat kemungkinan bahwa

perubahan iklim ikut memberikan dampak

terhadap perubahan kebiasaan dan

perilaku ENSO yang selanjutnya

berdampak pada perubahan kejadian iklim

ekstrim terutama yang berkaitan dengan

ENSO. Rekam data historis menunjukkan

bahwa kejadian El Nino ekstrim terjadi

pada periode akhir abad 20, yaitu pada

tahun 1982/83 dan 1997/98.

Gambar 2a menunjukkan

keterkaitan yang signifikan antara anomali

suhu muka laut (ASPL) di wilayah Nino-3.4

terhadap keragaman curah hujan antar-

tahun di sebagian besar wilayah Indonesia

berdasarkan periode data 1901-1998.

Peningkatan (penurunan) ASPL sebesar 1

°C di wilayah tersebut yang terkait dengan

fenomena El Nino (La Nina) dapat

menyebabkan penurunan (peningkatan)

curah hujan lebih dari 20 mm/bulan di luar

pengaruh Monsun dan faktor pengendali

iklim lainnya (Gambar 2b). Wilayah yang

paling banyak terpengaruh sebagian besar

berada wilayah Indonesia bagian tengah,

timur dan sebagain wilayah barat.

Selama lebih dari 100 tahun

terakhir, anomali curah hujan di Indonesia

sebagai akibat dari keragaman dan

perubahan iklim telah mengalami pola

perubahan. Gambar 3 menunjukkan

variasi temporal dan rataan zonal wilayah

Indonesia (diagram time-latitude) untuk

anomali curah hujan tahunan yang

menunjukkan kondisi penyimpangan curah

hujan yang semakin besar dalam

beberapa dekade terakhir. Hal ini

berkaitan erat dengan meningkatnya

frekuensi kejadian ENSO terhadap

peningkatan kejadian iklim ekstrim seperti

hujan ekstrim, banjir, dan kekeringan

selama periode tersebut. Selain itu faktor

Page 63: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

63

pengendali iklim lainnya seperti Indian

Ocean Dipole (IOD) dan Madden-Julian

Oscillation juga berpengaruh terhadap

meningkatnya kejadian iklim ekstrim

tersebut. Sebagai contoh, tercatat bahwa

kejadian IOD positif yang berkaitan

dengan kekeringan di Indonesia terjadi

berbarengan dengan El Nino pada tahun

1997/98 sehingga memberikan dampak

kekeringan yang cukup luar biasa di

Indonesia.

Gambar 2. Hubungan ENSO dengan keragaman curah hujan di Indonesia berdasarkan a) koefisien korelasi spasial, dan b) koefisien regresi linear antara data anomaly suhu permukaan laut ENSO impacts on rainfall variability in Indonesia represented by significant a) correlations coefficients, and b) regression coefficients between rainfall and sea surface temperature anomaly in Nino-3.4 region

Gambar 3. Anomali curah hujan tahunan di Indonesia (6°LU - 11°08'LS dan 95°'BT - 141°45'BT) disajikan dalam grafik time series (atas) dan grafik hubungan lintang-waktu dari rataan zonal wilayah Indonesia (95°'BT - 141°45'BT; bawah). Data curah hujan diambil dari data CRU-TS3.1 (CRU, 2008; Mitchell et al., 2004; Mitchell and Jones, 2005). Anomali dihitung dengan menggunakan rataan curah hujan tahunan periode 1970-2009

Page 64: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

64

Terkait dengan produksi padi,

Naylor telah memetakan tingkat

signifikansi pengaruh ENSO terhadap

produksi padi di seluruh Indonesia.

Signifikansi diperoleh berdasarkan nilai uji

t. Propinsi dengan signifikansi tinggi antara

lain Sumatera Barat, Pulau Jawa, Bali,

Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur,

Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan

Sulawesi Utara (Gambar 4).

Pengaruh Indian Ocean Dipole (IOD)

Fenomena lainnya yang mempengaruhi

keragaman iklim di Indonesia yaitu Indian

Ocean Dipole (IOD). Fenomena tersebut

terjadi di Samudera Hindia dan dapat

menyebabkan penyimpangan iklim di

Indonesia, khususnya di wilayah bagian

barat. Kejadian IOD dapat diidentifikasi

dari data indeks yang dikenal dengan

Dipole Mode Index (Saji et al., 1999). DMI

dapat dihitung dari selisih data unsur iklim

di atmosfer atau lautan seperti data

tekanan, suhu permukaan laut, OLR, dan

unsur lainnya, pada dua lokasi yaitu di

bagian barat dan timur/tenggara

Samudera Hindia. Identifikasi IOD melalui

struktur keragaman suhu permukaan laut

dan angin permukaan berdasarkan data

observasi pernah dilakukan oleh Saji and

Yamagata (2003).

Gambar 4. Pengaruh ENSO pada setiap Provinsi di Indonesia (Sumber : Naylor, CESP)

Page 65: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

65

Gambar 5 menunjukkan ilustrasi

kejadian IOD, dimana pada saat terjadi

DMI positif, terjadi kekeringan di Indonesia

karena awan konvektif lebih banyak terjadi

di wilayah Afrika Timur. Sebaliknya, pada

saat DMI negatif, terjadi peningkatan

curah hujan di Indonesia dan pengurangan

curah hujan di kawasan Samudera Hindia

bagian barat dan Afrika Timur. Kejadian

IOD dapat terjadi berbarengan dengan

ENSO. Sebagai contoh, pada tahun

1997/89, fenomena IOD positif terjadi

berbarengan dengan El Nino sehingga

memperparah kekeringan yang terjadi di

Indonesia.

Gambar 5. Ilustrasi kejadian IOD pada saat IOD positif (kiri) dan IOD negatif (kanan). Sumber gambar: http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/iod_home.html.en

Pengaruh Pacific Decadal Oscillation (PDO)/Interdecadal Pacific Oscillation (IPO)

Disamping aspek jangka panjang

pengaruh ENSO dalam kaitannya dengan

perubahan iklim, kaitan ENSO dengan

keragaman iklim dekadal hingga

interdekadal juga perlu diperhatikan. Hal

ini berkaitan dengan adanya modulasi

ENSO dalam kejadian iklim berfrekuensi

rendah tersebut (Power et al., 1999; White

and Cayan, 2000). Beberapa studi telah

menunjukkan bahwa perubahan fase dari

faktor pengendali iklim seperti Pacific

Interdecadal Oscillation (PDO, Mantua and

Hare, 2002; Mantua et al., 1997) dan

Interdecadal Pacific Oscillation (IPO,

Folland et al., 1999; Power et al., 1999)

berkaitan erat dengan perubahan

perbandingan frekuensi kejadian El Nino

dan La Nina selama fase tertentu

Page 66: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

66

berlangsung. Selain itu, perubahan fase

kejadian tersebut juga berkaitan erat

dengan terjadinya periode pergeseran

iklim (climate shift), sebagai contoh pada

per iode 1976/77. Sebagaimana

ditunjukkan oleh Gambar 6, Chiew and

Leahy (2003) mengungkapkan bahwa

selama terjadi fase negative dari IPO,

sebagai contoh selama periode 1948-76,

jumla kejadian La Nina (SOI positif) lebih

banyak dibandingkan jumlah kejadian El

Nino (SOI negatif). Sebaliknya, pada saat

terjadi fase positif pada tahun 1977-1998,

jumlah kejadian El Nino menjadi lebih

banyak dibandingkan La Nina.

Berdasarkan fakta ini, kemampuan

memprediksi iklim dalam skala dekadal

memegang peran kunci dalam prediksi

iklim untuk beberapa dekade selanjutnya,

terutama berkaitan dengan prediksi

perilaku ENSO yang memiliki kaitan erat

terhadap kondisi iklim ekstrim di

Indonesia.

Gambar 6. Annual IPO (thick line) and SOI (dash line) (Sumber: Chiew and Leahy, 2003)

Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak perubahan iklim yang paling

dirasakan adalah (i) perubahan suhu

udara; (ii) perubahan curah hujan; (iii)

perubahan tinggi muka air laut; dan (iv)

meningkatnya kejadian iklim ekstrim.

Berikut adalah penjelasan setiap dampak

perubahan iklim yang terjadi.

Page 67: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

67

Laju Peningkatan Suhu Udara

Laju peningkatan suhu udara

rata-rata di Indonesia telah meningkat

tidak lebih dari 1 °C selama 100 tahun

terakhir, sebagaimana telah dilaporkan

dalam dokumen Rencana Aksi Nasional

Adaptasi Perubahan Iklim (Bappenas,

2012). Dengan menggunakan data yang

lebih pendek, sangat memungkinkan untuk

mendapatkan nilai laju peningkatan suhu

rata-rata di Indonesi mencapai lebih dari 1

°C. Hal ini sebagaimana disajikan dalam

perhitungan tren yang disajikan pada

Gambar 7 (Bappenas, 2012). Tentunya hal

ini harus digunakan secara hati-hati

karena disamping tren jangka panjang

yang menunjukkan laju peningkatan suhu

sebagai respon dari pemanasan global

dan perubahan iklim, terdapat pula

variabilitas dekadal dan interdekadal yang

mempengaruhi variasi perubahan tren

dalam jangka waktu yang lebih pendek.

Tren akibat variabilitas dekadal dan

interdekadal hanya bersifat relatif

sementara dan kemungkinan memiliki laju

yang jauh lebih tinggi atau mungkin lebih

rendah dari tren jangka panjang akibat

pe rubahan i k l im . Has i l s tud i

mengemukakan bahwa peran keragaman

alami sistem iklim dalam skala waktu

tersebut berpengaruh terhadap

peredaman dampak perubahan iklim

akibat faktor antropogenik dalam beberapa

tahun/beberapa puluh tahun mendatang

(Wood, 2008).

Di dalam laporan SREX yang

dikeluarkan oleh IPCC beberapa waktu

yang lalu (IPCC, 2012), peningkatan suhu

rata-rata global dan perubahan iklim

berkaitan erat dengan kondisi ekstrim di

berbagai wilayah. Kondisi suhu ekstrim

memiliki dampak yang lebih langsung

terhadap sektor kehidupan dibandingkan

tren kenaikan dari suhu tersebut yang

bersifat lambat. Beberapa tipe kejadian

ektrim yang berkaitan dengan suhu dapat

berupa gelombang panas dan rentetan

kondisi (suhu) dingin yang memiliki

dampak terhadap kesehatan manusia,

kondisi lingkungan, gangguan pada

ekosistem dan konsumsi energi. Proyeksi

SREX menunjukkan bahwa terdapat

kecocokan antar model yang menunjukkan

peningkatan deret hari panas (warm

spells) untuk wilayah Indonesia (IPCC,

2012). Peningkatan tersebut dapat

berdampak langsung terhadap aktifitas

dan kesehatan manusia serta berpotensi

mengganggu pertumbuhan tanaman

pertanian dan sektor kehutanan.

Page 68: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

68

Gambar 7. Tren suhu rata-rata tahunan untuk wilayah daratan di Indonesia (6°LU - 11°08'LS dan 95°'BT - 141°45'BT) berdasarkan data dari CRU TS3.1. (Sumber: Bappenas, 2012)

Berdasarkan hasil kajian IPCC (2014),

kenaikan suhu global menyebabkan

meningkatnya risiko pada beberapa hal

yaitu : ancaman pada ekosistem, kejadian

cuaca ekstrim, sebaran dampak, dampak

global dan juga bencana luar biasa

ekstrim. Semua kejadian tersebut

menunjukkan kecenderungan meningkat,

terutama pada ekosistem yang meningkat

hingga sangat tinggi (Gambar 8).

Gambar 8. Tingkat risiko iklim akibat kenaikan suhu global (Sumber IPCC 2014 dalam Faqih 2015)

Page 69: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

69

Perubahan Curah Hujan

Analisis curah hujan tahunan

dari data historis menunjukkan tren

perubahan yang beragam secara spasial

dan temporal berdasarkan pembagian

data setiap 30-tahunan (Gambar 9). Hal ini

menunjukkan bahwa walaupun terdapat

kecenderungan bahwa curah hujan telah

mengalami perubahan, akan tetapi

perubahan tersebut sangat bervariasi.

Variasi tersebut kemungkinan besar

disebabkan oleh faktor keragaman iklim

baik dalam skala interannual maupun

dekadal hingga interdekadal. Berbagai

faktor pengendali iklim khususnya ENSO

diperkirakan memiliki peran penting dalam

mempengaruhi distribusi tren perubahan

tersebut.

Suatu wilayah dapat mengalami

tren penurunan pada suatu periode dan

kemungkinan akan mengalami tren

peningkatan pada periode lainnya.

Sebagai contoh wilayah bagian pantai

utara Jawa cenderung mengalami

penurunan curah hujan pada periode 1971

-2000 dibandingkan pada periode 1981-

2009. Hal serupa terjadi di wilayah lainnya

seperti di sebagian besar wilayah Pulau

Sumatera yang menunjukkan tren

penurunan curah hujan yang cukup tinggi

pada periode 1901-1930 hingga mencapai

lebih dari 30 mm/tahun, namun sebaliknya

mengalami tren peningkatan curah hujan

hingga lebih dari 50 mm/tahun di bagian

barat pulau tersebut pada periode 1921-

1950. Variasi tren secara spasial tersebut

dari satu periode ke periode lainnya

berpotensi terjadi pula di masa yang akan

datang, sehingga kajian proyeksi

perubahan curah hujan akan lebih sulit

dibandingkan dengan proyeksi suhu yang

cenderung relatif lebih seragam.

Page 70: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

70

Gambar 9. Tren perubahan curah hujan tahunan setiap periode 30-tahunan di Indonesia: a) 1901-1930, b) 1911-1940, c) 1921-1950, d) 1931-1960, e) 1941-1970, f) 1951-1980, g) 1961-1990, h) 1971-2000 dan i) 1981-2009 (Sumber data: CRU TS3.1; CRU, 2008; Mitchell and Jones, 2005)

Proyeksi kecenderungan curah hujan musiman di Indonesia dari 28 model CMIP5

berdasarkan skenario Representative Concentration Pathways 2.6 (RCP2.6) menunjukkan

kondisi yang konsisten dengan iklim historis yang mengindikasikan penurunan curah hujan

pada musim kemarau di Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia bagian Selatan Equator

(Jawa, sebagian besar wilayah Indonesia Bagian Timur), sebaliknya curah hujan pada

musim hujan cenderung akan meningkat, khususnya wilayah Indonesia bagian Utara

(Gambar 10).

Gambar 10. Proyeksi kecenderungan curah hujan musiman di Indonesia dari 28 model CMIP5 berdasarkan skenario Representative Concentration Pathways 2.6 (RCP2.6) (Sumber : Faqih 2015)

Page 71: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

71

Perubahan Tinggi Muka Air Laut

Peningkatan TML dapat disebabkan oleh

berbagai faktor dalam skala global,

reg iona l dan loka l , seh ingga

mempengaruhi keragaman secara spasial

antar wilayah. IPCC (2007) menyebutkan

bahwa terdapat tiga komponen utama

yang menentukan TML relatif, diantaranya:

1) Laju peningkatan TML rata-rata global,

2) Faktor meteo-oseanografi regional, dan

3) pergerakan tanah secara vertikal.

Penentuan ketiga faktor tersebut tidak

memasukkan adanya pengaruh kejadian

peningkatan TML berfrekuensi tinggi

seperti gelombang laut dan pasang.

Pengukuran TML pada dasarnya dapat

dilakukan dengan dua pendekatan yang

masing-masing memiliki perbedaan dalam

penentuan posisi referensi. Kedua cara

pengukurun tersebut, yaitu: melalui alat

pengukur tinggi pasang (tide gauge

measurement) dan satelit altimetri. Dalam

konteks cakupan spasial dan konsistensi

titik referensi, maka pengukuran melalui

satelit altimetry memiliki keunggulan. Hal

ini disebabkan karena hasil pengukuran

melalui satelit dapat mencakup wilayah

yang sangat luas. Selain itu, titik referensi

untuk pengukuran satelit altimetry dapat

berlaku global karena diambil dari pusat

massa bumi yang disebut dengan istilah

Ellipsoid. Titik referensi ini tidak terganggu

oleh pergerakan tanah yang bersifat lokal.

Berdasarkan data beberapa

satelit altimetri dengan periode rentang

waktu yang berbeda, laju perubahan tinggi

muka laut di wilayah Indonesia agak

berbeda antara satu satelit dengan satelit

lainnya (Gambar 11a-c). Namun demikian

secara umum terlihat adanya konsistensi

bahwa untuk wilayah Indonesia terdapat

kecenderungan peningkatan laju tinggi

muka laut khususnya di sekitar bagian

tengah dan timur Indonesia. Berdasarkan

kombinasi dari beberapa satelit

sebagaimana ditampilkan pada Gambar

8d (Satelit Multi-mission), laju peningkatan

TML di wilayah Indonesia berada pada

kisaran 0 hingga 9 mm/tahun. Hasil kajian

ICCSR (Bappenas, 2010a) menunjukkan

pembahasan yang lebih detil berkaitan

dengan kondisi kenaikan TML dan

proyeksinya untuk Indonesia. Kajian

tersebut menunjukkan bahwa selama

periode 2001-2008 telah terjadi rata-rata

peningkatan TML di Indonesia sebesar 6

cm dengan variasi antara 2-12 cm

dibandingkan periode sebelumnya selama

1993-2000 (Bappenas, 2010a).

Page 72: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

72

Gambar 11. Tren kenaikan TML (dalam mm/tahun) di perairan Indonesia berdasarkan pengukuran dari altimetry satelit, a) Satelit Envisat, b) Satelit Jason-1, c) Satelit Topex-Poseidon, dan d) Satelit Multi-Mission. Data tren dari masing-masing satelit memiliki rentang waktu yang berbeda (Envisat (Des 2003-Jun 2010), Jason-1 (Jan 2002-Jul 2010), Topex-Poseidon (Dec 1992-Oct 2005), dan Multi-mision (Okt 1992-Nov 2009)) (Sumber data: http://www.aviso.oceanobs.com)

Page 73: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

73

DISEMINASI KALENDER TANAM

Haryono dan Fadhlullah Ramadhani

Perubahan iklim dunia tidak terelakan tak terkecuali di negara Indonesia. Ketidakpastian

musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kehilangan hasil panen karena

banjir, kekeringan maupun serangan OPT. Untuk menghindari kerugian tersebut dibutuhkan

sebuah alur informasi yang mudah dan cepat diakses oleh petani, penyuluh dan bahkan

stakeholder dari Dinas yang terkait untuk mengambil keputusan. Adapun kalender tanam

online memberikan informasi tidak hanya potensi awal tanam yang terbaik, juga rekomen-

dasi pupuk, rekomendasi varietas berbasiskan tingkat kerawanan, ketersedian alsintan,

untuk seluruh kecamatan di Indonesia (6.982 kecamatan), gambar near real time CCTV

untuk 7 provinsi dan estimasi luas panen seluruh Indonesia, dengan standing crop yang

didapat melalui citra satelit, sebagai bahan kebijakan nasional tidak impor beras tahun

2015. Informasi lengkapnya dapat diakses melalui situs web; katam.litbang.pertanian.go.id,

SMS 082-123456-500 dan 082-123456-400, aplikasi android https://play.google.com/store/

apps/ details?id=com. litbang.katamterpadu.

Masalah yang dihadapi sebelum dilaksanakannya inovasi ini: 1). Perubahan iklim

menyebabkan perubahan pola curah hujan dan ketidak pastian waktu tanam yang menye-

babkan kerugian petani dan mengancam kedaulatan pangan; 2). Sebelum adanya katam

terpadu, petani mengalami kegalauan mengenai kapan harus memulai tanam, bagaimana

mengantisipasi bencana terkait iklim (banjir, kekeringan, dan organisme pengganggu tana-

man), varietas yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, dan berapa rekomendasi

pupuk yang cocok, serta berapa estimasi luas tanam dan kebutuhan pupuk, benih dan obat

obatan; 3). Selama ini petani dan penyuluh sulit untuk menterjemahkan informasi iklim yang

dipublikasikan oleh BMKG; 4). Alur informasi iklim menjadi informasi waktu tanam dan ben-

cana memerlukan waktu yang cukup lama dan memerlukan birokrasi yang panjang; 5).

Informasi fase pertumbuhan padi melalui cara konvensional membutuhkan waktu yang

lama, kurang akurat, dan tidak diketahui lokasinya; 6). Informasi lama berupa Atlas Kalen-

Page 74: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

74

der tanam, memerlukan biaya yang tinggi,

dan waktu yang tidak tepat untuk sampai

ke Pengguna, sehingga di butuhkan

Sistem Katam Online.

Pendekatan Strategis mengenai

pemecahan dan bagaimana inovasi ini

telah memecahkan masalah tersebut.

Kementerian Pertanian melalui Badan

Litbang Pertanian telah melaksanakan: 1).

Memanfaatkan informasi prediksi iklim

BMKG untuk analisis dan prediksi waktu

tanam padi, jagung dan kedelai; 2).

Memadukan data historis bencana dengan

informasi prediksi iklim BMKG untuk

penentuan wilayah rawan bencana; 3).

Melakukan pemilihan varietas berdasarkan

informasi wilayah rawan bencana dan

minat petani; 4). Melakukan analisis

kebutuhan dan rekomendasi pupuk di

lahan sawah; 5). Melakukan analisis

ketersediaan dan kebutuhan alsin; 6).

Melakukan pembuatan peta kalender

tanam; 7). Melakukan pemantauan dan

validasi menggunakan CCTV setiap hari;

8). Melakukan analisis fase pertumbuhan

tanaman menggunakan citra Moderate-

resolution Imaging Spectroradiometer

(MODIS) secara regular setiap 8 hari; 9).

Mendesiminasikan informasi kalender

tanam terpadu melalui Web, SMS,

Android, info BPP, Media Sosial, dan

kegiatan temu muka lainnya; 10).

Pembangunan dan pemanfaatan ruang

operasional katam terpadu untuk

operasionalisasi informasi katam terpadu.

Dalam hal apa inovasi ini kreatif

dan inovatif ; Menterjemahkan informasi

prediksi iklim BMKG, data statistik luas

baku sawah BPS, data bencana

Kementerian Pertanian, menjadi informasi

kalender tanam terpadu hingga level

kecamatan (6.982 Kecamatan di seluruh

Indonesia), merupakan satu satunya di

dunia; Merangkum semua informasi

kalender tanam terpadu dalam sistem

informasi berbasis web. Informasi terbaru

(realtime) dapat diakses dengan cepat dan

mudah, dari mana saja dan kapan saja,

dengan mudah menggunakan internet

secara interaktif, dalam bentuk penyajian

secara spasial, tabular dan grafik;

Teknologi keterpaduan data yang

disampaikan secara multi channel (web,

sms, android, bahan cetakan, media

sosial, dan temu muka) divalidasi dengan

monitoring waktu tanam melalui CCTV dan

analisis fase pertumbuhan tanaman

melalui citra satelit. Teknologi ini adalah

sebuah karya “Orsinil” milik anak bangsa

yang memberikan solusi menyeluruh untuk

Page 75: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

75

membantu petani dan penyuluh

merencanakan tanam, mengurangi

kehilangan hasil; Menentukan kebijakan

Secara Nasional luas tanam, waktu panen

dan estimasi ketersediaan Stok Beras,

kebutuhan Saprodi yang berdampak

penentuan tidak Impor beras pada tahun

2015; Data CCTV dapat diakses secara

realtime dan historis, sangat berguna

untuk data penelitian atau evaluasi katam

dari pihak luar; Fase pertumbuhan

tanaman di lapang dimonitor melalui

analisis citra satelit yang di perbaharui

secara periodik 3 kali dalam sebulan;

Diseminasi dan sosialisasi informasi

kalender tanam terpadu menggunakan tim

gugus tugas yang menyebar diseluruh

provinsi untuk memudahkan dan

meningkatkan sebaran sosialisasi hingga

ke level paling ujung (petani dan

penyuluh).

Se ja r ah pengembangan ;

Balitbangtan dari tahun 2005-2010 telah

mengembangkan katam semi dinamik

yang menghasilkan peta katam untuk

tahun basah, tahun kering, dan tahun

normal. (Atlas Katam 5 edisi, sudah

mendapat 20 Hak Cipta Atlas Katam).

Gambar 1. Produk Kalender Tanam tahun 2007-2010 dan Katam Terpadu 2011-2016

Page 76: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

76

Pada tahun 2011, mulai

mengembangkan kalender tanam terpadu

dengan tambahan data rekomendasi,

pada tahun ini baru situs katam terpadu

dikembangkan. (System Informasi Katam

Versi 1,0). Pada tahun 2012-2013,

dikembangkan menggunakan sms center

dan android. (Versi 1.2; Versi 1.3; Versi

1.4; Versi 1.5; Versi 1.6; Versi 1.7; Versi

1.8). Pada tahun 2014 dikembangkan

sistem CCTV dan standing crop; Pada

tahun 2015 mengembangkan sistem SMS

dengan cara baru (System Informasi

Katam Modern Versi 2.0; Versi 2.1; Versi

2.2 dan Versi 2.3. sedang dalam proses,

20 Hak Cipta Aplikasi Web Kalender

tanam Terpadu).

Sejarah diseminasi; Pembentukan

Tim Gugus Tugas seluruh BPTP di

Indonesia yang berkordinasi dengan cepat

m e l a l u i m a i l i n g l i s t

[email protected],

Whats App Group Katam Terpadu

Modern, dan komputas i awan

menggunakan Google Drive; Melalui 34

BPTP tiap provinsi inilah diseminasi

dilanjutkan ke tingkat provinsi dan tingkat

kabupaten; Diseminasi dilakukan juga

mengguna iklan di televisi dengan Lula

Kamal dan Jarwo Kuwat sebagai aktris

utamanya. Diseminasi dengan menerima

Kunjungan dari berbagai negara (Jerman,

Mexico, Thailand, Vietnam), mahasiswa

dan Pegawai Pemerintah dan Swasta.

Keluaran (output); Tingkat akses

situs web, sms center, dan android yang

mengalami peningkatan dari 2011 – 2015;

Dengan analisis Citra Modis atau Standing

Crop dari 3 bulan menjadi 8 hari sekali

bisa estimasi luas tanam tiap phase di

seluruh wilayah Indonesia, berdampak

pada estimasi luas panen setiap 8 hari

sekali dan penentu kebijakan bisa

memperhitungkan ketersediaan stok beras

secara nasional, hingga berani

mengatakan tidak impor beras pada tahun

2015.

Sistem yang diterapkan untuk

memantau kemajuan dan mengevaluasi

keg ia tan; Menggunakan CCTV;

Menggunakan citra satelit; Google

analytics, Google Play Dashboard, Report

dari aplikasi SMS center.

Kendala yang dihadapi; Tingkat

validasi yang perlu ditingkatkan; Tingkat

resistensi petani yang belum percaya

dengan katam terpadu.

Manfaat utama yang dihasilkan,

memberikan rekomendasi waktu tanam,

varietas dan pupuk berdasarkan prediksi

Page 77: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

77

iklim BMKG sehingga diharapkan dapat

menekan risiko kehilangan hasil akibat

pergeseran pola hujan, Menentukan

Kebijakan tidak impor beras tahun 2015,

berdasar estimasi Modis secara berkala

setiap 8 hari, untuk tiap fase pertumbuhan

Perbedaan sebelum dan sesudah

inovasi, Sebelumya: mendapat informasi

melalui Publikasi berupa Atlas Kalender

tanam, yang proses sampainya sering

tidak tepat waktu atau sudah, kadaluarsa.

Gambar 2. Inovasi dengan SMS

Diseminasi keberlanjutan, adalah

pengembangan sistem informasi harus

dibangun secara sederhana dan

dikembangkan secara bertahap dengan

mendengarkan masukan dari pengguna.

Keberlanjutan sistem informasi ditentukan

dengan pengembangan fitur yang tidak

hanya harus canggih tapi juga down to

earth untuk menjangkau pengguna lebih

banyak lagi. Ini dibuktikan bahwa katam

terpadu tidak hanya dikembangkan di

android tapi juga sms center. Waktu

diseminasi teknologi kepada pengguna

tidak cukup 1-2 tahun saja, harus tetap

didukung oleh pemerintah pusat untuk

mendapatkan hati para penggunanya,

Melalui 34 BPTP tiap provinsi inilah

diseminasi dilanjutkan ke tingkat provinsi

dan tingkat kabupaten, sampai

kecamatan. Pembentukan Tim Gugus

Tugas seluruh BPTP di Indonesia yang

berkordinasi dengan cepat melalui mailing

list [email protected],

Whats App Group Katam Terpadu

Modern, dan komputas i awan

menggunakan Google Drive, dilaksanakan

FGD 2 kali dalam setahun. Diseminasi

dengan menerima Kunjungan dari

berbagai negara (Jerman, Mexico,

Thailand, Vietnam), mahasiswa dan

Page 78: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

78

Pegawai Pemerintah dan Swasta, Kerjasama Penelitian dengan perguruan tinggi, dalam

Sistem Informasi Kalender tanam terpadu tahun 2016.

Gambar 3. Kunjungan Delegasi Land Development Department (LDD) Thailand, 26 Mei 2015 dan Kunjungan MAFC Tanzania ke Balitklimat, 24 Juni 2015, serta Rombongan Mexindo, 7 Nop 2014

Page 79: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

79

Gambar 4. Sosialisasi dan FGD Kalender Tanam Terpadu MK 2015, Banten, 24-26 Maret 2015

Page 80: Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 ...balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 4 Balai

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

80

UCAPAN TERIMA KASIH (apabila dianggap perlu), berisi penghargaan singkat kepada pihak-pihak yang telah berjasa selama penelitian (3-5 kalimat ringkas).

PUSTAKA disusun menurut abjad dan diberi nomor urut. Secara umum, setiap pustaka hendaknya terdiri atas nama penulis, tahun, judul, halaman, dan penerbit. Pustaka seyogyanya dipilih yang masih mempunyai kaitan dengan topik penelitian dan ditulis sebagai berikut: Untuk Artikel di dalam buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, halaman, nama penyunting, judul publikasi atau buku, nama dan tempat penerbit. Contoh:

Ginting, Z., K. Romimohtarto, S. Hadi , dan S. Saimima. 2004 Prediksi perkembangan iklim di Indonesia Tahun 2004, hal. 135-185. Dalam H. Djojodihardjo et al. (red.). Strategi Antisipasi Dampak Perubahan Iklim, Bogor, 21-23 Maret 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor.

Untuk Terbitan Berkala: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, nama terbitan (disingkat, apabila dianjurkan), volume dan nomor, dan nomor halaman. Contoh:

Yates, A. W., Jr., J. R. Boyle, and D. R. Duran. 2004. Improving water use efficiency in the rainfed farming systems. J. Agric. Science. 72(4): 519-522.

Untuk buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul buku, edisi dan tahun revisi, nama dan tempat penerbit, dan jumlah halaman. Contoh:

Su, J. 2004. Forecasting and time series analysis, vol I. Edwards, Ann Arbor, Michigan, 345pp.

PERSIAPAN TULISAN. Persiapan Tulisan. Naskah diketik dua spasi pada kertas ukuran A4 , satu muka, tipe huruf baku ukuran 12 cpi dan tidak lebih dari 15 halaman (termasuk tabel, gambar, dan pustaka). Badan naskah dicetak dengan ketentuan batas pinggir kertas 3cm atas, bawah, dan kanan, dan 4 cm dari kiri.

Tabel ‘masuk’ ke dalam teks, tidak dikumpulkan di bagian akhir makalah sebagaimana halnya lampiran. Judul tabel terletak di atas tabel yang bersangkutan dan hendaknya berupa satu kalimat yang singkat dan jelas (termasuk keterangan tempat dan waktu). Judul gambar terletak di bawah gambar yang bersangkutan Angka desimal ditandai dengan koma (bahasa Indonesia) atau titik (bahasa Inggeris). Besaran ditulis menurut Standar Internasional, bukan besaran lokal (e.g., kuintal, are) dan mengikuti kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (misalnya: g, l, kg, bukan gr. Ltr, atau Kg). Catatan kaki pada tabel ditandai dengan huruf atau angkadengan posisi agak naik (superscript). Gambar & Grafis hendaknya dibuat dengan piranti lunak komputer berikut ini: Microsoft Excel dan Corel Draw. Foto hendaknya kontras, tajam, dan jelas.

Penyerahan File Penulis yang makalahnya akan segera diterbitkan agar

menyerahkan file teks dan gambar (format seperti tertera sebelumnya) file

diserahkan ke bagian Jasa Penelitian Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi jl.

Tentara Pelajar No. 1 A Cimanggu Bogor 16111.