bab ii tinjauan pustaka - repository.setiabudi.ac.idrepository.setiabudi.ac.id/2065/6/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Toxocara cati
2.1.1. Klasifikasi
Kingdom : ANIMALIA
Filum : HELMINTHES
Subfilum : NEMATODA
Class : SECERNENTASIDA
Ordo : ASCARIDORIDA
Subordo : ASCARIDICAE
Family : ASCARIDIDAE
Genus : Toxocara
Spesies : Toxocara cati (Levine,1994).
2.1.2. Hospes dan Nama Penyakit
Toxocara cati ditemukan pada kucing. Ia termasuk nematoda usus
(Gandahusada, dkk. 2000). Kadang – kadang cacing ini ditemukan pada
manusia sebagai parasit yang berpindah - pindah (erratic parasite) dan
menyebabkan penyakit yang disebut toksokariasis (Yamaguchi, 1994).
2.1.3. Morfologi
(Anonim, 2014).
Gambar 1. Gambar telur cacing dan cacing dewasa Toxocara cati
Pada Toxocara cati dewasa bentuknya menyerupai Ascaris
lumbricoides tetapi perbedaannya terletak pada ukurannya yang lebih kecil
4
5
dari Ascaris lumbricoides dan bentuk kepala dari Toxocara cati seperti
panah dengan 2 buah cirvical lateral alae, jantan Toxocara cati berukuran
antara 4 - 6 cm dengan bentuk runcing dan ekor bengkok serta memiliki
tiga bibir dan mulut bulat. Sedangkan yang betina berukuran antara 4 – 12
cm dengan ekor lurus, susunan papila spesifik, terdapat tiga bibir dan mulut
bulat. Bentuk telur dari Toxocara cati menyerupai Ascaris lumbricoides
muda hanya lebih besar dari Ascaris lumbricoides yaitu berkisar antara 75
X 85 mikron, tidak berembrio dan lubang dangkal (Soejoto dan Soebari,
1996).
2.1.4. Siklus Hidup
(Anonim, 2014)
Gambar 2. Siklus hidup Toxocara cati
Eggs embrionate
Larvae undergo two molts to invective third-stage larvae within the egg
Humans can be infected by
ingesting embryonated eggs
Larvae migrante to internal organs (i.e. muscles, eye, central nervous system)
Non-embryonated eggs pass in faeces
Transmission to offspring : transmammary
Larvae migrate via
liver and lung to
intestine and
mature into adult
Embryonated
eggs ingested
by transport
host
Embryonated eggs survive for long periods in contaminated environments
Tissues of transport host or embryonated eggs ingestade by cat
Adult worms lay eggs in the small intestine
6
Siklus hidup dari Toxocara cati mirip seperti Ascaris lumbricoides
yaitu kista infektif termakan oleh kucing lalu kista tadi masuk kedalam
lambung kucing dan pecah menjadi larva. Larva ini akan bertambah besar
dan menjadi cacing dewasa, setelah itu cacing jantan dan betina
mengadakan kopulasi. Cacing gravid mulai bertelur di dalam intestinal.
Telur dewasa atau matang atau kista keluar bersama feses (Soejoto dan
Soebari, 1996).
2.1.5. Epidemiologi
Binatang peliharaan maupun liar atau lokal seperti kucing sering
dijumpai di sekitar rumah dan banyak anak – anak yang bermain
disekitaran rumah seperti di taman atau tempat bermain lainnya. Tidaklah
mengherankan apabila adanya anak kecil yang bermain di tanah yang
terkontaminasi dan binatang peliharaan yang mengeluarkan telur infektif
dapat menyebabkan timbulnya VLM. Telur akan menjadi infektif kira – kira
3 minggu dan akan tetap hidup di dalam tanah sampai berbulan – bulan.
Pemeriksaan tanah pada tempat bermain dan taman – taman di berbagai
daerah di dunia menunjukan bahwa telur Toxocara infektif merupakan
penyebab angka infeksi yang tinggi (Gracia dan Bruckner, 2002).
Cacing ini tersebar secara kosmopolit sehingga ditemukan juga di
Indonesia. Di Jakarta prevalensi pada kucing sekitar 26% (Gandahusada,
dkk. 2000).
2.1.6. Patologi dan Gejala Klinis
Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara
di alat – alat dalam (Gandahusada, dkk. 2000). Gejala klinis dari
toksokariasis ini antara lain :
7
a. Ketika manusia memakan telur Toxocara spp. yang infektif, larva
yang timbul di usus akan bermigrasi ke seluruh tubuh melalui
paru – paru. Larva yang hidup akan menetap di hati, otak dan otot
untuk waktu yang lama.
b. Larva bermigrasi ke hati dan susunan saraf pusat dan
menyebabkan hipereosinofilia. Pada saat yang bersamaan terjadi
infiltrasi paru – paru yang tidak berat, demam, batuk dan
serangan asma.
c. Lesi pada mata dapat menyebabkan kebutaan pada penderita
sering dilakukan eksisi dari bola mata setelah penderita di
diagnosa sebagai retinoblastoma (Yamaguchi, 1994).
2.1.7. Diagnosa
Diagnosa pasti dengan ditemukannya telur dalam feses hewan
(Soejoto dan Soebari, 1996).
2.1.8. Pencegahan
Pencegahan yang mungkin dapat dilakukan yaitu :
a. Memberantas cacing secara periodik pada kucing agar bebas
dari infeksi.
b. Menjaga kebersihan anak – anak sewaktu makan, terutama
mencegah kontaminasi dengan tanah yang mengandung
kotoran binatang peliharaan keluarga atau tetangga.
c. Perhatikan lokasi kucing sewaktu defekasi di jalan (Gracia dan
Bruckner, 2002).
8
2.1.9. Pengobatan
Tiabendazol efektif untuk beberapa kasus. Penghancuran larva
dengan foto koagulasi dianjurkan apabila terlihat pada mata (Gracia
dan Bruckner, 2002).
2.2. Ancylostoma braziliense
2.2.1. Klasifikasi
Kingdom : ANIMALIA
Filum : HELMINTHES
Subfilum : NEMATODA
Class : SCERNENTASIDA
Ordo : STRONGYLORIDA
Subordo : STRONGYLICAE
Family : ANCYLOSTOMATIDAE
Genus : Ancylostoma
Spesies : Ancylosoma braziliense (Levine, 1994).
2.2.2. Hospes dan Nama Penyakit
Kucing merupakan hospes definitif dari cacing ini. Cacing ini
menyebabkan creeping eruption pada manusia (Gandahusada, dkk. 2000).
2.2.3. Morfologi
(Anonim, 2014).
Gambar 3. Telur dan cacing dewasa Ancylostoma braziliense
Panjang cacing dewasa jantan berkisar antara 5 – 8 mm dengan
diameter 190 – 270 mikron sedangkan betinanya berukuran antara 6 – 9
9
mm dengan diameter 220 – 230 mikron, dengan telur berukuran 75 – 95 x
41 – 45 mikron. Cacing betina dewasa mengeluarkan 4000 telur setiap hari
(Levine, 1994).
2.2.4. Siklus Hidup
(Anonim, 2014).
Gambar 4. Siklus hidup Ancylostoma braziliense
Manusia mendapatkan infeksi apabila larva infektif menembus kulit.
Infeksi dengan larva juga dapat melalui mulut. Apabila larva menembus
kulit, akan menimbulkan papula dengan rasa gatal dan dalam beberapa
hari akan terbentuk alur linier yang menimbul dan vesikuler. Pergerakan
larva dalam trowongan membuat alur tersebut bertambah beberapa
milimeter setiap hari. Garukan yang hebat dapat menyebabkan infeksi
sekunder yang hebat (Gracia dan Bruckner, 2002).
10
2.2.5. Epidemiologi
Infeksi umumnya di dapat melalui kontak larva yang berasal dari
tanah yang lembab dan berpasir. Daerah – daerah ini termasuk pantai dan
kotak – kotak pasir. Kucing cenderung melakukan defekasi di tempat –
tempat tersebut, sehingga memungkinkan terjadi infeksi secara kebetulan
oleh larva filarioform (Gracia dan Bruckner, 2002).
Parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik sehingga
ditemukan juga di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukan bahwa
sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense (Gandahusada,
dkk. 2000).
Selain itu, cacing ini juga dapat ditemukan di Afrika, Amerika Utara,
Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Asia. Cacing ini umum pada kucing
di sepanjang Pantai Teluk Amerika Serikat bahkan cacing ini sudah
ditemukan di daerah Illinois (Levine, 1994).
2.2.6. Patologi dan Gejala Klinis
Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan
kelainan kulit yang disebut creeping eruption, creeping disease atau
cutaneous larva migrans. Creeping eruption adalah suatu dermatitis
dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan serpiginosa. Pada
tempat filariform menembus kulit terjadi papel keras, merah dan gatal.
Dalam beberapa hari terbentuk trowongan intrakutan sempit, yang tampak
sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali dan bertambah panjang
menurut gerakan larva di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok –
kelok, terdapat vesikel – vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder
karena kulit digaruk. Kelainan kulit terutama ditemukan pada kaki penderita
11
dan yang lain terdapat pada lengan bawah, punggung dan pantat
(Gandahusada, dkk. 2000).
2.2.7. Diagnosa
Diagnosa yang biasa dilakukan dengan ditemukannya telur atau larva
pada pemeriksaan tinja (Levine, 1994).
2.2.8. Pencegahan
Usaha pencegahan yang spesifik adalah dengan menutupi semua
kotak pasir bila tidak terpakai serta tidak membiarkan kucing berkeliaran di
pantai (Gracia dan Bruckner, 2002).
2.2.9. Pengobatan
Pengobatan dilakukan dengan :
a. Semprotan kloretil.
b. Albendazol, dosis tunggal 400mg selama tiga hari berturut – turut
cukup efektif. Pada anak di bawah 2 tahun diberikan dalam
bentuk salep 2% (Gandahusada, dkk. 2000).
2.3. Hymenolepis diminuta
2.3.1. Klasifikasi
Kingdom : ANIMALIA
Filum : PLATYHELMINTHES
Subfilum : CESTODA
Class : EUKESTOSIDA
Ordo : HYMENOLEPIDIDEORINA
Family : HYMENOLEPIDIDAE
Genus : Hymenolepis
Spesies : Hymenolepis diminuta (Levine, 1994).
12
2.3.2. Hospes dan Nama Penyakit
Tikus, mencit dan kadang – kadang manusia merupakan hospes
definitif cacing ini, sedangkan yang bertindak sebagai hospes perantara
adalah serangga terutama pinjal tikus dan kumbang tepung dewasa.
Berbagai serangga misalnya pinjal – pinjal lainnya, lipas (famili Blattidae),
myriapoda dan kumbang serta lepidoptera lainnya dapat bertindak sebagai
tuan rumah dari cacing ini. Nama peyakit yang ditimbulkan oleh cacing ini
adalah Hymenolepiasis (Soedarto, 1991).
2.3.3. Morfologi
(Anonim, 2014).
Gambar 5. Telur dan cacing dewasa Hymenolepis diminuta
Cacing dewasa jantan mempunyai ukuran panjang antara 20 - 60 cm
dan lebar badan antara 3 - 5 mm. Skoleks berbentuk gada dengan rostelum
yang mengalami kemunduran dan tidak mempunyai kait. Terdapat 4 buah
alat isap berukuran kecil dan segmen matur berbentuk panjang dengan
panjang 2,5 mm. Segmen matur berukuran 2,5 mm dengan bentuk mirip
segmen Hymenolepis nana.Segmen gravid mengandung uterus berbentuk
kantung yang penuh dengan telur cacing. Telur cacing berbentuk bulat
13
dengan ukuran 58 x 86 mikron mirip dengan telur Hymenolepis nana tapi
tanpa filamen (Soedarto, 1991).
2.3.4. Siklus Hidup
(Anonim, 2014).
Gambar 6. Siklus hidup Hymenolepis diminuta
Dalam tubuh pinjal atau kumbang tepung dewasa, telur akan
menetas menjadi larva sistiserkoid yang infektif. Bila sistiserkoid ini tertelan
oleh hospes definitif, dalam waktu 20 hari akan berubah menjadi cacing
dewasa. Manusia terinfeksi cacing ini karena pencemaran makanan oleh
serangga yang infektif atau melalui tangan yang tercemar stadium infektif
parasit ini. Infeksi pada manusia umumnya ringan dan cacing ini hanya hidup
di dalam usus manusia selama 5 sampai 7 minggu (Soedarto, 1991).
14
2.3.5. Epidemiologi
Penyebaran dari cacing ini kosmopolit sehingga ditemukan juga di
Indonesia. Hospes definitif mendapatkan infeksi bila hospes perantara yang
mengandung parasit tertelan secara kebetulan (Gandahusada, dkk.2000).
Insiden semua umur, terutama pada anak – anak < 3 tahun dan
manusia terinfeksi karena makanan atau minuman yang terkontaminasi
serangga yang mengandung sistiserkoid (Soejoto dan Soebari, 1996).
2.3.6. Patologi dan Gejala Klinis
Parasit ini tidak menimbulkan gejala. Infeksi biasanya terjadi secara
kebetulan saja (Gandahusada, dkk. 2000).
2.3.7. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telurnya dalam tinja.
Sesekali cacing dapat ditemukan pada sampel feses (Gandahusada, dkk.
2000).
2.3.8. Pencegahan
Tidak ada pencegahan secara khusus. Mengingat cacing ini dapat
menginfeksi melalui hospes perantara dan kontak langsung jadi menjaga
kebersihan sangat penting seperti menjaga makanan agar terhindar dari
serangga dan membersihkan tangan dengan benar setelah menyentuh
sesuatu atau sebelum dan sesudah makan dengan benar (Soejoto dan
Soebari, 1996).
2.3.9. Pengobatan
Pemberian kuinakrin atau atabirin seperti halnya infeksi cacing pita
lainnya sangat efektif (Soedarto, 1991).
15
2.4. Toxoplasma gondii
2.4.1. Klasifikasi
Kingdom : ANIMALIA
Filum : PROTOZOA
Subfilum : APICOMPLEXA
Kelas : SPOROZOASIDA
Subkelas : COCCIDIA
Ordo : EUCOCCIDIIDA
Subordo : EIMERIINA
Family : Sarcocystidae
Genus : Toxoplasma
Spesies : Toxoplasma gondii (Natadisastra, 2009).
2.4.2. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif dari Toxoplasma gondii adalah kucing dan binatang
sejenisnya (Felidae). Hospes perantaranya adalah manusia, mamalia lainnya
dan burung. Parasit ini menyebabkan toxoplasmosis kongenital dan
toxoplasmosis akuistika pada manusia (Gandahusada, dkk. 2000).
2.4.3. Morfologi
(Anonim, 2014).
Gambar 7. Ookista dan trofozoit Toxoplasma gondii
Trofozoit tampak menyerupai bulan sabit dengan panjang 3,5 – 6 µm
dan lebar 1,5 – 3 µm, satu ujung lebih tumpul dari ujung yang lainnya.
Umumnya parasit ditemukan intraseluler, terletak dalam vakuola, pada
16
sitoplasma, serta menimbulkan sedikit kemunduran pada sel yang diserang.
Dalam sel, dapat tunggal, berpasangan, dalam kelompok menyerupai rosette
atau berkelompok dalam 10 – 128 buah berbentuk piriform atau bulat.
Ditemukan juga pada ekstra seluler pada kultur jaringan, cairan badan dan
pulasan jaringan.
Pada infeksi akut, pseudokista terjadi dalam 8 – 10 hari, dindingnya
merupakan sel tuan rumah, cepat menggembung disebabkan karena
multiplikasi parasit yang cepat, menghasilkan sel selapis membran tipis, inti
sel dikelilingi parasit. Dindingnya mudah pecah dan parasit akan bebas dan
kista terjadi pada infeksi kronis terutama dalam otak dan paru – paru.
Membran disekresikan oleh parasit dengan elastisitas tinggi, liat dan susah
robek. Dalam 4 buah kista tumbuh dari 8 µm mencapai ukuran antara 30 – 60
µm. Berisi 3.000 parasit atau lebih (Natadisastra, 2009).
2.4.4. Siklus Hidup
(Anonim, 2014).
Gambar 8. Siklus hidup Toxoplasma gondii
17
Menurut Zaman, dkk (1988) siklus hidup dari Toxoplasma gondii ini
ada dua fase yaitu :
a. Fase pada Kucing
Bentuk infektif yaitu sporozoit, kistozoit dan endozoit bila tertelan akan
masuk usus kucing. Bentuknya bulat dan tumbuh di dalam sel. Pertama,
perkembang biakan aseksual terjadi dan merizoit di bentuk. Merizoit ini
masuk sel epitel usus lainnya dan mulai lagi pembiakan aseksual sampai
kurang lebih lima kali siklus. Beberapa merozoit berubah bentuk menjadi
bentuk seksual dan mulailah gametogoni. Makrogamet dibuahi oleh
mikrogamet dan terbentuk zigot, yang kemudian mengeluarkan sekret
dan berubah menjadi ookista. Ookista masuk dalam tinja, bila sel usus
sampai pecah. Pada sporogoni maka dua sporoblas membentuk satu sel,
kemudian menjadi sporokista dengan membentuk dinding kista. Tiap
sporokista mempunyai empat sporozoit. Toxoplasma gondii berbeda
dengan coccidia lainnya, karena perkembangan ekstra intestinal terjadi
bila merozoit dari sel epitel usus masuk dalam sistem limfa dan peredaran
darah. Bentuk – bentuk ekstra intestinal ialah kista dan pseudokista.
b. Fase pada manusia
Infeksi terjadi dengan tertelannya bentuk ookista kucing atau makanan
daging yang mengandung kista atau pseudokista yang di masak tidak
sampai matang. Daging yang mengandung stadium infektif tersebut dapat
berupa daging babi, kambing, daging sapi dan daging ayam. Hanya
bentuk aseksual yang ada pada manusia dan ookista tidak di bentuk
dalam sel epitel usus. Merozoit dari hasil biakan aseksual, masuk dalam
limfa dan peredaran darah dan membentuk pseudokista dan kista dalam
18
berbagai alat dalam badan manusia. Penularan manusia ke manusia lain
dapat melalui plasenta dan menyebabkan toksoplasmosis kongenital.
2.4.5. Epidemiologi
Toxoplasma gondii merupakan protozoa yang mengenai sebagian
besar mamalia termasuk manusia. Anggota keluarga kucing merupakan
satu – satunya pejamu definitif yang diketahui dan kucing merupakan
reservoir utama untuk infeksi manusia. Ookista yang di eksresi dalam tinja
kucing tertelan oleh banyak hewan, dimana siklus aseksual terjadi dalam
jaringan yang selanjutnya di makan oleh kucing.
Menurut Mandal, dkk (2008) manusia menjadi terinfeksi :
a. Dengan tertelannya ookista.
b. Dengan makan daging yang di masak kurang matang.
c. Secara transplasenta.
d. Sangat jarang saat transplantasi, transfusi darah atau bahaya
akibat kerja pada pekerja laboratorium.
Infeksi memiliki prevalensi tinggi di seluruh dunia, lebih sering terjadi
pada iklim hangat. Seropositifitas meningkat seiring dengan usia (prevalensi
di Inggris 8% pada anak – anak < 10 tahun yang meningkat menjadi 47%)
dengan angka serokonveksi 0,5 – 1%/tahun (Mandal, dkk. 2008).
10 – 15% wanita usia subur di Amerika Serikat positif. Prevalensi yang
tinggi di Perancis 85%, kemungkinan berkaitan dengan lebih tingginya
konsumsi daging yang dimasak kurang matang. Transmisi in utero paling
rendah pada trimester pertama yaitu 15% dan tertinggi pada timester ketiga
yaitu 60% (Mandal, dkk. 2008).
19
Keparahan paling besar bila infeksi terjadi pada trimester pertama.
Akan tetapi toksoplasmosis konginetal tidak sering terjadi, < 20 kasus
dilaporkan setiap tahun di Inggris dan Wales. Menyebabkan infeksi subklinis
pada 80 – 90% kasus. Ini diperkirakan menyebabkan 5% kasus
limfodenopati yang bermakna secara klinis. Merupakan penyebab utama
penyakit neurologis pada pasien terinfeksi HIV yang mengalami
immunocompromised berat (Mandal, dkk. 2008). Parasit ini merupakan
parasit kosmopolit (Gandahusada, dkk. 2000).
2.4.6. Patologi dan Gejala Klinis
Setelah invasi terjadi di usus, parasit masuk ke dalam sel atau
difagositosis. Sebagian sel akan mati karena difagositosis dan sebagian
lainnya berkembangbiak dalam sel menyebabkan sel hospes pecah dan
meyerang selain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan limfosit,
maka penyebaran ke seluruh tubuh mudah terjadi. Parasitemia berlangsung
selama beberapa minggu. Toxoplasma gondii dapat menyerang semua
organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah merah karena tidak
berinti.
Kista di bentuk bila sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di
berbagai jaringan, mungkin untuk seumur hidup. Kerusakan yang terjadi
tergantung pada tiga hal yaitu
a. Umur, biasanya kerusakan pada bayi lebih berat dari orang dewasa.
b. Virulensi “strain” Toxoplasma.
c. Jumlah parasit.
d. Organ yang di serang (Gandahusada, dkk. 2000).
20
Menurut Soejoto dan Soebari (1996) toxoplasmosis yang nampak
pada manusia ada dua yaitu:
a) Toxoplasmosis kongeital.
Toxoplasmosis ini sebagian besar terjadi melalui plasenta
transmission (transplasenta) yaitu selama bayi dalam kandungan ibu yang
menderita toxoplasmosis. Anak yang lahir prematur atau belum cukup
umur gejala klinis lebih berat dan dapat disertai dengan
hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan saraf pusat
dan lesi pada mata. Tapi jika ibu terserang saat trimester pertama dapat
menyebabkan abortus atau bayi lahir mati.
b) Toxoplasmosis akuisita
Infeksi pada orang dewasa biasanya tidak diketahui karena jarang
menimbulkan gejala. Tapi pada seorang ibu yang sedang hamil
mendapatkan infeksi primer, maka ia akan melahirkan anak dengan
toxoplasmosit kongenital. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai
pada toxoplasmosis akuisita adalah limpodenopati dan rasa lelah disertai
demam dan sakit kepala.
2.4.7. Diagnosa
Diagnosa tergantung pada ookista dalam sampel feses segar. Teknik
pemekatan feses menggunakan pengecatan biasanya diperlukan
(Brooks.dkk, 2005).
2.4.8. Pencegahan
Tindakan pencegahan yang paling efektif :
21
a. Hindari makan daging yang kurang matang, kista jaringan
dalam daging tidak infektif lagi bila sudah dipanaskan sampai
660C atau di asap.
b. Setelah memegang daging mentah sebaiknya tangan di cuci
bersih dengan sabun.
c. Makanan harus di tutup rapat supaya tidak di jamah lalat atau
lipas.
d. Sayur – sayuran sebagai lalap harus di cuci bersih atau di
masak.
e. Kucing peliharaan sebaiknya di beri makanan matang dan di
cegah berburu tikus dan burung (Gandahusada, dkk. 2000).
2.4.9. Pengobatan
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk pengobatan penderita
toxoplasmosis :
a. Untuk pasien immunocompromised dengan lokasi serebral atau
lokasi sistemik lainnya dapat menggunakan pirimetamin dengan
sulfadiazin atau klindamisin.
b. Untuk toxoplasmosis kongenital dapat menggunakan
pirimetamin dan sulfadiazin atau spiramisin.
c. Untuk wanita hamil yang baru saja terinfeksi dapat
menggunakan spiramisin (sepanjang kehamilan) atau
pirimetamin dan sulfadiazin setelah trimester pertama (Mandal.
dkk, 2008 ).
22
2.5. Pemeriksaan Laboratorium
2.5.1. Pengambilan Sampel Pemeriksaan
Pengambilan feses untuk bahan pemeriksaan harus feses dalam
keadaan segar atau belum lama didefekasi oleh kucing karena jika feses
yang digunakan kering maka akan sangat berpengaruh pada hasil
pemeriksaan. Karena protozoa akan cepat mati di luar tubuh. Sampel harus
tetap hangat selama pemeriksaan protozoa ini berlangsung. Feses cair yang
mengandung pengawet adalah cara yang paling baik untuk menemukan
trofozoit (Soejoto dan Soebari, 1996).
2.5.2. Pengumpulan Sampel Pemeriksaan
Feses dikumpulkan pada wadah penampungan yang bersih, kering,
bermulut lebar dan tertutup rapat gunanya agar sampel tidak terkontaminasi
dan tidak tumpah saat dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan.
Feses yang padat atau keras dapat dibawa ke laboratorium dalam keadaan
segar sedangkan feses yang cair memerlukan pengawetan. Kista dan telur
dapat diawetkan dengan melarutkan feses dalam formalin 5% (Soejoto dan
Soebari, 1996).
2.5.3. Pengawetan Sampel
Agar telur maupun larva tidak berkembang dan tidak berubah bentuk
atau mengawetkan morfologinya, maka specimen perlu diawetkan secara
langsung segera setelah specimen dikeluarkan atau diterima di laboratorium.
Berikut adalah larutan atau pengawet yang biasa digunakan menurut
Gracia dan Bruckner (2002) :
23
a) Methoilate-Iodine-Formalin (MIF)
MIF sangat berguna untuk melindungi feses yang
mengandung telur cacing, kista dan larva agar tidak rusak saat
digunakan untuk pemeriksaan laboratorium selanjutnya.
b) Polivinil Alkohol (PVA)
PVA merupakan bahan pengawet untuk mengawetkan telur
cacing, larfa dan tropozoit.
c) Larutan Schauddin
Larutan ini digunakan sebagai bahan pengawet untuk
mengawetkan tropozoit.
d) Sodium Acetate-Aceticacid-Formalin (SAF)
Sodium Acetate-Aceticacid-Formalin biasanya digunakan
untuk pengawetan telur cacing dan kista.
e) Formalin 5% atau 10%
Formalin 5% atau 10% adalah larutan yang paling sering
digunakan sebagai pengawet sampel karena dapat mengawetkan
kista dan telur cacing.
2.5.4. Teknik Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Makroskopis
1. Warna
Feses kucing normal berwara kuning, hitam atau keabu –
abuan. Warna feses tergantung pada jenis makanan yang di makan.
2. Bau
Bau pada feses umumnya agak asam. Bau lain biasanya
dipengaruhi oleh makanan atau bisa juga karena infeksi dari kuman.
24
3. Konsistensi
Konsistensi pada feses normal biasanya keras. Pada saat
diare konsistensi feses akan lembek atau cair.
4. Darah
Bila pada feses terdapat darah kemungkinan terjadi gangguan
di usus kucing baik gangguan dari parasit tertentu atau dikarenakan
jenis makanan yang tidak cocok dengan usus (Widman, 1995).
b. Pemeriksaan Mikroskopis
Pada sampel feses yang normal biasanya hanya terdapat
serat – serat sisa makanan sedangkan pada feses yang abnormal bisa
saja ditemukan protozoa terutama kista, telur cacing, cacing dewasa,
jamur atau tuma (Soejoto dan Soebari, 1996).
Menurut Natadisatra (2009) pada pemeriksaan mikroskopis
feses ini ada dua cara yaitu :
1. Pemeriksaan Langsung (direct)
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling
sederhana, paling awal dan paling baik dilakukan di lapangan karena
selain caranya yang cukup mudah, hasil dapat diperoleh dengan cepat
dan dapat menggambarkan ada tidaknya infeksi. Ada dua cara dalam
pemeriksaan secara langsung ini :
a. Pemeriksaan dengan larutan Eosin 2% dan NaCl 0,85% :
1. Larutan NaCl 0,85% 1 – 2 tetes dieteskan pada bagian sebelah
kiri kaca obejek.
2. Larutan Eosin 2% 1 – 2 tetes diteteskan pada bagian sebelah
kanan kaca objek.
25
3. Dengan lidi, feses diambil kira – kira 1 – 2 mm3 dan ditaruh
pada masing – masing larutan tadi.
4. Lalu mencampur feses dengan Larutan tadi sampai homogen
dan jangan menggunakan lidi yang sama untuk mencampur
feses dengan larutan.
5. Suspensi diratakan dan ditutup dengan kaca penutup. Hindari
adanya gelembung udara saat menutup dengan kaca penutup.
6. Memberi label keterangan pada ujung sisi kanan kaca objek.
7. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop dengan objektif 10
kali atau perbesaran 100 kali.
b. Pemeriksaan dengan Lugol Iodine :
1. Larutan Lugol Iodine 1 – 2 tetes diteteskan pada kaca objek.
2. Feses diambil kira – kira 1 – 2 mm3 dengan lidi.
3. Feses dihancurkan dengan cara mengaduknya dengan lidi
sampai benar – benar homogen.
4. Suspensi feses ditutup dengan kaca penutup, tanpa gelembung
5. Sediaan diberi keterangan disisi sebelah kanan kace objek.
6. Sediaan diamati dibawah mikroskop pada objektif 10 kali atau
perbesaran 100 kali.
2. Pemeriksaan Tidak Langsung (indirect)
Pemeriksaan cenderung membutuhkan waktu dan kurang
cocok bila digunakan di lapangan karena hasil tidak dapat segera
diketahui. Adapun cara yang digunakan sebagai berikut :
26
a. Metode Apung
Cara kerja dari metode ini berdasarkan berat jenis (BJ) telur –
telur yang lebih ringan daripada BJ larutan yang digunakan. Teknik ini
berhasil untuk telur – telur Nematoda, Schistosoma, Dibotriosefalus,
dan familiaTaeniidae. Caranya ada dua yaitu :
1. Tanpa centrifugasi :
a. Feses 10 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
dicampur dengan 200 ml NaCl jenuh, diaduk sampai larut.
b. Didiamkan selama 20 – 30 menit sampai terlihat adanya
endapan. Jika terdapat serat – serat selulosa, dilakukan
penyaringan terlebih dahulu.
c. Larutan permukaan diambil dengan Öse dan ditaruh di atas
kaca objek, lalu ditutup dengan kaca penutup. Hindari
gelembung udara.
d. Diamati di bawah mikroskop pada objektif 10 kali atau
perbesaran 100 kali.
2. Dengan centrifugasi :
a. NaCl jenuh 200 ml dengan 10 gram feses dicampur,
kemudian disaring dengan penyaring, lalu dituangkan ke
dalam tabung sentrifugasi.
b. Tabung tadi diletakan ke dalam sentrifuge dan diputar
dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit.
c. Dengan Öse diambil larutan bagian permukaan dan di
taruh di atas kaca objek, lalu di tutup dengan kaca penutup.
27
d. Diamati di bawah mikroskop pada objektif 10 kali atau
perbesaran 100 kali.
b. Modifikasi Metode Mertiolate Iodine Formaldehyde (MIF):
Metode ini baik untuk mendiagnosis secara laboratoris
adanya telur cacing Nematoda, Trematoda dan Cestoda, juga
Amoeba dan Giardia lambia di dalam feses. Zat yang dipakai
adalah :
1. Larutan dari campuran 250 ml aquades, 200 ml Thimerasol
(Merthiolate) dengan pengenceran 1:1000; 25 ml formaldehyde
35% dan 5 ml gliserin.
2. Larutan lugol 55 segar (tidak boleh disimpan lebih dari 3
minggu).
Kedua larutan disimpan dalam botol berwarna coklat. Cara
kerja dari metode ini :
a. 5 ml larutan (1) dengan larutan lugol sebanyak 0,5 ml,
kemudian 0,5 gram feses dimasukkan ke dalam tabung
reaksi dicampur sampai homogen.
b. Larutan tadi disaring dengan dua lapis kain kasa ke dalam
tabung sentrifuge, kemudian ditambah 7 ml eter
(temperatur 40C).
c. Tabung tersebut ditutup rapat dengan sumbat karet dan
dikocok sampai campuran benar –benar homogen. Jika
belum homogen, tambahkan air dan dikocok kembali
sampai homogen.
d. Sumbat dibuka dan dibiarkan selama 2 menit.
28
e. Kemudian disentrifuge selama 1 menit dengan kecepatan
1000 – 3000 rpm.
f. Semua cairan di buang dan endapan diambil dengan pipet,
ditaruh di atas kaca objek dan di tutup dengan kaca
penutup.
g. Hasilnya dapat dilihat di bawah mikroskop pada objektif 10
kali atau perbesaran 100 kali, pada endapan ini tampak
bentuk tropozoid dan telur cacing.
c. Teknik Sediaan Tebal
Teknik ini menggunakan selopan atau cellophane tape
sebagai pengganti kaca penutup. Dengan teknik ini lebih banyak
telur cacing yang dapat diperiksa karena pada pemeriksaan ini
membutuhkan feses lebih banyak. Teknik ini juga dianjurkan untuk
pemeriksaan masal karena lebih sederhana dan murah. Morfologi
telur cacing cukup jelas untuk dibuat diagnosis. Cara kerja dari
teknik ini sebagai berikut :
1. Feses diambil sebanyak 20 – 50 mg atau sebesar kacang
merah.
2. Diletakan di atas kaca objek dan diratakan.
3. Tutup dengan selopan.
4. Tekan selopan dengan kaca objek atau tutup botol karet untuk
meratakan feses agar menyebar di bawah selopan. Keringkan
larutan yang berlebih dengan kertas saring.
5. Biarkan sediaan yang sudah dibuat selama 20 – 30 menit.
29
6. Periksa sediaan di bawah mikroskop pada objektif 10 kali atau
perbesaran 100 kali.
d. Metode Sedimentasi Formal Ether
Metode ini baik digunakan untuk sampel feses yang diambil
beberapa hari yang lalu. Cara kerjanya sebagai berikut :
1. Feses 0,5 ml diambil, dimasukan ke dalam tabung lalu di
tambah dengan 1 – 2 ml aquades, dikocok dan ditambah lagi
10 – 12 ml aquades, dikocok kembali sampai homogen.
2. Disaring dengan kain kasa, cairan filtrasi ditampung pada
tabung sentrifuge sebanyak 15 ml.
3. Filtrasi disentrifuge selama 1 menit dengan kecepatan 1000
rpm, lalu cairan bagian atas dibuang.
4. Formalin 10% 1 ml ditambahkan pada endapan tadi, dikocok
dan ditambahkan lagi 8 ml Formalin 10%. Didiamkan selama 10
menit.
5. Ether 3 ml ditambahkan, tabung ditutup, kemudian dikocok
sampai homogen kira – kira 10 – 20 detik.
6. Sentrifuge kembali selama 1 – 2 menit dengan kecepatan 2000
rpm.
7. Lalu diambil dengan pipet sampai batas ether dengan formalin
dan buang cairan sisa.hati – hati saat mengambil, jangan
sampai cairan sisa ikut terpipet.
8. 1 tetes sedimen dipindahkan pada kaca objek yang
sebelumnya telah ditetesi dengan 1 tetes larutan Iodin.
30
9. Ditutup dengan kaca penutup dan amati hasilnya di bawah
mikroskop pada objektif 10 kali atau perbesaran 100 kali.